Kisah ini Menceritakan perjuangan Rasulullah saw. bersama para sahabat dalam menggali parit saat perang Khandaq untuk melawan pasukan kafir Quraisy.
Awal Perjuangan dan Strategi Perang Khandaq
Salman Al-Farisi, sosok dibalik kesuksesan Perang Khandaq. Dinamakan Khandaq karena kata “Khandaq” dalam bahasa Persia memiliki arti parit. Yakni, Salman Al Farisi dalam perang tersebut mengusulkan pembuatan parit untuk melawan kafir Quraisy yang berjumlah lebih dari 10.000 pasukan, sedangkan kaum muslimin tidak lebih dari 3.000 pasukan.
Pembuatan parit berlangsung selama 10 hari (dalam riwayat lain disebut 15 hari). Setiap kelompok beranggotakan sepuluh orang dari kaum Muslim yang diwajibkan menggali parit sepanjang 40 meter dengan kedalaman 7-10 hasta dan lebar lebih dari 9 hasta. Rasulullah sendiri juga ikut menggali dan memikul tanah dipunggungnya hingga punggung dan perut beliau berdebu. Beberapa mukjizat terjadi pada peristiwa ini.
Mukjizat dari Tetes Air dan Doa
Diceritakan bahwa selama penggalian parit, ketika para penggali menemui tempat yang keras dan berbatu, para sahabat tidak mampu menggalinya meski telah berusaha keras. Akhirnya, mereka menghadap Rasulullah saw. untuk meminta bantuan. Kemudian Rasulullah saw. meminta untuk diambilkan air. Seseorang segera membawa wadah berisi air, yang sebagian isinya tumpah akibat terburu-buru. Lantas beliau membisikkan doa dan meludah kedalamnya, lalu memercikkan air tersebut ke tanah berbatu. Beberapa sahabat yang hadir saat itu berkata, “Demi Zat yang telah mengutus Rasulullah saw. dengan kebenaran, begitu air jatuh, tanah tersebut menjadi lunak seperti pasir.” Para sahabat mengerti apa yang harus mereka lakukan. Bermodal sekop dan keyakinan, mereka mengulangi apa yang sebelumnya telah berkali-kali mereka coba. Tempat keras dan berbatu tersebut menjadi tanah pasir yang mudah digali.
Sesaat kemudian, kaum Muslim segera melanjutkan penggalian. Nabi Muhammad menghiasi lingkungan penggalian dengan syair dan doa untuk menjaga semangat kaum Muslim, diikuti para sahabat dan sahutan para penggali lainnya. Mereka hanyut dalam gelak tawa dan menirukan lagu syair dengan penuh perasaan. Setiap alat di tangan mereka seolah menjadi lebih tajam oleh semangat yang bermekaran.
Batu Ujian dan Tangan Kenabian
Beberapa hari berlanjut, kekhusyukan para penggali seketika pecah oleh teriakan histeris dari bagian lain area penggalian. Pendengaran Umar bin Khattab menangkap suara itu menghampirinya dari arah kelompok penggali orang-orang Ansar. Bersegera dia menderap ke asal rintihan yang menyayat itu. Seorang laki-laki bernama Jabir menjerit karena tubuhnya tertimpa batu besar yang tak terelakkan. Orang-orang mencoba menolongnya, tetapi sia-sia. Umar bergegas mengambil alih besi pangkur dari salah seorang Ansar dan memukuli batu itu. Bukan retak apalagi pecah, rintihan Jabir semakin menjadi. Wajahnya pias, bagai tak lagi dialiri darah. Memucat semakin cepat. Keringat mengilatkan wajahnya. Gemetaran badannya oleh rasa sakit dan kekhawatiran akan nasib yang boleh jadi menimpanya kemudian.
“Tunggu… Rasulullah satu-satunya orang yang bisa memecahkan batu ini.” Umar demikian yakin dengan kalimatnya. Dirinya adalah simbol kekuatan. Semua pendatang dari Makkah mengetahui itu dengan pasti. Ketika Umar menganggap diri nya pun tak sanggup lagi menyelesaikan persoalan di depannya, tidak ada nama lain yang sanggup dia bayangkan untuk memberikan solusi kecuali Nabi. Dia segera meninggalkan lokasi itu setelah menjanjikan kepada orang-orang bahwa dia akan segera kembali bersama Nabi. Sementara menunggu Umar kembali, orang-orang sebisa-bisanya membuat nyaman Jabir yang tertimpa batu itu. Mengucurkan air ke mulutnya, mengelap keringat di dahinya, sembari membisikkan kata-kata penyemangat.
Umar datang kemudian dengan langkah setegap ketika dia pergi. Nabi ditemani Salman Al-Farisi, datang dengan langkah yang sama. Semua orang memberi ruang kepada Nabi. Beliau tampak serius dalam senyum empati di bibirnya. Lalu Nabi meminta pangkur yang tadi digunakan Umar untuk memukul batu itu.
Nabi tampak khusyuk dalam gerakannya. Mengayun pangkur dan memukulkannya ke permukaan batu. Benturan logam dan batu yang memercikkan kilatan cahaya. Salman tertegun di tempatnya menatap. Dia mulai bertanya kepada dirinya sendiri, “Ini imajinasiku saja, atau memang kilatan itu membentuk cahaya yang memendar dan meluncur ke atas Madinah, mengarah ke selatan?”
Nabi membenturkan pangkur itu untuk kali kedua. Memercik kilatan lagi. Salman kembali merasa pandangan matanya menangkap fenomena yang tak lumrah. Cahaya itu meluncur ke Uhud, melewatinya, menembus arah utara. Bunyi batu pecah. Keras dan bergemeretak. Hantaman pangkurmu kali ketiga menghancurkan batu itu. Semua mata membelalak. Salman sungguh tak merasa ditipu oleh halusinasi. Dia yakin telah menyaksikan pengulangan itu. Kilatan Cahaya memercik dari dentuman pungkur dan batu, mengarah ke timur. Lega hatilah orang-orang kemudian. Jabir, yang terjebak di bawah batu, kemudian diangkat, diusung beramai-ramai keluar parit agar segera mendapatkan pertolongan. Nabi belum beranjak dari tempatnya semula, sementara para penggali parit melanjutkan lagi pekerjaan mereka.
Kilatan Cahaya dan Janji Kemenangan
Salman mendekati Nabi Muhammad dengan langkah penuh hormat. “Ya Rasulullah…” Engkau membalikkan seluruh tubuhmu, bukan sekadar menolehkan kepala, menyambut panggilan Salman. “Ya Rasul, saya merasa tidak sedang berhalusinasi. Saya melihat kilatan cahaya yang berpendar dari pukulan pangkurmu, Ya Rasul, apakah ada makna dibaliknya?”
Nabi memandangi Salman dengan cahaya cinta di matanya. Cahaya kekaguman pada kecerdasan dan ketelitian bekas budak dari Persia itu. “Perhatikanlah cahaya-cahaya itu, wahai Salman,” ujar Nabi kemudian. “Dengan cahaya yang pertama, aku dapat menyaksikan kastel-kastel San’a di Yaman. Cahaya kedua menuntunku pada gambaran istana-istana merah Romawi di Syam dan negeri-negeri barat (Maghribi). Sementara dengan cahaya yang ketiga, aku menyaksikan istana-istana Kisra di Persia.” Salman tertegun pada takwil yang engkau ucapkan. Dia ingin terus menyimak.
“Dengan cahaya yang pertama,” katanya, “Allah membukakan pintu bagiku menuju Yaman, kalian akan menguasai kastel-kastel San’a. Melalui yang kedua, Syam akan ditaklukkan dan Heraklius akan melarikan diri hingga ke ujung kerajaannya, dan kalian akan menguasai Syam dan dunia barat. Tidak ada yang akan menentang atau melawan kalian. Sementara melalui yang ketiga, dibentangkan jalanku ke arah timur, Dan wilayah timur akan ditaklukkan, Kisra terbunuh, dan setelahnya tidak akan ada Kisra lagi.”
Salman seketika merasa bisu. Ke timur? Istana Persia? Ke tempat langkahnya bermula. Ke tanah kelahirannya yang penuh sejarah besar. Bibir Salman gemetaran kemudian. Baginya, apa yang Nabi katakan seolah-olah telah terjadi, sebuah optimisme yang dikawal langit. Salman merasa saat-saat yang ditunggu kian dekat. Keyakinan lama yang dia genggam, sekelebat wajah, dan kebahagiaan nan haru yang ia rasakan bercampur dengan syukur yang memekar dalam hati.
Maka nyatalah adanya ketika orang-orang kemudian menyaksikan bahwa dalam beberapa tahun saja di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, semua kota dan istana ini ditaklukkan. Salman Al-Farisi pun menyatakan, “Aku telah menyaksikan semua kemenangan-kemenangan ini.”
Daftar Bacaan:
- ابن هشام. 2015. السيرة النبوية. دار الكتب الإسلامية. بيروت
- Hazrat Mizra Masroor. (2024). Khutbah Jum’at: Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw – Pertempuran Khandaq II. Islamabad: Ahmadiyah.id.
- Tasaro GK. (2018). Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Oleh: Husein Muhammad Fajrul Islam
Ikuti kegiatan kami lewat instagram @pcinumaroko
Simak artikel terbaru kami