Tema Diskusi PCI Fatayat NU Maroko kali ini dipersembahkan oleh sahabat Sofwatun Nufus dengan mengangkat topik Women in Male Dominated Fields, Why Not?. Tema kali ini berawal dari kalimat-kalimat yang kerap terdengar dari mulut sebagian perempuan: “Aku kan cewek, aku ga ngerti politik.” Terdengar sepele namun ternyata ada stigma yang cukup serius dibaliknya dimana kalimat itu menunjukkan sebuah asumsi bahwa politik bukan urusan perempuan atau bahwa perempuan kurang paham tentang politik hanya karena dia perempuan.
Unfortunately, everything is political
Politik adalah cara orang mengatur kekuasaan, membuat aturan, dan mengambil keputusan bersama dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Politik tidak selalu berarti partai politik atau hal-hal yang berhubungan dengan pemilu, tetapi bisa sesederhana berupa aturan di sekolah, keluarga, ataupun organisasi. Menurut pemateri sendiri, politik adalah sebuah wadah atau alat, sedangkan politisi adalah orang yang memegang kendali atas wadah tersebut. Uniknya, everything is political when we’re women. Kok bisa?
Let’s talk about culture of silence (budaya diam). Menurut Paulo Freire, budaya diam merupakan situasi ketika orang-orang yang tertindas terjebak dalam ketidakberdayaan dan dicegah untuk mengekspresikan diri serta bertindak berdasarkan pikiran dan pengalaman mereka. Hal ini sering terjadi dalam dunia politik dimana kaum marginal atau kaum rentan sering merasa ketakutan karena menyuarakan pendapat mereka tentang politik kemudian diancam dan tidak dilindungi.
Lalu, apa hubungannya dengan perempuan?
Jika merujuk pada konsep budaya diam menurut Paulo Freire, masyarakat dibungkam oleh struktur dominan hingga terbiasa pasif dan tidak kritis. Dalam konteks relasi gender, struktur dominan itu disebut patriarki. Istilah ini digunakan secara lebih umum pada relasi kuasa yang digunakan laki-laki untuk mendominasi perempuan dan menggambarkan suatu sistem yang mensubordinasikan perempuan dalam berbagai cara.
Dari sistem patriarki inilah kemudian muncul sebuah ideologi bernama misoginis (kebencian terhadap perempuan) yang membuat perempuan kerap diremehkan dan dianggap sebagai kelompok kedua yang terpinggirkan.
Padahal suara perempuan tidak kalah penting lho…
Emang iya?
Sini, kenalan sama Laksamana Keumalahayati. Beliau merupakan perempuan asli Aceh kelahiran 1 Januari 1550 yang menjadi salah satu diantara beberapa singa betina dari Tanah Rencong yang bernyali besar, selain Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia yang melawan kolonialisme. Singkat cerita, pada tahun 1585, Malahayati dipercaya menjabat sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah semasa Sultan Riayat Syah. Ia pun diberi pangkat laksamana dan menjadi perempuan pertama yang menyandangnya di dunia saat itu. Dirinya mengaku memiliki rencana besar dan mengungkapkannya kepada sultan. Ia ingin membangun sebuah armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan. Pasukan elite ini dikenal dengan nama Inong Balee (prajurit perempuan yang berstatus janda) yang kemudian menjadi pasukan tempur yang disegani. Terbukti, dalam sebuah duel satu lawan satu diatas kapal musuh pada 11 September 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan Cornelis. Nyawa Cornelis pun melayang di ujung rencong Malahayati.
Tapi, again, everything is political
Buktinya? Salah satunya pink tax. Sebuah istilah yang merujuk pada selisih harga yang harus dibayar perempuan untuk produk atau layanan yang secara fungsional serupa dengan milik laki-laki, tetapi dikemas secara berbeda -sering kali hanya karena warnanya yang feminin. Dampaknya tidak berhenti pada level konsumsi pribadi, tapi meluas hingga memperlebar kesenjangan ekonomi berbasis gender. Perempuan yang secara statistik memiliki pendapatan lebih rendah dari laki-laki, justru dihadapkan pada pengeluaran yang lebih tinggi untuk kebutuhan sehari-hari. Contoh nyata dari pink tax terlihat pada produk sanitasi wanita dimana hal itu merupakan kebutuhan bulanan setiap wanita dan belum mendapatkan pembebasan PPN secara penuh yang menambah beban finansial semakin tidak proporsional.
Which all being said, perempuan belum merdeka sepenuhnya. Mari sama-sama ambil bagian dari perjuangan ini: mulai dari menyadarkan diri sendiri, kemudian saling merangkul dan mengajak untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang sering kali dilupakan dan dilewatkan.
Notulensi diskusi Fatayat NU Maroko, ditulis oleh: Naila Nurafifah Hidayat, Mahasiswi Ma’had Imam Nafie, Tangier.
Ikuti kegiatan kami lewat instagram @fatayatnumaroko
simak berita terbaru kami, Nganu (ngobrol bareng NU) episode 3