Bedah Syarh Lathif bersama Kiai Khairuddin dan Ustadz Hamsa

Bedah kitab Syarh Lathif bersama Kiai Khairuddin dan Ustadz Hamsa

NU Maroko mengadakan acara “Lailatul Ijtima’” bertemakan kajian aswaja dan ke-NU-an pada kamis malam (5/12) waktu setempat. Acara ini berupa bedah kitab Syarh Lathif ‘ala Muqaddimah Al-Qanun al-Asasiy wal Arba’in Haditsan tata’allaq bi Mabadi Jam’iyyati Nahdhatil Ulama yang disampaikan langsung oleh muallif-nya sekaligus pemateri pada acara tersebut, KH. Khairuddin Habziz, dosen Ma’had Aly Salafiyyah Situbondo bersama Ustaz M. Hamsa Fairuz, dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Jombang. Berlangsung di Sekretariat PPI Maroko, acara ini dihadiri oleh nahdiyin yang tersebar di berbagai kota di Maroko.

Acara yang diselenggarakan oleh LDNU Maroko ini dimulai pada bakda ashar dengan pembacaan maulid diba’ yang dibawakan oleh grup rebana “Syubbanul Maghrib” pada bakda ashar. Untuk meramaikan acara ini, nahdiyin dari berbagai kota berdatangan dan berkumpul di tempat acara.

Selepas Maghrib, KH. Khairuddin dan Ustadz Hamsa tiba di Sekretariat PPI Maroko yang disambut oleh segenap nahdiyin yang hadir. Lalu acara dibuka oleh Mas Dimas, koordinator LDNU Maroko.

Acara diawali dengan sambutan oleh ketua Tanfidziyah PCINU Maroko, Moch. Cholilurrahman, Lc.. Dalam sambutannya Mas Cholil mengenalkan dan menjelaskan PCINU Maroko kepada pemateri. Kemudian acara dilanjutkan dengan bedah kitab Syarh Lathif ‘ala Muqaddimah Al-Qanun al-Asasiy wal Arba’in Haditsan oleh KH. Kairuddin.

Kiai yang sangat murah senyum dan suka bercanda ini menuturkan alasan beliau menulis kitab atau syarh dari Muqaddimah Qanun Asasiy karya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, yang beliau singkat menjadi MQA. Menurut beliau, masyarakat NU sekarang khususnya pengurus NU harus memahami isi yang terkandung dalam MQA. Berbeda dengan para kiai dan ulama yang ketika dibacakan isi MQA oleh Kiai Hasyim Asy’ari langsung paham tanpa membutuhkan penafsiran, masyarakat NU biasa tentunya butuh penafisran atau syarh.

Kiai Khoiruddin menyadari pentingnya ini ketika beliau mengkaji MQA bersama masyarakat di pengurus ranting NU setempat. Kitab ini juga sudah di-tahqiq oleh para kiai besar NU seperti wakil Rais Aam PBNU, KH. Afifuddin Muhajir. Kitab ini memuat 35 ayat Al-Qur’an dan 9 hadits beserta penjelasannya yang dikutip dari berbagai kitab yang mu’tabar. Beliau bahkan menuturkan salah satu tafsir yang beliau gunakan merupakan karya ulama Maroko, yaitu Syekh ibn Ajibah.

Menurut Kyai Khairuddin, Setidaknya ada tiga kitab yang harus dibaca dan dipahami dengan baik oleh pengurus NU dan nahdiyin lainnya. Ketiga kitab itu adalah: 1. Muqaddimah Qanun Asasiy, 2. Arbain Haditsan tata’allaq bi Mabadi Jam’iyyati Nahdhatil Ulama, 3. Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Dengan membaca dan memahami ketiga kitab tersebut, akan paham tentang ide dan pemikiran Kiai Hasyim Asy’ari dan tujuan mulai beliau mendirikan Nahdlatul Ulama.

“Orang NU, khususnya pengurus NU itu harus dibekali dengan ilmu dan amal saleh, ketika sudah dibekali ilmu dan amal saleh, maka dalam menjalankan urusan organisasi maka akan berkah dan profesional,” dawuh Kyai Khairuddin menafsiri ayat ومن يؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا disertai senyum khasnya. “Ilmu itu maksudnya yang sesuai dan kredibel dengan tugasnya, misalnya pengurus LDNU ya harus menguasai ilmu tentang dakwah, LP Ma’arif harus paham dunia pendidikan, begitu juga lembaga lain.” tutur beliau memperjelas maksud arti ilmu.

Beliau mencotohkan lagi di ayat tentang kewajiban mentaati Allah Swt., rasul dan ulil amri. Ayat tentang kewajiban taat kepada Allah dan Rasul diulang-ulang lebih dari sekali sedangkan taat kepada pemimpin hanya disebutkan sekali. Ini menunjukan dalam menaati pemimpin harus selektif.

Kiai Khairuddin pula menjelaskan hadis yang pertama dalam kitab Arbain Haditsan tata’allaq bi Mabadi Jam’iyyati Nahdhatil Ulama, yaitu hadits: الدين نصيحة. Agama itu nasihat. Beliau menuturkan alasan kenapa Kiai Hasyim mengutip hadis ini adalah ingin menyampaikan pesan bahwa inti dari organisasi Nahdlatul Ulama ini adalah nasehat.

“Nasihat untuk yang mau dinasihati dan menerima nasihat, di situlah kebaikan akan muncul,” tutur beliau.

Melanjutkan apa yang disampaikan Kiai Khairuddin, Ustaz Hamsa menjelaskan tentang bentuk dakwah yang dijelaskan dalam MQA. Bentuk-bentuk dakwah itu yang pertama, Da’wah bil hikmah, yaitu dakwah dengan menjadi uswah yang baik.

Kedua, Da’wah bil Mauizhah Hasanah, yaitu dakwah dengan memberi nasihat dan menggunakan tutur kata yang lembut. “Orang NU itu harus بشيرا و نذيرا, memberi kabar gembira dan juga memperingati,” tutur beliau. Lalu yang ketiga, Da’wah bil Mujadalah, yaitu dakwah dengan diskusi dan sebagainya, tetapi tetap dalam kebaikan.

Tak terasa waktu sudah melewati waktu isya. Acara pun ditutup dengan doa yang dibacakan oleh Kiai Khairuddin yang diamini hadirin. Sebelum sesi foto bersama, Ustaz Hamsa memberikan closing statement,

“Ketika kita bergelut dengan ilmu, Allah Swt. akan mengangkat derajat kita seperti apa yang Dia firmankan dalam ayatnya, dan janji-Nya tidak bakal diingkari, kita harus pegang itu.”

Kiai Khairuddin pun tak ketinggalan, beliau juga berpesan, “Di Sukorejo desa saya sejak dahulu tidak ada tradisi mengijazahkan thariqah tertentu. Ketika ada yang bertanya apa thariqah saya, thariqah itu ya NU. Saya titip NU kepada kalian, NU itu juga sanad perjuangan dan keilmuan dari ulama pendahulu. dan saya ingin menukil pesan dari Kyai Hasyim Asy’ari, ‘Siapa saja yang merawat NU, maka kuanggap santriku, dan siapa yang aku anggap santriku akan didoakan khusnul khotimah beserta keluarganya.’”

NU Maroko gencarkan kegiatan Musyawaroh meskipun secara daring.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *