Dalam rangka memperkuat pemahaman fikih dan metodologi pengambilan hukum Islam, Fatayat NU Maroko menyelenggarakan Pelatihan Bahtsul Masail pada 25 Juli 2025 dengan menghadirkan Qoriatus Shufiyah sebagai pemateri utama. Pelatihan ini membahas berbagai aspek teoretis dan praktis dalam proses Bahtsul Masail, sebuah forum pengambilan keputusan hukum yang khas dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Materi disampaikan secara sistematis, disertai diskusi aktif dari para peserta.
Karakter Keputusan Bahtsul Masail dan Klasifikasi Masalah
Qoriatus Shufiyah menjelaskan bahwa keputusan Bahtsul Masail bersifat seperti fatwa, yaitu ghairu mulzim (tidak mengikat), berbeda dengan keputusan hakim (qadhi) yang memiliki kekuatan hukum secara formal. Dalam konteks negara, keputusan mujtahid yang melekat pada otoritas kelembagaan diakui memiliki daya ikat yang lebih kuat. Oleh karena itu, keputusan hasil Bahtsul Masail hanya berlaku secara internal dalam komunitas atau lembaga yang menyelenggarakannya.
Terdapat tiga klasifikasi utama dalam pembahasan masalah (masail), yakni:
- Masail Waqi’iyyah, yaitu permasalahan sehari-hari, seperti hukum menggunakan mekap waterproof.
- Masail Maudhu’iyyah atau tematik, misalnya pembahasan apakah ODGJ tergolong mukalaf atau tidak.
- Masail Qanuniyyah, yaitu permasalahan terkait kebijakan pemerintah dan kesesuaiannya dengan syariat, seperti pembahasan mengenai KUHP dan kasus pembelaan diri korban kekerasan seksual.
Metodologi Pengambilan Hukum: Pendekatan Qauly dan Manhajiy
Proses pengambilan keputusan hukum dilakukan melalui dua pendekatan utama, yaitu Istinbath Qauly dan Istinbath Manhajiy. Dalam Istinbath Qauly, jika ditemukan satu pendapat (qoul) yang paling ansab (tepat), aqwa (kuat), dan ashlah (maslahat), maka dapat langsung diterima. Namun, jika terdapat banyak pendapat yang berbeda, maka digunakan metode Taqrir Jama’i, yaitu musyawarah kolektif untuk menentukan mana yang paling relevan dan maslahat.
Sementara itu, Istinbath Manhajiy dilakukan dengan cara menganalogikan hukum baru terhadap hukum yang telah ada dalam kitab-kitab klasik (ilhaqul masail binadzhoiriha). Jika tidak ditemukan padanan, maka digunakan Istinbath Jama’i, yang terbagi menjadi tiga metode:
- Istinbath Bayaniy: Menelusuri konteks ayat atau hadits (asbabun nuzul/asbabul wurud). Contohnya dalam isu kepemimpinan perempuan, hadits yang dijadikan dasar perlu dikaji konteksnya, karena ternyata hanya diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang saat itu memiliki konflik pribadi dengan Sayyidah Aisyah.
- Istinbath Qiyasiy: Menganalogikan hukum dari kasus yang serupa. Misalnya, mengqiyaskan bahan pokok di Arab (seperti gandum) dengan beras sebagai bahan pokok di Indonesia.
- Istinbath Istishlahy: Menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan dengan pendekatan maqashid syariah. Contohnya, pembahasan hukum vasektomi dilihat dari aspek maslahat dan tujuan syariat.
Struktur dan Keterlibatan dalam Forum Bahtsul Masail
Pelatihan ini juga membahas unsur-unsur penting dalam penyelenggaraan Bahtsul Masail, yaitu perumus masalah, mushohhih (penyunting keilmuan), moderator, dan peserta. Yang menarik, forum ini bersifat terbuka; tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu. Siapapun yang memiliki kompetensi keilmuan diperbolehkan untuk menyelenggarakan atau terlibat dalam Bahtsul Masail, baik secara individu maupun kelembagaan.
Selain itu, pembahasan menyentuh pada fleksibilitas dalam penggunaan kutub mu’tabarah (kitab rujukan utama) di lingkungan NU yang dulunya bersifat terbatas, namun kini lebih terbuka untuk pendekatan yang lebih kontekstual, sesuai dengan kebutuhan zaman.

Sesi Tanya Jawab: Pendalaman Praktis dan Teoritis
Dalam sesi diskusi, dua pertanyaan utama mencuat. Pertanyaan pertama menyoal kapan diperbolehkan menggunakan Ibaroh diluar mazhab Syafii. Dijelaskan bahwa metode pencarian hukum dimulai dari qaul fardiy (pendapat individu), kemudian ke qaul jama’i. Pertama harus mencari qaul shorih dalam mazhab Syafii terlebih dahulu. Yaitu pendapat eksplisit dari Imam Syafii atau ulama mazhab Syafiiyyah mengenai masalah yang secara langsung dibahas. Jika tidak ditemukan qaul sharih: menggunakan Ilhaqul Masail bi-Nazairiha (إلحاق المسائل بنظائرها). Yaitu menyamakan (menganalogikan) masalah baru yang tidak ditemukan nash-nya secara eksplisit dengan masalah lain yang mirip, dalam mazhab yang sama. Ilhaq ini terbatas pada analogi dalam lingkungan mazhab Syafii.
Contoh penerapan qiyas (analogi) dan ilhaq (penyamaan hukum) dalam kitab Kanz ar-Raghibin atas Minhaj aṭ-Ṭalibin dalam fikih Syafii: pengharaman meminyaki mayit muḥrim (yang sedang berihram), berdasarkan pendapat kedua, dengan analogi terhadap mayit muḥrim, karena diriwayatkan oleh dua syaikh (al-Bukhari dan Muslim) bahwa Nabi ﷺ bersabda tentang orang yang meninggal dalam keadaan muḥrim saat wukuf di Arafah: “Jangan kalian menyentuhnya dengan minyak wangi dan jangan kalian tutup kepalanya, karena sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.”
Adapun pertanyaan kedua menanyakan bagaimana cara mengetahui apakah suatu kitab layak dijadikan rujukan. Jawaban yang diberikan adalah dengan menelusuri sanad keilmuan penulis (mushonnif), mengecek latar belakang keilmuannya, serta memastikan apakah dalam karyanya ada unsur pembaruan (tajdid) atau tidak. Hal ini penting karena beberapa penulis bisa saja memiliki kecenderungan tertentu seperti Mu’tazilah atau Salafi, yang dapat memengaruhi objektivitas dan otoritas karyanya.
Penutup
Pelatihan ini menjadi ruang yang sangat berharga bagi kader Fatayat NU Maroko dalam memperdalam kemampuan istinbat hukum sekaligus memperkuat landasan metodologi dalam menjawab persoalan keagamaan kontemporer. Diharapkan kegiatan ini dapat terus berlanjut secara rutin, tidak hanya sebagai forum ilmiah, tetapi juga sebagai bentuk penguatan peran perempuan dalam diskursus keislaman yang progresif, kontekstual, dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah.
Notulensi ditulis oleh: Nilna Zahwa Zaharah, Pelajar Institut Al-Faqih Ar-Rohouni, Kenitra.
Ikuti kegiatan kami lewat instagram @fatayatnumaroko
simak artikel terbaru kami,