Dalam sejarah, pergantian suksesi pemerintahan selalu mengguncang stabilitas sebuah negara. Momentum seperti ini biasanya digunakan baik oleh pihak internal atau eksternal untuk merebut tahta dan atau memperlebar sayap kekuasaan. Sebagai contoh, krisis politik pasca wafatnya nabi Muhammad saw. yang dengan tanpa mengisbatkan pemangku jabatan khilafah setelah beliau berakibat pada terpecahnya kelompok Islam menjadi dua bagian—pendukung Abu Bakr dan pendukung Ali. Atau perang saudara kerajaan Demak Bintoro antara Sunan Prawoto dan Arya Penangsang yang disebabkan karena kosongnya kursi raja pascawafatnya ayah Sunan Prawoto, Sultan Trenggono. Perang-perang sebagaimana di atas biasanya diaktori oleh orang-orang yang dulunya berjalan bersama satu tujuan, namun hanya karena satu hal, mereka rela menodong dan beradu pedang satu sama lain meskipun sedarah. Peristiwa perang saudara semacam ini pernah terjadi di Maroko, pada era Dinasti Saadi tepatnya pada Perang Wad Makhazin: Pertempuran Tiga Raja—yang juga para sejarawan sebut sebagai Perang Badr Kedua.
Wafatnya Sultan Tercinta
Wafatnya Sultan Muhammad al-Ghalib meninggal kan sesak bagi rakyat Daulah Saadi pada masa itu. Pasalnya, selama masa pemerintahannya, politik dan keamanan Dinasti Saadi dinilai cukup stabil yang mana stabilitas keduanya menengarai kesejahteraan ekonomi bagi rakyat Saadi. Salah satu usaha beliau untuk menjaga stabilitas politik adalah kala Dinasti Ottoman berkeinginan untuk memperluas daerah kekuasaannya sampai ke tanah Maghrib (nama Maroko pada masa itu). Keinginan ekspansi itu jelas mendapat penolakan dari al-Ghalib dan berakhir pada pecahnya perang wad al-laban antar kedua daulah yang dimenangkan oleh Daulah Saadi. Kemenangan pada perang ini menempatkan daulah Saadi pada posisi yang setara dengan daulah Ottoman dan Imperium Iberia, dalam arti bahwa Saadi memiliki pengaruh kuat dan diperhitungkan di antara imperium-imperium dunia.
Kembali pada pasca wafatnya Sultan al-Ghalib, sepeninggal beliau, stabilitas kerajaan seketika menjadi berbanding terbalik dengan masa kepemimpinannya: terjadi perang saudara internal kerajaan antara Muhammad al-Mutawakkil, putra al-Ghalib dan Abdul Malik, saudara al-Ghalib sekaligus paman al-Mutawakkil. Konflik internal ini ditenggarai oleh al-Mutawakkil yang menaiki tahta Saadi, padahal sebagaimana budaya Saadi, anggota keluarga tertualah yang seharusnya naik tahta, dalam hal ini, Abdul Malik lebih berhak atas tahta Saadi. Melihat penolakan ini, al-Mutawakkil berencana untuk membunuh kedua pamannya secara diam-diam: Abdul Malik dan Ahmad al-Manshur. Namun keduanya sudah terlebih dahulu kabur dan mencari suaka ke Konstatinopel (meski Ottoman sebelumnya merupakan musuh politik Saadi).
Merebut Kembali Kekuasaan
17 tahun sebelum naiknya al-Mutawakkil, tepatnya ketika al-Ghalib mengganti posisi ayahnya pada tahun 1557, Abdul Malik dan al-Manshur sudah keluar dari daerah kawasan Saadi dan bertandang ke Aljazair—yang dulu merupakan daerah kekuasaan Ottoman. Keduanya tinggal selama beberapa tahun di sana lalu melanjutkan perjalanannya ke Konstantinopel. Selama masa suaka, Abdul Malik dan al-Manshur meminta bantuan militer dan akomodasi kepada Ottoman untuk merebut kembali tahta yang seharusnya dimilikinya. Ottoman pun bersedia mengamini permintaan tersebut dengan syarat keduanya harus berpartisipasi dalam perang merebut Tunis dari Dinasti Hafsi yang dibantu oleh Imperium Kristen Spanyol. Perang antara kedua pihak pun pecah dan berakhir dengan kemenangan Ottoman yang mengusir Hafsi dan mematikan pengaruh Imperium Spanyol di Tunis sekaligus membuat Ottoman memuncaki dominasi pengaruh di Afrika Utara.
Bersamaan dengan terpenuhinya syarat di atas, Sultan Ottoman akhirnya mengabulkan permohonan Abdul Malik untuk membantunya mengambil kembali kekuasaannya di Maghrib. Sultan mengirimkan surat perintah kepada penguasa Aljazair yang merupakan subordinat Ottoman untuk menyiapkan berbagai akomodasi militer berupa 5000 infanteri, 6000 kavaleri, 12 meriam dan berbagai pasukan dan alutsista lainnya untuk perang melawan al-Mutawakkil. Namun bantuan ini tentu saja tidak cuma-cuma, Abdul Malik dan Ahmad al-Manshur harus membayar sebanyak 10000 mitsqal emas, yakni sekitar 42500 gr emas untuk setiap hari yang dihabiskan selama peperangan. Sebelum perang berkecamuk, Abdul Malik sudah terlebih dahulu mengetahui kekuatan pasukan tempur al-Mutawakkil yang ia peroleh dari surat yang dikirim dari intel di Andalus secara diam-diam. Kekuatan pihak al-Mutawakkil mendekati sekitar 1000 infanteri, 1000 kavaleri, 3000 penembak dan beberapa meriam. Hal ini membuat pihak Abdul Malik berhasil mencuri start melalui informasi militer.
Pada tanggal 9 Maret 1576, pecahlah perang antara kedua belah pihak di daerah dekat Fes yang bernama Rukn. Dalam perang ini, beberapa dari pasukan al-Mutawakkil meninggalkan peperangan dan bahkan membelot kepada pasukan Abdul Malik. Hal tersebut membuat moral dan kekuatan tempur pasukan al-Mutawakkil melemah dan akhirnya kalah. al-Mutawakkil yang berhasil kabur dari perang tersebut berangkat menuju kota Marrakech untuk menghimpun kekuatan baru di sana, dia mewajibkan pelatihan militer bagi penduduk Marrakech dan membayar orang-orang Sous untuk perang bersamanya. Perang antar dua pihak kembali pecah pada Juli 1576 di lembah Raihan yang lagi-lagi memulangkan pasukan al-Mutawakkil tanpa membawa kabar gembira bahkan harus merelakan alutsista dan gembala mereka. Konflik antara al-Mutawakkil dan Abdul Malik ini terus memanas selama dua tahun, sepanjang itu mereka berperang sebanyak 24 kali.
Kekalahan perang berturut-turut yang dialami al-Mutawakkil memaksanya untuk melarikan diri ke Tanger dan meminta bantuan kepada Sebastian, Raja Imperium Portugal. Di Tanger, al-Mutawakkil mengirimkan surat permohonan bantuan kepada Don Sebastian, sebagai gantinya, al-Mutawakkil akan memberikan semua daerah pesisir Maghrib untuk Portugal. Kesempatan emas ini disambut riang dan penuh semangat oleh Sebastian yang sudah lama menginginkan ekspansi kekuasaan di Maghrib dan menyebarluaskan agama Nasrani di Afrika. Abdul Malik yang mengetahui hal ini mencoba untuk menyelesaikan perang sebelum perang terjadi. Pada 22 Juli 1578, Abdul Malik mengirimkan utusan kepada Sebastian untuk mengajak kedua pihak berdamai dengan memberikan beberapa benefit dalam hal ekonomi dan politik untuk Portugal.
Abdul Malik, melalui surat ini, menginginkan Sebastian untuk membatalkan perjanjiannya dengan al-Mutawakkil dan memperingatkan bahwa al-Mutawakkil tidak akan bisa memenuhi janjinya karena rakyat Maghrib tidak akan menerima daerah pesisir mereka dijadikan pertukaran janji. Namun Sebastian muda yang sedari dulu terobsesi untuk menguasai Maghrib menutup pintu perdamaian. Ajakan damai Abdul Malik semakin membuat Sebastian bersemangat untuk berperang, ia terobsesi untuk mengukir namanya dalam sejarah perang Salib di Maghrib sebagaimana nama-nama yang terabadikan dalam perang Salib di Masyriq. Sebastian, dari ajakan damai itu, melihat bahwa Abdul Malik gemetaran takut melawan pasukan Portugal.
Perang Wad Makhazin
Di Maghrib, di seluruh penjuru dikumandangkan seruan untuk berjihad di Wad Makhazen. Adakah masih yang lebih manis dari mati syahid bagi seorang Muslim abad pertengahan? Apalagi masyarakat Maghrib sendiri saat itu sudah dibuat muak oleh al-Mutawakkil melalui surat yang ia kirim, tatkala dia berkata dalam suratnya, “Aku tidak akan meminta bantuan orang Nasrani kalau orang-orang Muslim mau membantuku. Bukankah boleh saja bagi manusia meminta bantuan pada siapa saja atas orang yang merampas haknya dengan semua cara yang bisa dia lakukan.”Surat itu ditujukan al-Mutawakkil untuk berterus terang kepada rakyat dan Ulama perihal pilihan politiknya, namun alih-alih bersimpati, rakyat Maghrib dan bahkan para ulama saat itu justru dibuatnya muak dengan sikap al-Mutawakkil yang bersekongkol dengan Nasrani Radikal. Dari semangat jihad ini, 40.000 mujahidin siap turun untuk berpartisipasi melawan Portugal.
Pada 24 Juni 1578, Sebastian bersama pasukannya berangkat menuju Tanger, disana dia bertemu dengan rekan sumpahnya, al-Mutawakkil, lalu selanjutnya menyusuri pesisir menuju Asilah. Kedatangan Sebastian di Maghrib ditemani oleh pasukan militer yang jumlahnya mencapai 125.000 pasukan. Sebagaimana budaya perang, sebelum perang dimulai, pemimpin kedua belah pihak biasanya bertukar surat untuk menentukan lokasi medan perang. Abdul Malik yang mengetahui bahwa Sebastian masih minim pengalaman berperang dan pengetahuan tentang watak orang Maghrib memanfaatkan hal ini untuk membawanya masuk menjauhi pesisir. Sebelum bertandang ke Maghrib, Sebastian sudah diperingatkan oleh Philips II dan para tetua kerajaan untuk tidak masuk terlalu dalam ke Maghrib guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, al-Mutawakkil juga demikian, menyarankan untuk tetap menunggu di Asilah.
Namun Sebastian muda menutup telinganya, ia tidak mendengarkan pendapat orang lain. Abdul Malik yang saat itu sudah berjalan dari Marrakech menuju Qasr Kabir mengirimkan surat kepada Sebastian, “Aku rela datang menemuimu dari Marrakech yang jaraknya 16 marhalah, namun kamu sama sekali belum mencapai satu marhalah pun untuk menemuiku”. Ketika surat itu sampai, Sebastian merasa tertantang, pada 29 Juli 1578 dia dan pasukannya berangkat menuju Wad Makhazin, medan perang yang disepakati kedua pihak.
Sebastian dan pasukan tiba di Wad Makhazin pada 3 Agustus 1578, mereka berkemah berseberangan dengan perkemahan pasukan Abdul Malik yang sudah tiba sehari sebelumnya. Di malam hari, Abdul Malik yang terkenal cerdik memberikan dua misi untuk al-Manshur: satu, merobohkan jembatan Wad Makhazin yang menjadi satu-satunya jalan keluar dan masuk untuk pasukan Portugal di Wad Makhazin, dan membentuk resimen pasukan sergapan untuk mengejutkan pasukan Sebastian.
4 Agustus 1578 menjadi hari bersejarah dalam sejarah Maroko dan Islam, sebelum perang dimulai, Abdul Malik yang saat itu sedang sakit akibat perjalanan jauhnya dari Marrakech menutupi sakitnya dan berkhutbah di depan pasukannya seraya menyebut kalam Tuhan: يا أيها الذين آمنوا إن تنصروا الله ينصركم ويثبت أقدامكم untuk menaikkan moral jihad pasukan. Seketika selesai dalam khutbahnya, 10 tembakan senapan dibunyikan kedua pihak sebagai tanda dimulainya perang. Serang balik serang pun terjadi antar kedua belah pihak, langit menghitam karena mesiu meriam, suara sentuhan pedang yang menjadi nyanyian tanpa akhir, sedikit demi sedikit nyawa mulai lepas dari tubuh yang tergeletak medan perang, jiwa yang merindukan sua dengan Rab-nya.
Di tengah perang, sakit yang Abdul Malik derita semakin menjadi, setelah melancarkan serangan pembuka kepada pasukan Portugal, tubuhnya tiada mampu menahan sakit, pasukan pun langsung membawanya kembali ke tenda. Abdul Malik berada dalam keadaan sekarat, berharap masih bisa ikut berperang bersama pasukannya, satu yang bisa dia lakukan saat itu adalah percaya bahwa kemenangan yang Allah janjikan kepada hamba-Nya tak akan diingkari-Nya. Seketika Abdul Malik meninggal, ia meletakkan jari telunjuk menutupi mulutnya, mengisyarati untuk merahasiakan kematiannya agar menjaga moral pasukan. Hanya dua orang yang mengetahui kematiannya saat itu: al-Manshur dan pelayannya Ridwan al-Alaj. Sang pelayan pun mengambil alih pasukan di batalion utama, sedangkan al-Manshur, sebagaimana perintah Abdul Malik malam sebelumnya, menyergap pasukan Portugal dari arah belakang.
Perang semakin memanas, strategi sergapan yang dilancarkan al-Manshur memorak-porandakan formasi pasukan Portugal. Sebastian dan pengawal-pengawal terkuatnya gugur dikepung oleh 60 pasukan kavaleri al-Mutawakkil. Melihat kematian Sebastian, pasukan Portugal semakin kacau, mereka melarikan diri dari kejaran pasukan al-Manshur menuju jembatan yang telah dihancurkan semalam, mereka pun nekat melompat ke sungai, namun apalah daya mereka, sungai menelan mereka. Melihat chaos di tengah pasukannya, mental al-Mutawakkil pun hancur, ia sadar bahwa kemenangan hanyalah mimpi semata, ia mencoba melarikan diri dari kejaran pedang pasukan Maghrib yang haus akan darah pengkhianat. Ia akhirnya melompat ke sungai bersama dengan pasukannya, dan nahasnya juga berakhir dengan nasib yang sama dengan pasukannya. Sedikit yang selamat dari kejadian ini, selain itu tenggelam, terbunuh, tersandera.
Usainya perang Wad Makhazin ini mengakhiri konflik berdarah antara al-Mutawakkil dan Abdul Malik selama 2 tahun terakhir. Perang Wad Makhazin ini menjadi perang ke-24 antara Al-Mutawakkil dan Abdul Malik, sekaligus menjadi kemenangan ke-24 bagi Abdul Malik dan kekalahan ke-24 bagi al-Mutawakkil. Meskipun hanya berlangsung selama 4 jam, 3 raja telah gugur dalam perang ini: Abdul Malik, Sebastian, dan al-Mutawakkil. Ketiganya bertujuan untuk menguasai tanah Maghrib dan ketiganya gagal pula. Itulah kenapa perang ini disebut dengan Perang Tiga Raja.
Pascaperang besar ini, Ahmad al-Manshur naik sebagai Sultan Daulah Saadi. Kemenangan besar ini disambut ria oleh baik rakyat Maghrib sendiri maupun raja-raja dari berbagai negara yang turut memberi hadiah sebagai apresiasi untuk kemenangan Saadi atas Portugal. Kemenangan ini pula membuat Daulah Saadi memiliki posisi yang diperhitungkan di mata dunia. Beda halnya dengan Portugal, setelah perang, imperium Portugal sedikit demi sedikit melemah dan pada akhirnya menjadi subordinat dari Imperium Spanyol. Bahkan saking menyedihkannya kekalahan ini, beberapa sumber sejarah menghindari pembahasan tentang perang ini.
Demikian konflik berdarah antarsaudara Dinasti Saadi yang berujung pada Perang Salib antara pasukan Nasrani Sebastian dan pasukan Muslim Abdul Malik di Maghrib. Saya rasa tulisan tentang perang ini belum terlalu jamak di telinga kaum Muslim, padahal perjuangan pasukan Maghrib mempertahankan tanah air dan semangat Abdul Malik memperjuangkan marwah Islam dan kerajaannya sangat heroik. Hal itulah yang mendasari saya untuk mengangkat pembahasan ini. Saya bisa bayangkan bagaimana sedihnya jadi istri mereka bertiga, saya kira mereka pasti menyesal menikahi ketiga raja seraya berkata, “Lebih baik aku menikahi petani yang menguasai sebidang tanah daripada raja yang menguasai tanah Maghrib setengah-setengah.”
oleh: Zidni Ilham Failasufa
Ikuti kegiatan kami di Instagram @pcinumaroko