Resensi: “Belajar Hidup Dari Rumi”

Maulana Rumi Berpuisi Kepada Tuhannya, Bercinta Lewat Kata

بسم الله الرحمن الرحيم

  • Judul: Belajar Hidup Dari Rumi
  • Pengarang: Dr. Haidar Bagir
  • Penerbit: Penerbit Mizan (PT. Mizan Publika)
  • Kota Terbit: Jakarta Selatan
  • Tahun Terbit: Cetakan I, Juni 2015
  • Tebal Buku: 292 Halaman

Sajak-sajak yang menyelundup ke dalam hati sanubari setiap insan, menyelami samudra kata yang indah, menyuburkan jiwa-jiwa yang tandus, dan menyulap gelap gulita menjelma cahaya yang memancarkan aroma Tuhan yang Maha Tunggal, yang Maha Indah dari segala bentuk keindahan. Bentangan cakrawala terbuka, diksi-diksi Rumi mengetuk dengan penuh kemesraan merayu Tuhannya yang menjadi satu-satunya dzat yang sangat manis yang didambakan oleh semua manusia. Begitulah cara Maulana Rumi berpuisi kepada Tuhannya, bercinta lewat kata.

Cinta adalah segala-galanya bagi Rumi. Dalam gubahan puisinya, ia menulis:

Karena cinta pahit berubah menjadi manis, karena cinta tembaga berubah menjadi emas

Karena cinta ampas berubah menjadi sari murni, karena cinta pedih menjadi obat

Karena cinta kematian berubah menjadi kehidupan, karena cinta raja berubah menjadi hamba

Mengenai ungkapan, “Karena cinta kematian berubah menjadi kehidupan,” merupakan ungkapan khas sufi, yang mengingatkan kita pada Abu Manshur Al-Hallaj. Bagi seorang sufi, kematian adalah suatu tanda kehidupan yang baru. Kematian di sini adalah kematian dalam mencapai makrifat, seperti Al-Hallaj. Hidup sebagai orang biasa, yang terikat pada dunia semata-mata adalah fana, sedangkan hidup dalam api ketuhanan bersifat baka. Pada baris terakhir, “Karena cinta raja berubah menjadi hamba,” mengingatkan kita pada kisah Adham Ibrahim atau Raja Mahmud, yang meninggalkan kedudukannya sebagai raja dan menjadi hamba Tuhan. Dari sini jelas, bahwasanya Rumi mengambil imaji dan simbol sajaknya melalui pengalamannya sehari-hari.

Maulana Rumi melihat bahwa dalam diri manusia terdapat tenaga rahasia yang jika digunakan dengan sungguh-sungguh dan tepat, bisa membawa manusia menuju keluasan tak terbatas. Ia mulai memikirkan bagaimana caranya mengembangkan kepribadiaan manusia, sehingga nasibnya berubah. Berkatalah ia dalam bukunya, Fihi Ma Fihi:

“Manusia mengalami kepedihan, desakan, dan tuntutan. Pun jikalau ia memiliki ratusan ribu kekayaan, ia tidak akan pernah puas. Secara saksama manusia tak henti-hentinya menyibukkan diri dalam setiap jenis perdagangan dan pertukangan; ia menyibukkan dirinya dalam bermacam-macam jenis pekerjaan. Ia mempelajari ilmu, seperti astronomi dan kedokteran, sebab ia tak memiliki tujuan dan keinginan lebih tinggi. Manusia biasa menyebut kekasihnya dengan cara yang gampang.”

Bagi mereka yang tak mau mengubah nasibnya, jalan yang panjang menjadi pendek, batu krikil menjadi tebing, dan mereka tak mau membersihkan hidupnya untuk mencapai tangga yang lebih tinggi. Namun sebaliknya, bagi mereka yang mau mengupayakan nasib, setiap langkah jalannya selalu bersama Tuhan yang menyertainya.   

