Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional, PCINU Maroko menggelar talkshow yang bertajuk “Menggali Potensi Santri dalam Menghadapi Tantangan Zaman” pada Sabtu, (26/10). Acara ini diinisiasi oleh Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Maroko sebagai puncak rangkaian acara peringatan Hari Santri Nasional yang sebelumnya diawali dengan Istighosah Kubro pada 22 Oktober sebelumnya.
Acara ini diisi oleh dua narasumber, yaitu Agus Ghulam Ahmad, Lc., M.A., editor di Era Indonesia Digital (ERA.id) dan Ahmad Ihabul Fathi, Lc., brand ambassador ICESCO Youth Peace dipandu oleh Muhammad Nabil. Talkshow yang berlangsung secara daring via Zoom Meeting ini disiarkan ulang di kanal YouTube PCINU Maroko.
Acara dibuka dengan penyampaian sambutan oleh Wakil Ketua Tanfidziyah PCINU Maroko masa khidmah 2024-2026, Ahmad Mutamakkin Fawaaid, Lc. “Pemilihan tema santri pada webinar kali ini, karena bertepatan dengan hari santri selasa lalu,” ujarnya.
Mas Agus menuturkan seiring berkembangnya zaman, pendidikan pesantren kerap kali diisukan dengan adanya tindak kekerasan dan penyebaran paham radikalisme. Untuk menghadapi isu-isu tersebut, pria yang akrab dipanggil Mas Agus ini memiliki dua cara.
“Yang pertama, apabila memang benar dirasa adanya kejanggalan pada pesantren, sebaiknya pihak pesantren harus mengakui kesalahan tersebut untuk mengembalikan kepercayaan publik, bukan menghindari apalagi berdalih guna mengamankan nama institut masing-masing. Yang kedua menjadikan santri sebagai sosok revolusioner atau pembawa perubahan. Sebagaimana Nabi Muhammad saw. menjadi revolusioner pada zaman jahiliah, maka santri harus menjadi revolusioner pada zaman sekarang.” jelasnya. Mas Agus sendiri merupakan alumni Universite Hassan II de Casablanca, Maroko.
Selanjutnya Mas Agus menyampaikan bahwasanya ilmu-ilmu yang kita pelajari di pesantren hanya setengah cukup untuk menjadi bekal di masa depan dan kita harus menyetarakan antara wawasan dasar yang kita punya dengan wawasan baru yang mengikuti perkembangan zaman.
Melanjutkan apa yang disampaikan oleh Mas Agus, Mas Ihab menyinggung masalah sistem pendidikan pesantren yang bersifat tertinggal, kolot, dan tradisional. Seakan-akan ada skill gap antara pendidikan pesantren di Indonesia dan di negara lainnya.
Mahasiswa pascasarjana yang kini berkuliah di Institut Dar El Hadith El Hassania, Rabat, itu turut memaparkan contoh skill gap,
“Saya punya teman dari Senegal, yang notabene sama-sama dari pesantren, namun ketika di Maroko dia mampu mengimbangi dalam berbahasa Arab dengan orang Maroko. Sedangkan kita kok Bahasa Arabnya masi terbata-bata, apakah ada kesalahan pada sistem pesantren di Indonesia? Ini itu tantangan santri, maka kita harus gali potensi santri.”
Ia melanjutkan di sisi lain, pada asalnya santri juga memiliki jati diri yang cukup untuk menjadi bekal di kehidupan yang akan datang, antara lain: resilience (tahan banting), patience (sabar), keep tracking (ikhlas), adaptability (mudah beradaptasi), loyalty (loyalitas) dan down to earth (tawadu).
Talkshow diakhiri dengan sesi dokumentasi. Diskusi ini diharapkan menjadi ajang refleksi dan motivasi bagi santri dan mahasiswa dalam menghadapi tantangan zaman, sambil tetap memegang teguh nilai-nilai pesantren yang melekat pada jati diri santri.
Ikuti kegiatan kami selengkapnya di instagram @pcinumaroko