Membaca Majid Irsan al-Kailani, Melihat Salahudin Sebagai Hasil Rekrontuksi Sosial

Ketika melihat sejarah, kita akan menemukan rangkaian peristiwa besar yang terpusat pada tokoh-tokoh berpengaruh seperti raja, panglima, atau pemimpin militer. Penceritaan sejarah seperti ini kerap mengabaikan peran kolektif masyarakat. Sebut saja dalam penaklukan Andalusia (92 H), sejarah berputar di kisah Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad. Atau dalam pembebasan Al-Quds dari tentara Salib (583 H), sejarah terfokus pada kisah heroik Salahudin.

Historiografi semacam ini, menurut reformis kenamaan Yordania, Majid Irsan al-Kailani (w. 1437 H), menimbulkan masalah. Masyarakat akan membaca keberhasilan tersebut sebagai keberhasilan individu alih-alih keberhasilan umat. Dampaknya sangat destruktif, ketika menghadapi suatu problematika, masyarakat hanya akan menunggu pemimpin untuk bergerak, masyarakat hanya mengharap kedatangan Mahdi atau Mesias yang memimpin mereka untuk keluar dari permasalahan.

Majid Irsan menolak keberhasilan Salahudin sebagai keberhasilan individu, ia melihatnya sebagai salah satu produk dari generasi yang telah direkrontuksi. Keberhasilannya adalah keberhasilan kolektif dari masyarakat yang membentuknya dan generasinya.

Keadaan Umat Masa Perang Salib

Saat Abbasiah di bawah pengaruh Seljuk (429—552 H), umat Islam terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Para orientalis menyebut masa itu adalah masa decline (kemunduran—meskipun pandangan ini banyak dikritik). Masa ini merupakan titik kritis dalam hal ekonomi, militer ataupun keilmuan. Hal ini diamini oleh Al-Hajwi (w. 1376 H) dalam bukunya, “al-Fikrus Sami fi Tarikhil Fiqhil Islami,” yang menyebutnya sebagai Tourul Kuhulah, yang khas dengan taklid, fanatisme mazhab, dan berakhirnya penulisan matan.

Melencengnya ajaran tasawuf, merupakan salah satu faktor yang paling bertanggung jawab dalam keterpurukan ini, baik menurut Irsan ataupun Al-Hajwi. Ajaran tasawuf menjadi ajaran yang apatis terhadap realitas dan fokus untuk menghinakan diri. Sistem pendidikan juga berubah, madrasah terbentuk berlandaskan fanatisme satu mazhab yang berorientasi untuk melemahkan mazhab lain. Kerap terjadi fitnah antara Hanabilah dan Syafi’iyah, murid memfitnah guru, bahkan sampai penyerbuan di rumah atau pelemparan batu. Belum lagi perpecahan antara Sunni Syi’ah, atau Mu’tazilah dengan Asy’ariah.

Selain keilmuan, ekonomi dan sosial masyarakat juga jatuh ke titik kritis. Para raja kecil fokus pada kemewahan, melupakan pertanian dan irigasi, hal ini berdampak pada inflasi harga pangan yang nantinya akan menyebabkan kelaparan. Kelaparan di sini bukan main, Majid Irsan menyebutkan, menukil dari sejarawan Yusuf bin Taghri (w. 874 H), masyarakat Mesir sampai melakukan kanibalisme dan menyembelih manusia untuk mengatasi kelaparan.

Khilafah Abbasiah sendiri, hanyalah ada sebagai lambang kekhilafahan yang terbatas di Baghdad. Pemerintahan Muslim secara de facto dipimpin oleh Seljuk. Militer daulah Islam secara umum mengalami degradasi yang radikal, hal ini dibuktikan dengan invasi tentara Salib pertama pada tahun 1099 M. Invasi ini cukup menjelaskan masifnya perpecahan faksi-faksi militer dan politik dalam umat.

Titik Balik

Dari sinilah lahir generasi Salahudin, ia lahir bukan dengan instan, berlandaskan semangat mesianis yang tiba-tiba mengirim militer ke Al-Quds, melainkan proses panjang yang membutuhkan waktu. Majid Irsan menguraikan proses itu menjadi 3 fase:

Pertama adalah masa rekontruksi pendidikan, yang ditandai dengan munculnya madrasah-madrasah islah. Madrasah ini tersebar banyak di seluruh wilayah bahkan sampai ke desa dan pegunungan. Tujuan utama madrasah-madrasah ini adalah melahirkan generasi baru yang peka terhadap realitas, dan menghilangkan mitos-mitos tasawuf yang tertanam kuat. Madrasah ini juga merubah kurikulum yang sebelumnya berlandaskan fanatisme mazhab, menjadi semangat persatuan Islam.

Kedua adalah rekontruksi politik, yang ditandai dengan munculnya Daulah Zankiah (534—569 H) yang merupakan bentuk awal dari Daulah Ayyubiah (567—648 H). Daulah ini juga disebut sebagai “daulah hijrah“, karena ia membawa semangat jihad melawan tentara Salib yang ada di hadapan, hal ini membedakannya dengan daulah lain, yang disibukkan dengan perkara dunia dan perpecahan internal. Bisa dikatakan ini adalah buah dari reformasi pendidikan sebelumnya, karena pejabat-pejabatnya merupakan lulusan madrasah islah.

Ketiga adalah reformasi militer, yang ditandai dengan naiknya Salahudin sebagai raja. Setelah pola pikir masyarakat sudah benar, dan terwujudnya sistem ekonomi politik yang stabil, barulah Salahudin memulai gerakan militer. Ia membuat pelatihan militer yang masif, juga mengajari mereka fikih dan syariat. Ditambah lagi ia membangun benteng dan pabrik-pabrik senjata yang canggih. Setelah membebaskan Mesir dari pemerintahan korup Fatimiyyah (296—567 H), Ia mengumumkan satu musuh utama, pasukan kafir Salib.

Lalu Apa?

Keberhasilan Salahudin adalah perpaduan antara rekontruksi pemikiran, masyarakat yang memadai, dan semangat jihad militer. Ia bukan anomali yang datang sebagai Mesias atau Mahdi tanpa proses, ia adalah produk dari generasi yang diperbaiki (al-jailul muslih) yang merupakan hasil perjuangan kolektif umat Muslim sebelumnya.

Sejarah selalu berulang, barangkali dengan bentuk yang baru. Majid Irsan mencoba menyadarkan umat, kalau kita tidak bisa hanya menunggu Imam Mahdi atau menunggu pemimpin untuk melakukan apa yang disebut harakah islahiah. Perjuangan membutuhkan semangat kolektif dari tiap individu dan memudarkan sekat-sekat perbedaan untuk mencapai integrasi.

Daftar Bacaan:

هكذا ظهر جيل صلاح الدين وهكذا عادت القدس، لماجد عرسان الكيلاني

الفكر السامي في تاريخ الفقه الإسلامي، لمحمد بن الحسن الحجوي

Oleh: Naufal Zaky Farros

Ikuti kegiatan kami lewat instagram @pcinumaroko

simak artikel terbaru kami

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *