Catatan perjalanan menapak tilas sejarah Syekh Abdussalam bin Masyisy
Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Badan yang lelah setelah melakukan aktivitas seharian bersiap tuk mengistirahatkan diri. Beberapa menit sebelum terlelap, tiba-tiba terdengar notifikasi whatsapp.
“Ada yang mau ke makam Moulay Abdussalam bin Masyisy?” Seketika kantuk saya langsung sirna. Notifikasi itu cukup membatalkan rencana tidur saya.
Habib Yasin al-Idrissi al-Wazzani, beliaulah yang mengajak saya dan beberapa kawan ziarah ke makam Syekh Moulay Abdussalam bin Masyisy. Beliau tiba di rumah kami di Tetouan pukul dua belas malam. Sebelum berangkat, kami berbincang santai beramah-tamah terlebih dahulu. Terkadang, guyonan Habib Yasin dan yang lain membuat rumah kami hangat penuh dengan gelak tawa. Tak terasa satu jam telah lewat, Habib Yasin berpamitan serta mengajak beberapa dari kami ziarah ke Jabal Alam.
Perjalanan malam kami sangat tenang dan syahdu. Ditemani angin malam yang berembus, menembus jalanan malam Tetouan. Di tengah perjalanan, sambil menyopir Habib Yasin bercerita tentang sejarah, keutamaan, dan karamah yang dimiliki wali yang akan kami kunjungi.
Beliau bernama lengkap Moulay Syekh Abdussalam bin Masyisy bin Abi Bakr bin Ali bin Hurmah bin Isa bin Salam bin Mizwar bin Ali bin Haidarah bin Muhammad bin Idris al-Akbar bin Abdullah al-Kamil bin Al-Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, suami Sayyidah Fatimah az-Zahra radiyallahu anha, putri tercinta Nabi Muhammad saw. Salah seorang waliyullah yang lahir pada tahun 559 H bertepatan 1198 M di Jabal Alam, Tetouan, Maroko. Beliau merupakan sosok yang sangat dihormati dan disegani di Negeri Maghrib ini.
Kredibilitas dan kewalian beliau tak perlu diragukan lagi. Derajat wali quthb layak disandangnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh wali Allah di Irak, Abil Fath al-Wasithi, ketika Imam Syadzili menanyakan keberadaan wali quthb. Beliau pun menjawab, “Engkau mencari wali quthb jauh-jauh ke sini, padahal ia berada di negerimu, pulanglah, pasti engkau akan temukan disana.” Benar saja yang dimaksud oleh Syekh Al-Wasithi tidak lain adalah Syekh Abdussalam bin Masyisy.
Kewalian dan keutamaan beliau tak akan tersebar dan se-terkenal sekarang apabila tidak disebutkan oleh murid spesialnya, yaitu Syekh Imam Abu Hasan as-Syadzili. Bahkan ada ungkapan terkenal,
لولا الشاذلي لم يعرف ابن مشيش ولولا ابن مشيش لم يكن الشاذلي شاذليا
“Jikalau bukan karena Syadzili, Ibn Masyisy tak akan dikenal, dan jikalau bukan karena Ibn Masyisy, Syadzili tak akan menjadi Syadzili”
Hubungan antara kedua wali ini sangat spesial. Banyak sekali faedah dan pelajaran yang dapat diambil. Seperti amanah Ibn Masyisy kepada Imam Syadzili untuk merahasiakan tentangnya. Setelah menyelesaikan perjalanan spiritualnya, Syekh Ibn Masyisy meminta Imam Syadzili untuk merahasiakan keberadaannya dan statusnya sebagai guru dari masyarakat umum. Amanah itu dijalankan Imam Syadzili dengan baik selama bertahun-tahun. Hingga saat Syekh Ibn Masyisy wafat, barulah Imam Syadzili mengatakan pada dunia bahwa terdapat gurunya yang termasuk wali Allah di puncak Jabal Alam.
Salah satu karamah Syekh Abdussalam bin Masyisy, yaitu berpuasa sejak masih bayi. Ketika ibunda beliau menyusui Ibn Masyisy kecil pada bulan Ramadhan, Ibn Masyisy kecil tidak mau menyusu dari subuh hingga hari menjelang waktu berbuka. Seolah-olah ikut ibunya berpuasa.
Habib Yasin sangat mendalami dan bersemangat ketika bercerita, sampai-sampai membuat perjalanan satu setengah jam malam itu tak terasa. Mobil lalu ditepikan. Hawa dingin pegunungan langsung menusuk tubuh kami ketika keluar dari mobil. Suhu udara saat itu tiga belas derajat celsius. Kami segera mampir ke sebuah warung, lalu memesan teh untuk menghangatkan diri. Setelah kami merasa sudah cukup menghangatkan diri, kami melanjutkan perjalanan ke penginapan dan beristirahat sekaligus menyiapkan energi untuk kegiatan esok.
Pukul setengah dua siang kami melanjutkan perjalanan. Sekitar sepuluh menit perjalanan mobil kami sampai di lokasi makam tepat azan zuhur berkumandang. Kami pun memutuskan salat berjemaah di masjid terlebih dahulu sebelum berziarah.
Seusai salat, kami berziarah ke makam Syekh Abdussalam bin Masyisy. Dharih atau makam Syekh Abdussalam bin Masyisy berbentuk sebuah rumah kecil berdinding batu dan bata bercat putih dilengkapi dengan jendela berterali besi yang bercat hijau. Di sekitar makam tampak ramai peziarah yang khusyuk berdoa dan istigasah. Kebetulan kami serombongan merupakan warga nahdliyyin, langsung saja kami membaca tahlil, mengirimkan doa-doa, dan bertawasul kepada Allah melalui wali-Nya ini. Tak jauh dari makam, ada gua pertapaan Syekh Ibn Masyisy yang saat ini digunakan sebagai tempat berdoa masyarakat.
Setelah selesai berziarah, kami melanjutkan perjalanan ke masjid yang bernama Masjid Malaikat. Di masjid ini, Syaikh Abdussalam bin Masyisy menghabiskan tahun-tahun terakhirnya untuk salat, terutama saat salat fajr. Bangunan masjid ini berbentuk persegi panjang dengan luas sekitar 7×4 meter persegi. Dinding masjid ini tersusun dari batu dan bata mirip dengan bahan yang dipakai pada makam. Bagian atas masjid ini dibiarkan terbuka tanpa langit-langit yang menutupi, sehingga membuat kami ketika masuk langsung dapat merasakan angin sepoi-sepoi gunung. Kami berkesempatan melaksanakan salat sunah mutlaq dua rakaat di sana.
Terdapat salah satu karamah beliau di puncak Jabal Alam ini. Selama delapan abad terakhir belum ada batu gunung yang jatuh atau lengser ke bawah. Menurut masyarakat setempat, ini merupakan salah satu karamah Syekh Ibn Masyisy karena beliau semasa hidup salat diatas batu-batu itu. Seakan-akan batu gunung itu tak mau meninggalkan bekas tempat salatnya Syekh Ibn Masyisy, mengisyaratkan betapa batu gunung itu sangat mengagungkan beliau.
Tak jauh dari masjid itu ada sebuah petilasan Syekh Ibn Masyisy. petilasan itu berupa sebuah bebatuan gunung yang sangat besar. Di sela bebatuan itu terdapat sebuah celah yang menurut masyarakat setempat, barangsiapa yang dapat melewati celah batu tersebut maka orang itu akan mendapatkan kasih sayang orang tuanya selama-lamanya. Beberapa dari kami mencoba melewati celah batu itu sekedar memenuhi rasa penasaran saja.
Destinasi kami selanjutnya yaitu ‘ain abi hasan syadzili. Tempat itu adalah petilasan Imam Syadzili, berupa sebuah mata air yang memiliki sejarah unik di baliknya. ‘Ain itu dulunya merupakan mata air tempat Imam Syadzili diuji oleh Syekh Ibn Masyisy. Syekh Ibn Masyisy ketika itu sebelum menerima Imam Syadzili sebagai muridnya meminta Imam Syadzili untuk bersuci terlebih dahulu. Syekh Ibn Masyisy memerintahkan Imam Syadzili untuk berwudhu di sebuah mata air di lereng Jabal Alam. Lokasinya sekitar satu kilometer dari Masjid Malaikat. Imam Syadzili yang sudah tak sabar ingin diterima menjadi muridnya langsung melaksanakan dawuh beliau. Imam Syadzili pun kembali dalam keadaan suci tapi Syekh Ibn Masyisy merasa calon muridnya ini belum siap. Kemudian menyuruhnya bersuci lagi. Tanpa pikir panjang Imam Syadzili melaksanakan lagi. Begitu seterusnya, hingga Imam Syadzili datang lagi dengan wudhu ketiganya, barulah Syekh Ibn Masyisy menerimanya sebagai murid. Ternyata, faedah Syekh Ibn Masyisy meminta Imam Syadzili bolak-balik turun gunung untuk berwudhu itu guna membersihkan hati Imam Syadzili. Begitu juga untuk mempersiapkan hati Imam Syadzili dengan keikhlasan dan kesabaran agar siap menerima ilmu kebatinan dari Syekh Ibn Masyisy.
Di petilasan ini, kami dianjurkan berwudhu walaupun sudah memliki wudhu sebagai bentuk ngalap barokah Imam Syadzili. Sebelum kesini kami sudah persiapan membawa botol air minum untuk diisi beberapa mililiter air sebagai oleh-oleh pulang.
Tak jauh dari ‘ain syadzili ini terdapat sebuah reruntuhan bekas Istana Moulay Yazid. Habib Yasin yang menemani kami dari awal ziarah mengantar kami kesana untuk menapak tilas bekas istana itu. bangunan tersebut berupa istana yang belum sempat selesai dibangun karena ada konflik politik masa itu. Tampak beberapa bagian bangunan sudah tertutup oleh lumut dan semak belukar. Arsitektur khas Islam pada masa dinasti alawi sangat terlihat pada bagian-bagian istana, seperti bentuk pintu, bentuk jendela, dan tata letak ruangan. Walaupun telah ditinggal ratusan tahun dan tanpa perawatan, tempat itu sangat instagramable. Kawan-kawan saya beberapa kali mengambil foto di berbagai sudut istana.
Setelah cukup menghabiskan waktu di istana Moulay Yazid, tibalah kami di lokasi terakhir yaitu tempat kelahiran Syekh Ibn Masyisy. Lokasi ini terletak sekitar satu kilometer dari ‘ain syadzili. tempat kelahiran beliau ini sangat terawat karena di dalamnya terdapat makam ayah Syekh Ibn Masyisy, Syekh Masyisy. Di makam ini, kami berdoa bersama yang dipimpin oleh Habib Yasin. Setelah berdoa kami berkasidah bersama sembari menunggu masuk waktu ashar.
Dalam perjalanan kami ini, banyak faedah dan hikmah yang kami dapat. Dari bukti-bukti sejarah dan berbagai tempat petilasan, menambah keyakinan kami akan kewalian Syekh Abdussalam bin Masyisy. Kealiman dan kerendahhatian beliau mengasingkan diri di puncak Jabal Alam untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, justru membuat tempat itu ramai dikunjungi orang-orang, bahkan banyak peziarah yang berasal dari penjuru dunia.
Karya peninggalan beliau sedikit yang diketahui. Akan tetapi, walaupun sedikit, manfaat dan amal jariyah peninggalan beliau sangat terasa hingga detik ini. Bukti nyata peninggalan beliau terdapat pada sosok Imam Syadzili. Karena Syekh Ibn Masyisylah Imam Syadzili menjadi seperti yang dikenal dunia saat ini. Ajaran spiritual Imam Syadzili banyak yang dipengaruhi oleh Syekh Ibn Masyisy. Peninggalan beliau yang lain yaitu Selawat Masyisyiyah yang sangat populer. Beliau juga mewasiatkan nasihat kehidupan kepada Imam Syadzili, di antaranya:
Syekh Abu al-Hasan as-Syaziliy berkata: “Guruku mewasiatkan kepadaku dan dia berkata: ‘Jangan kamu langkahkan kedua kakimu kecuali kamu hanya mengharap balasan dari Allah Swt., janganlah kamu duduk kecuali kamu merasa aman dari maksiat kepada Allah Swt. dan jangan kamu berteman kecuali dia dapat menolongmu untuk ta’at kepada Allah Swt.’” dan Syekh Ibnu Masyisy berkata secara langsung kepada Abu al-Hasan as-Syaziliy: “Senantiasalah kamu suci dari rasa ragu dan dari kotoran dunia, ketika kamu dalam keadaan kotor maka bersucilah, ketika kamu mulai cenderung kepada syahwat dunia maka perbaikilah dengan bertaubat, jangan sampai kamu dirusak dan ditipu hawa nafsu, maka dari itu senantiasalah kamu merasa dekat kepada Allah dengan penuh ketundukan dan ketulusan hati.”
Syekh Abdussalam bin Masyisy meninggal pada tahun 622 H pada saat berwudu ketika akan melaksanakan salat subuh. Beliau ditikam oleh seorang pengaku nabi bernama Ibnu Abi ath-Thawaajin al-Kattamy.
Waktu semakin petang. Habib Yasin biqadarillah ada urusan penting yang tak bisa ditinggal. Kami pun segera pulang. Pemandangan senja pegunungan Jabal Alam menghiasi pandangan kami. Suara semilir angin sore musim gugur terembus ke telinga kami. Seolah-olah berbisik pada kami, dunia saat ini merindukan dan membutuhkan sosok baru seperti Syekh Abdussalam bin Masyisy.
Abdulloh Rosikh fil Ilmi, catatan perjalanan ke Jabal Alam, Selasa, 24 September 2024
Kajian: Bolehkah Membayar Zakat Ternak dengan Uang?
Baca tweet terbaru kami di Twitter @pcinumaroko