Penulis meyuguhkan syair-syair Jalal al-Din al-Rumi menjadi gubahan-gubahan puisi yang lembut sehingga langsung menyelusup ke lubuk hati kita yang paling dalam. Pembaca dapat menikmatinya langsung dengan membaca buku ini, puisi-puisi Rumi, betapa pun hanya serpihan-serpihan kecil, bicara sangat keras, sekaligus sangat lembut. Memang, pengaruh Rumi tidak saja meluas ke negeri-negeri Islam di Asia dan Afrika, melainkan juga membentang sampai Benua Eropa. Khususnya Jerman dan Inggris, yang orientalis-orientalisnya telah lama melakukan penelitian, penerjemahan, dan sekaligus memperkenalkan dan menyebarkan pengaruh sajak-sajak kaum sufi Persia ini ke Eropa.

Adapun sajak-sajak dalam buku ini diterjemahkan melalui terjemahan paling akhir dari A.J. Arberry, Mystical Poems of Rumi (The University of Chicago Press: 1968). Buku ini adalah kumpulan diwan-diwan Rumi yang masyhur. Sedangkan sajak-sajak dari Matsnawi diterjemahkan melalui terjemahan Inggris, R.A. Nicholson, dalam bukunya, Rumi: Poet and Mystic (Mandala Books, London: 1978).

Dalam kata pengantar, penulis menyebutkan alasannya mengapa buku ini berjudul: “Belajar Hidup dari Rumi”. Sebagian besar kutipan atau potongan syair Rumi yang ada di buku ini merupakan semacam panduan bagi cara-cara hakiki untuk mengembangkan cinta dan meraih kebahagiaan. Dengan kata lain, memang buku ini lebih pantas diberi judul sebagai buku untuk “belajar”, “belajar hidup”, betapa pun semua bahan pelajarannya memang berasal dari Rumi. 

Penulis turut menyelipkan catatan, bahwa sebenarnya ia jauh lebih suka membiarkan serpihan-serpihan puisi Rumi berbicara kepada hati pembaca tanpa ia nyinyir menjelas-jelaskannya. Kenapa? Pertama, belum tentu juga penjelasan penulis sesuai dengan apa yang dimaui sang penyair. Kedua, struktur puisi tak sepenuhnya gramatikal, justru menyimpan makna yang berlimpah. Menjelaskan hanya membatasinya, sehingga dapat menghambat tampilan nilai makna tersebut. Ketiga, menjelaskan puisi dapat mengurangi daya sangat puisi yang, antara lain, datang dari keluguan penggunaan kata-kata yang dipilihnya.

Gambaran umum

Buku ini hanya tersusun dari dua bab, yang bab pertamanya (serpihan-serpihan puisi penerang Jiwa) menjadi bab utama yang berisi bait-bait puisi Rumi yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bab kedua (hayat Rumi) menjelaskan kisah hidup Maulana Rumi mulai dari ia dilahirkan sampai akhir hidupnya. Penulis membungkus buku ini dengan bahasa yang ringan sehingga orang awam yang tak paham sastra sekalipun, hatinya akan terguncang setelah membaca buku ini. Pemilihan bentuk font yang beraneka ragam dan ilustrasi gambar-gambar menjadi penghias pada setiap lembarannya.  

Kesimpulan

Betapa pun sebagai buku sufi, syair-syair sufi Rumi memang tak kurang-kurang bisa berfungsi sebagai sumber inspirasi dan tips yang mencerahkan dan menguatkan pembacanya dalam mengarungi hidup. Bahkan, karena bersifat spiritual, ia lebih berdampak ketimbang nasihat-nasihat yang semata-mata rasional, bahkan bersifat kejiwaan (psikologis) betapa pun kesemuanya penting dan saling menguatkan.

oleh: Anja Aufa

Akses artikel terbaru kami di numaroko.or.id

Ikuti kegiatan kami di instagram @pcinumaroko

2 thoughts on “Resensi: “Belajar Hidup Dari Rumi”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *