Resensi Buku “Kebenaran yang Hilang”

Kebenaran yang Hilang; Menelisik Pemikiran Farag Fouda Tentang Politik Muslim dan Pembacaan Kembali Sejarah yang Hilang

  • Judul: Kebenaran yang Hilang
  • Pengarang: Farag Fouda
  • Penerjemah: Novriantoni Kahar
  • Penerbit: Democracy Project (Yayasan Abad Demokrasi)
  • Kota Terbit: Jakarta
  • Tahun Terbit: Edisi Digital, 2012
  • Jumlah Halaman: 265 Halaman

Latar Belakang

Mesir akhir abad ke-20 merupakan panggung pergulatan ideologi yang sangat dahsyat. Keadaan negara yang tidak stabil dan masuknya berbagai macam paham dari Saudi, Prancis bahkan Iran, ditambah berbagai masalah sosial semacam kemiskinan juga mewarnai corak sosial Mesir saat itu. Sebagian masyarakat tampaknya mulai berimajinasi andai mereka menerapkan sistem Khilafah, maka mereka akan sejahtera seperti para pendahulu dan terlepas dari belenggu kemiskinan. Sebagian dari mereka bahkan mulai fanatik dan mengafirkan yang lain. Beberapa juga menganggap bahwa masyarakat Mesir saat itu merupakan masyrakat jahiliyah karena meninggalkan sistem Khilafah.

Di lingkungan seperti itulah, Farag Fouda menulis bukunya yang berjudul “al-Haqiqoh al-Ghoibah” yang berarti “Kebenaran yang Hilang”. Buku ini membuka lembaran-lembaran kelam perpolitikan “Muslim” yang selama ini seakan hilang terlupakan, dia berusaha merusak angan-angan masyarakat yang terjebak dalam romantisme masa lalu Khilafah yang selama ini dibangga-banggakan.

Isi Buku

Seperti yang sudah saya tuliskan di awal, buku ini berisi argumen-argumen yang menyanggah para propagandis penyeru penerapan sistem Khilafah, penyatuan agama dan negara. Yang membuat berbeda di sini, Fouda menggunakan argumentasinya dalam bentuk pemaparan sejarah yang merinci, dengan sudut pandang unik yang mungkin jarang diperhatikan masyarakat. Dia juga menyebutkan berbagai sejarah kelam Khilafah yang dia sebut sebagai “Pemerintahan Otoriter Khas Arab” karena kebrutalan, sadisme dan jauhnya para Khalifah dari nilai-nilai religiositas.

Selain itu, Fouda menawarkan berbagai alternatif dan solusi, agar umat Islam bisa bersaing menghadapi dunia modern yang sangat kompleks. Karena baginya, keterbelakangan umat Islam sekarang tidak memiliki hubungan kausalitas dengan tidak diterapkannya sistem Khilafah, melainkan hal ini dikarenakan hilangnya semangat ijitihad umat Islam itu sendiri.

Singkatnya, buku ini terdiri dari lima bagian:

  1. Pendahuluan
  2. Pembacaan ulang sejarah Khulafaurasyidin
  3. Pembacaan ulang sejarah Umayyah
  4. Pembacaan ulang sejarah Abbasiyah
  5. Kesimpulan

Bagian yang menurut saya paling menarik adalah bagian tentang Khulafaurasyidin. Di mana, gambaran kita tentang para Sahabat Nabi yang cenderung askeptis dan terkesan suci, seakan diuji setelah membaca bagian ini. Dia mengambil sudut pandang para Sahabat sebagai politikus, dimana seringkali mereka dihadapkan dalam keputusan yang sulit dan seringkali juga mereka mengambil keputusan yang seakan “melangkahi” syariat.

Yang unik lagi, dia mematahkan pandangan kalau masa itu adalah masa paling gemilang seperti yang umum dibayangkan masyarakat. Dari keempat Khalifah, hanya masa Umar dan fase awal kepemimpinan Usman (kurang lebih setengah dari total 30 tahun kepemimpinan Khulafaurasyidin) yang dianggap fase ideal. Dan selain itu, pemerintahan lebih disibukkan dengan perang saudara, saling bunuh, pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Dia juga menuliskan berbagai riwayat yang harus direnungkan dan ditelaah kembali, seperti: kaum penolak zakat yang dianggap murtad pada masa Abu Bakar, orang-orang dibalik pembantaian keluarga Usman, alasan Ali tidak mengusut pembunuh Usman, sampai perseteruan Ali dengan Abdullah bin Abbas tentang baitul mal.

Di bagian selanjutnya, Fouda mengritik penyorotan masyarakat terhadap Khalifah semacam Umar bin Abdul Aziz atau Al-Muhtadi dalam menggambarkan fase Khilafah secara umum. Karena Khalifah yang sangat adil dan saleh seperti mereka merupakan hal yang langkah dan sangat jarang di setiap daulah. Lebih dari itu, periode setelah Khulafaurasyidin tak ubahnya hanyalah sistem pemerintahan otoriter turun-temurun dengan menggunakan agama sebagai legitimasi. Fase itu banyak berisi pembunuhan, perang saudara bahkan pergundikan yang sangat jauh melenceng dari nilai luhur agama Islam. Namun sekali lagi, Fouda melihat hal tersebut melalui sudut pandang sistem politik dan pengambilan keputusan semata, dan sama sekali tidak berniat menyudutkan Islam itu sendiri.

Sebuah Kesalahan dan Konklusi

Metode yang digunakan Fouda barangkali terlihat asing, yaitu menyanggah hukum fikih (terutama tentang jinayah) dengan bersumber sejarah dan logikanya. Ini tentu menuai berbagai kontroversi, bahkan beberapa kelompok dan tokoh Mesir menganggapnya kafir, sampai ia dibunuh pada tahun 1992. Salah satu hal yang menurut saya sangat fatal yaitu, Foda menganggap hadis “Imamatul Quraisy” adalah hadis palsu berdasarkan logika sederhana yang dia paparkan. Mungkin akan lebih bisa diterima jika dia menafsirkan hadis itu dari sisi illat atau fokus pada tujuan kontekstual sebagaimana yang dilakukan Ibnu Kholdun, alih-alih menganggapnya hadis palsu.

Membandingkan moral masa lalu dengan masa kini juga agaknya hal yang tidak seharusnya dilakukan. Ditambah lagi kalimat-kalimat yang terlalu berlebihan dalam menggambarkan fase Khilafah, dan malah terkesan seperti sebuah framing yang terlalu tendensius. Hal ini barangkali disebabkan karena pengambilan sumber yang masih merupakan sumber mentah dan belum menggunakan metode kritik sejarah modern dengan benar.

Terlepas dari kontroversinya, Foda merupakan tokoh yang melampaui zamannya. Diksi-diksi yang jujur dan apa adanya, serta ditambah berbagai kalimat satire dan sindiran seakan menjadi obat pahit yang ditujukan untuk menyembuhkan penyakit sosial pada masa itu bahkan sampai masa kini. Dia menekankan adanya ijtihad baru dalam menghadapi tantangan globalisasi modern, alih-alih kembali menggunakan sistem 12 abad yang lalu. Dengan sudut pandang baru, dia berusaha mengajak pembaca menyelami dari satu argumen ke argumen lain, dari satu pembantaian ke pembantaian lain menggunakan logika akal sehat dengan mengesampingkan berbagai tendensi dan dogma.

Oleh: Naufal Zaky Farros

Ikuti kegiatan kami di instagram @pcinumaroko

Simak pengalaman Menapak Tilas Sejarah Syekh Abdussalam bin Masyisy di Jabal Alam, Tetouan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *