Tradisi Keilmuan, Kritik Murid Kepada Guru

Dalam literatur keislaman, acap kali kita menemukan adu argumen, saling kritik antara satu pihak dengan pihak lain, baik antara murid dan guru, anak dan ayah, salaf dan khalaf, dst. Baik dengan bahasa yang lembut atau pedas. Hubungan “erat” antara mereka ini tidak mencegahnya untuk saling kritik dan adu argumen demi kebenaran yang diharapkan bersama dan yang dituntut oleh Islam. Dalam catatan singkat ini, akan saya sebutkan beberapa contoh kritikan murid terhadap gurunya.

Misal pertama, Ahmad ibn Qosim al-Abbadi (w 992 H) dalam hasyiah-nya atas Jam’ul Jawami’ yang bernama al-Ayatul Bayyinat sering kali ia mengkritik gurunya sendiri Abu Abdillah Muhammad bin Hasan al-Laqqani (w 958 H) karena kritikannya kepada Ibn as-Subki atau al-Mahalli. Perlu diketahui, tujuan Ibnu Qosim dalam mengarang hasyiah-nya tersebut adalah untuk menjawab semua kritikan yang ditujukan kepada pengarang Jam’ul Jawami’ dan pensyarahnya, dan di antara yang sering mengkritiknya adalah al-Laqqani.

Terkadang Ibn Qosim menggunakan diksi yang agak pedas dalam membalas kritikan gurunya, seperti (Ibn Qosim, al-Ayatul Bayyinat, cet. DKI 2/120):

.هذا النظر نظر ضعيف، ودليله دليل سخيف

Pendapat ini merupakan pendapat yang lemah. Dalilnya juga menggunakan dalil yang tak berdasar.”

Misal kedua, antara al-Atthar dengan gurunya, as-Shaban. Sang guru berkata dalam hasyiah-nya atas syarah Mulla Hanafi atas matan kitab Adabul Bahs wal Munadharoh milik ‘Adhud: (cet. DKI 1/50-51):

As-Shaban dikritik oleh sang murid dalam hasyiahnya atas kitab yang sama. Di mana, al-Atthar tidak menyebut nama gurunya, melainkan ia menyamarkan namanya dengan diksi “di sebagian kitab hasyiah lain“, yang itu merujuk pada kutipan tulisan gurunya. (Cet. Dar al-Imam ar-Razi, 81):

.وبهذا تعلم أن ما في بعض الحواشي … من قلة الاطلاع مع أن النكات المذكورة محض تمحل سبقه الغير بها وزُيّفت

Dengan ini, bisa diketahui bahwa apa yang terdapat dalam beberapa hasyiah …… bisa dilihat tanda kurangnya mutholaah, ditambah lagi, poin-poin yang disebutkan hanyalah bentuk kesimpulan yang sebelumnya telah dibahas oleh orang lain dan telah diselewengkan.

Misal yang ketiga, antara Ibn as-Subki dengan gurunya azd-Dzahabi, mengenai biografi Imam Juwaini, ketika sang guru dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala’ mengatakan perkataan yang pedas kepada Imam Juwaini (cet. Ar-risalah 18/472):

  قلت : كان هذا الإمام مع فرط ذكائه وإمامته في الفروع وأصول المذهب وقوة مناظرته لا يدري الحديث كما يليق به لا متنا ولا إسنادا

Saya berkata: Imam ini, meskipun memiliki kecerdasan luar biasa, kedudukan tinggi dalam ilmu fikih cabang (furu’) dan prinsip-prinsip mazhab (ushul al-madhhab), serta kekuatan dalam berdebat, tidak memahami ilmu hadis sebagaimana mestinya, baik dari sisi teks (matn) maupun sanad.

Lalu Ibn Subki mengomentari pernyataan gurunya itu, dalam Tabaqatus Syafi’iyyatil Kubra (cet. Dar ihya al-kutub 5/187):

Tradisi kritik dengan tulisan atau buku oleh para akademisi muslim, merupakan tradisi yang sering kita temukan dalam sejarah keilmuan muslim. Jadi jangan kaget ketika kita menemukan ulama saling mengkritik, meskipun dengan bahasa yang agak “pedas”. Yang perlu kita kita teliti adalah apa argumen kritikan itu, karena kuatnya peryataan itu berada di argumennya. Adapun perkataan lainnya itu hanya bumbu dalam perdebatan.

Tinkirt, 23 januari 2025.

Oleh: Ali Mahrus Fuad (Kandidat Doktoral Dar el-Hadith el-Hassania).

Ikuti kegiatan kami lewat instagram @pcinumaroko.

Baca artikel terbaru kami.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *