Konflik Ideologis; NU dan PKI

Menelisik Penyebab Konflik Antara Dua Organisasi dan Bagaimana Perjuangan NU Menumpas Komunisme

Masih banyak dari kita mendefinisikan komunis sebagai ‘masyarakat tanpa kelas, di mana semua properti dan kekayaan dimiliki bersama’. Bahkan masih banyak nahdliyyin yang terjebak dalam uraian tersebut. Dengan definisi itu, kita merasa komunis itu ‘kadang’ adil, bahkan ada beberapa pemahaman yang cocok jika diterapkan dalam kehidupan. Tak ada kelas sosial, tak ada si kaya dan si miskin, semuanya mendapatkan haknya. Tapi apakah benar komunis seperti itu? Jikalau benar begitu kenapa partai dengan embel-embel komunis itu tega melakukan kekejaman yang nyata sekali di Indonesia? Apa sebenarnya yang mendasari mereka melakukan perbuatan biadab itu?

Jika ditelisik lebih dalam lagi sebenarnya banyak sekali kesalahpahaman mengenai arti komunis. Ideologi mereka sangat bertolak belakang dengan bangsa Indonesia khususnya NU. Perbedaan yang kentara sekali menyebabkan antara NU dan PKI mengalami banyak singgungan dan konflik berkepanjangan dalam sejarah bangsa ini hingga akhirnya partai tersebut dibubarkan permanen.

Dalam tulisan ini, penulis ingin mencoba menguraikan tentang apa itu komunis, PKI, dan hubungan apa saja yang terjadi antara PKI-NU.

Komunis dan PKI

Komunis merupakan kelompok yang menganut paham marxisme, leninisme, dan komunisme yang berkembang dari filsafat barat materialisme. Setelah terjadi renaisans di Eropa, orang-orang barat percaya bahwa manusia dengan akal pikirannya bisa menguasai segalanya. Mereka mulai meninggalkan kepercayaan pada agama dan meninggalkan ajaran agama karena mereka menganggap sesuatu yang bersifat khayalan atau gaib itu benar-benar tidak ada. Falsafah materialisme mulai berkembang. Sebuah pemikiran yang beranggapan semua hal di realitas ini adalah benda (materi). Tuhan mereka anggap sebagai imateri (tidak benda). Mereka percaya pusat realitas ini adalah manusia bukanlah tuhan, hal yang sangat berlawanan dengan kepercayaan agama yang percaya peran tuhan.

Marxisme—yang merupakan inti fondasi dari komunisme—merupakan satu dari banyak ideologi yang berpijak pada materialisme, hasil pemikiran Barat. Marxisme yang dicetuskan oleh Karl Max ini merupakan bentuk perlawanan terhadap ideologi kapitalisme yang juga produk materialisme. Walaupun kedua paham ini berlawanan, tetapi akar mereka sama-sama materialisme yang ateis (tidak percaya tuhan), hal yang sangat ditentang oleh umat Islam khususnya oleh NU.

Komunisme mulai masuk Indonesia melalui penjajah Belanda. Mereka menyebarkan paham ini, mencari simpatisan hingga berhasil mendirikan organisasi komunis bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914. Organisasi inilah cikal bakal yang berkembang menjadi PKI.

Konflik PKI dan NU

Perselisihan antara NU dan komunis terjadi disebabkan oleh banyak perbedaan, terutama perbedaan ideologi. NU yang berasaskan Islam ahlussunnah waljamaah, berakidah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, berpedoman Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas yang dipahami dengan bermazhab dari salah satu empat imam mazhab yang sangat kuat secara pemikiran dan keilmuwan. Sangat berlawanan dengan PKI beserta komunismenya.

Perbedaan ideologi yang kentara ini membuat NU harus bertindak tegas. Dikutip dari buku Buku Putih: Benturan NU-PKI, KH. Idham Chalid dalam harlah NU ke 39 di Jakarta, mengatakan bahwa politik non komunis atau anti komunis yang dijalankan NU tidak hanya untuk menghadapi komunisme saja, tetapi NU akan berhadapan dengan segala bentuk ladiniyun (sekularisme) dan segala bentuk zanadiqoh (ateisme), karena keduanya merupakan satu kesatuan sebagai musuh NU.

PKI gencar menyebarkan menyebarkan paham ‘pengingkaran tuhan’ mereka. Sasaran mereka adalah kaum proletar yang merasa tertindas oleh kaum borjuis. Masyarakat pedesaan yang mayoritas NU sering mendapat teror dan paksaan PKI. Siapapun yang menghalangi jalan mereka akan dibersihkan. Mereka menarget orang-orang yang sekiranya memliki pengaruh yang kuat di daerahnya, khususnya tokoh agamis yang mayoritas orang NU.

Orang-orang komunis ini tak segan-segan membunuh. Banyak sekali kiai-kiai NU yang merupakan tokoh masyakarat menjadi korban keganasan mereka. Mereka mengincar berbagai simbol keagamaan seperti masjid, surau, hingga pesantren. Mereka menganggap tempat-tempat tersebut sebagai pusat pergerakan Islam.

Tragedi penangkapan, penculikan, dan teror oleh PKI marak terjadi di berbagai daerah Indonesia sejak tahun 1947 dan terus berkelanjutan hingga puncaknya pertengahan 1960-an. Para kiai, ulama, dan ribuan santri NU banyak menjadi korban keganasan PKI. Menghadapi konflik ini, pihak NU mengambil sikap tegas. Melalui pasukan Banser dan Hizbullah, NU melakukan pengawasan dan pertahanan terhadap tempat-tempat ibadah dan pondok pesantren.

Konflik NU-PKI terjadi bukan hanya terjadi dalam hal ideologi saja. Dalam kultur dan politik NU juga bergesekan dengan PKI. NU yang saat itu itu bergabung dengan Masyumi—maupun setelah berpisah—berjuang dalam dewan kontituante mengusulkan pembubaran PKI karena ketika PKI masuk dalam parlemen mereka selalu menghujat partai lain, mengolok-olok bahkan membuat keonaran. Dalam kultur pun, NU berupaya menumpas penghinaan agama yang dilakukan PKI seperti pementasan ludruk, ketoprak yang telah disusupi dan dirubah. Seperti pementasan di Prambon dengan lakon Gusti Allah Dadi Manten (Allah Menjadi Pengantin). Pementasan yang menistakan agama Islam tersebut langsung diatasi oleh pasukan Banser sehingga pertunjukan itu bubar dan pemainnya dihabisi oleh Banser.

G-30-S/PKI dan peran NU menumpas PKI

Siapa sangka, malam itu tanggal tiga puluh September terjadi tragedi berdarah dalam sejarah Indonesia. Usaha pemberontakan terhadap pemerintah bertujuan mengganti ideologi Pancasila dengan komunis dilakukan oleh PKI. Malam itu, seluruh elemen masyarakat dikejutkan dengan penculikan dan pembunuhan terhadap jenderal petinggi ABRI. Para jenderal itu adalah Menteri/Panglima AD Letnan Jenderal A. Yani : Mayor Jendral Suprapto; Mayor Jenderal S. Parman; Mayor Jenderal M.T. Harjono; Brigadir Jenderal Sutojo; Brigadir Jenderal Panjaitan dan Letnan Pier Tendean, terdapat usaha penculikan dan pembunuhan yang gagal dilakukan terhadap Menko/Hankam/KASAB Jenderal A.H.Nasution. Jenazah para jenderal ini dibuang dalam sumur di Lubang Buaya

Sebelum PKI benar-benar diputuskan sebagai tersangka utama, NU telah berkesimpulan Gestapu (Gerakan 30 September) ini merupakan aksi mereka, mengingat konflik kedua ormas ini yang memanas dari tahun ke tahun. Saat itu pimpinan PBNU, Rais Aam KH. Wahab Hasbullah serta beberapa pimpinan memantau tragedi ini di rumah Ny. Sholihah Wahid Hasyim di Jakarta. Pada tanggal 1 Oktober 1965, PBNU membuat pernyataan yang berisi,

Pertama, mencela dengan keras tindakan perebutan kekuasaan oleh apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”;

Kedua, menolak dan menentang pembentukan “Dewan Revolusi”.

Pemerintah Indonesia segera bertindak. Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto berdasarkan arahan Presiden Soekarno melakukan perlawanan. Pasukan TNI segera menyerbu tempat vital yang telah dikuasai PKI, seperti stasiun radio RRI dan mengejar PKI sampai menemukan sumur Lubang Buaya. Ketika RRI berhasil diambil alih, Mayjen Soeharto mengeluarkan pengumuman bahwa PKI telah melakukan pemberontakan. Melalui kejelasan ini, pasukan Banser pun ikut bersama TNI menumpas PKI.

Simpatisan PKI yang begitu banyak melarikan diri mencari perlindungan di berbagai daerah terutama pedesaan. Mereka mencoba membaur dengan masyarakat. Tetapi, masyarakat yang sudah terlanjur geram dengan tindakan mereka ini turut membasmi mereka. Kader NU yang berada di pelosok desa sangat berperan ketika itu dalam pencarian PKI.

Tragedi G-30-S/PKI ini membuat PKI menjadi organisasi terlarang hingga partai ini pun dibubarkan secara permanen.

Kesimpulan

Tragedi kelam G30S/PKI, sangat menyisakan trauma dan efek psikologis yang mendalam bagi Indonesia. Banyak korban baik dari pihak NU, TNI, PKI, bahkan masyarakat sipil yang tak berdosa. Ideologi komunis yang kental akan ateisme dan materialisme membuat orang bertindak sekenanya tanpa tuntunan agama, menghalalkan darah hanya untuk menggapai ambisi.

NU melalui Bansernya sebagai barisan garda terdepan umat Islam di Indonesia saat itu bergerak menjadi pembela agama dan tanah air atas tindakan makar PKI. Sudah sepatutnya NU sebagai ormas Islam melawan musuhnya yang berusaha mem-bughat dan mengancam keutuhan NKRI. Peran NU dalam menumpas PKI patut diapresiasi. Langkah NU ini telah sesuai dengan syariat karena setiap bughat wajib diperangi.

Pada tanggal 5 Oktober 1965, pengurus tinggi PBNU, Rais Syuriah KH. Masykur beserta jajaranya, menandatangani surat pernyataan resmi yang mengutuk Gestapu. Tak lama setelah surat itu diterbitkan dan disebarluaskan, partai-partai lain mengikuti langkah NU bersama-sama mengutuk aksi Gestapu ini yang membuat PKI kian terpojok hingga ditetapkan menjadi organisasi terlarang.

Daftar bacaan: Buku putih: Benturan NU-PKI

oleh: Abdullah Rosikh Fil Ilmi

Baca artikel terbaru kami Kiblat Kok Beda-Beda, Sahkah Salatnya?

Ikuti kegiatan kami di Instagram @pcinumaroko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *