Pendahuluan
Berbicara mengenai relasi santri dengan politik seakan tidak ada habisnya. Peranan santri begitu signifikan dalam kancah politik, khususnya di politik nasional yang patut diperhitungkan. Sejarah mencatat tidak sedikit para pahlawan kemerdekaan berasal dari kaum santri. Beberapa yang masyhur kita dengar adalah K.H. Wahab Hasbullah panglima Hizbullah, Pangeran Diponegoro, K.H. Wahid Hasyim yang menjadi salah satu anggota BPUPKI, dan banyak pahlawan lainnya.
Pesantren begitu lekat dengan khazanah politik Indonesia. kita bisa melihat bagaimana resolusi jihad menjadi bara api semangat arek-arek suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada perang 10 November. Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari dengan fatwa resolusi jihadnya berhasil membuat keputusan yang dampaknya sangat membawa maslahat bagi bangsa Indonesia. Hal ini merupakan ijtihad politik dari beliau untuk kemaslahatan bangsa.
Jejak sejarah merekam adanya beberapa peristiwa perang yang melibatkan banyak para santri yang menjadi pejuang seperti peristiwa perang kedongdong (1808-1819) di Cirebon sebagai wujud perlawanan santri terhadap agresi penjajah Belanda. Lalu ada perang 10 November 1945 yang melibatkan ribuan santri yang bertempur di kota surabaya yang dikomandoi oleh KH. Abbas Buntet. Bukti bahwa Pesantren dari dulu tidak pernah kehabisan peran terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa. Karena hal itu, urgensi politik kaum santri patutnya diperhitungkan.
Definisi dan Identitas Politik
Politik sendiri memiliki banyak makna dalam mendefinisikannya. Salah satu yang masyhur adalah definisi Aristoteles yang mengartikan politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama¹. Adapun para ulama dalam mendefinisikan politik mempunyai banyak makna yang berbeda-beda. K.H. Anwar Iskandar² mengutip dari kitab al-ahkam as-sulthoniyyah karya Imam Al-Mawardi mengatakan,
السياسة موضوعة بخلافة النبوّاة بخراسة الدين وسياسة الدنيا
“Politik itu diletakkan sebagai upaya melestarikan kepemimpinan atas dasar ajaran nabi dalam menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia.”
Dari definisi ini terdapat 2 sudut pandang dalam politik; keseimbangan antara aspek agama dan aspek kehidupan sosial manusia, dan politik sebagai alat untuk mengaplikasikan kebijakan yang maslahat.
Kebuntuan yang terjadi dalam realitas yang ada, melahirkan sebuah anggapan bahwa politik adalah lubang kotor yang harus dijauhi. Budaya korupsi, nepotisme, hingga kebijakan yang merugikan begitu kental dalam budaya politik, hingga melahirkan citra politik yang buruk tak layak didekati. Namun realitanya politik tetaplah politik, bagaimana kemaslahatan umat bersama terlaksana lewatnya, ideologi dan ajaran dikawal olehnya.
Karena pada hakikatnya, politik tidak mempunyai identitas bersih maupun kotor, tidak terikat dengan citra baik maupun buruk. Politik yang kotor, itu bukanlah pada politik nya, melainkan pada pelaku politik, ia yang menjalankan nya,begitupun politik yang bersih. Karena sifatnya subjektif, maka yang menjadi poin perhatiannya adalah oleh siapa politik itu dijalankan?
Mengutip dawuh dari Gus Baha, “Kalau umat Islam nggak mau bahas dan terjun politik, memangnya Islam mau disalurkan lewat apa? Seribu fatwa haram prostitusi, itu masih kalah dengan satu tanda-tangan penutupan lokalisasi. Dan, yang bisa tanda-tangan seperti itu adalah penguasa, yang lahir dari proses politik.”
Dari pernyataan ini, kita bisa menarik benang merahnya bahwa politik tidak serta merta harus kita jauhi. Harus ada peran dari umat Islam khususnya yang mengerti mengenai hukum-hukum yang selaras dengan nilai syariat agar nilai tersebut tetap berjalan dan dikawal oleh keputusan keputusan politik yang maslahat.
Dan menariknya, pesantren tidak pernah habis melahirkan tokoh-tokoh berpengaruh. Beberapa bahkan menjadi pemimpin eksekutif tertinggi, seperti K.H. Abdurahman Wahid atau KH.Ma’ruf Amin.
Kaum Sarungan dan Politik
Peran kaum sarungan dalam dunia perpolitikan sangatlah dibutuhkan, mengingat kemaslahatan politik ditentukan lewat kebijakan pelakunya, maka sangat perlu selektif dalam memilah siapa yang menyetir roda politik tersebut. Politik harus dijanlankan oleh orang-orang yang berwawasan dan bermoral agar kebijakan nya melahirkan keputusan yang maslahat sesuai dengan semestinya.
Santri harus melek politik dan tidak bersikap apatis. Politik santri bukanlah politik kepentingan pribadi, melainkan ajang untuk berbakti pada agama dan negeri. karena secara esensi politik itu sekedar wasail (media) bukan ghoyah (tujuan), sehingga para santri tidak sepatutnya alergi.
Kebijakan politik bisa menjadi amal yang kebermanfaatannya menyeluruh terhadap banyak masyarakat, karena satu tanda tangan politikus yang adil sangat berdampak besar bagi semua elemen masyarakat dan manfaatnya akan lebih luas dirasakan bersama.
Hal ini sejalan dengan yang diajarkan di pesantren bahwa amal muta’adi (pekerjaan yang kemanfaatannya bisa dirasakan oleh banyak orang) itu lebih baik dibanding amal qosir (pekerjaan yang manfaatnya hanya dirasakan oleh individu sendiri).
Melihat visi dari pesantren adalah mencetak generasi yang bermoral dan bermanfaat bagi orang lain, maka medan politik perlu diisi oleh orang-orang yang orientasinya adalah menyalurkan kebermanfaatan untuk masyarakat bersama. Jika medan politik diisi oleh orang orang-orang yang memiliki birahi terhadap kepentingan pribadi, kekayaan dan kekuasaan maka politik akan melahirkan mudhorot.
Menurut K.H. Maimoen Zubair, “Politik bukanlah hanya kepentingan sesaat, melainkan jauh lebih dari itu, yaitu benar-benar untuk mengharmoniskan Islam dan kebangsaan, religius dan nasionalis, serta untuk mengharmoniskan ulama dan umara agar berjalan beriringan.’’³ Karena itu peranan santri untuk mengharmoniskan agama dan negara sangat diperlukan.
Tawassuth (moderat),Tawazun (netral tidak berpihak), Tasamuh (toleran) merupakan prinsip yang harus diejawantahkan dalam medan politik untuk menghalau politik yang radikal maupun liberal. Agar roda pemerintahan menemui jalannya untuk selalu memberikan kebijakan-kebijakan yang maslahat dan bermanfaat.
Penutup
Pada akhirnya, politik bisa kita ibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi sebuah media yang berpotensi besar untuk memberikan kebermanfaatan yang luas, di sisi lain juga berpotensi besar untuk menghasilkan kejahatan dan segala kemungkaran. Namun di balik itu, seperti yang kita ketahui bersama bahwa predikat manusia terbaik adalah yang bermanfaat bagi yang lain, maka politik adalah salah satu jalan untuk meraih predikat tersebut.
Mengutip dawuh K.H. Abdul Karim (pendiri pondok pesantren Lirboyo), “Santri lek mulih kudu ngadep dampar.” Yang kurang lebih bermakna bahwa santri tatkala boyong dari pondok ia harus “menghadap dampar (mengajar)” yakni mengaplikasikan ilmunya dan memberikan kebermanfaatan untuk sekitar dengan berbagai macam bidang. Menyebarkan nilai spiritualitas dan membumikan moralitas pada umat. Pada akhirnya bisa diambil kesimpulan bahwa media kaum sarungan itu luas dalam mengejawantahkan ajaran-ajaran agama, tidak hanya di surau-surau namun juga di gedung-gedung kantoran, meja parlemen hingga ruang publik bersama.
Refrensi
- Wikipedia, Definisi Politik Teori Klasik Aristoteles
- Halaqoh Fikih Peradaban Pondok Lirboyo
- NU Online, Kiai Maimoen Zubair dan Perpolitikan di Indonesia
Oleh: Muhammad Agis Hakim (Mahasiswa Universitas Abdelmalek Essaadi, Tetouan)
Baca Kotakin edisi 3
Ikuti pengajian ramadan kami lewat YouTube PCINUMAROKO