Sabtu (27/09/2025) pukul empat sore waktu Maroko, PCINU Maroko mengadakan program Nganu: Ngobrol Bareng NU yang diinisiasi oleh Lembaga Media Nahdlatul Ulama (LMNU). Program ini berupa diskusi atau ngobrol santai yang dipandu oleh host dan dipantik oleh beberapa speaker undangan. Acara ini telah berjalan selama tiga episode dan disiarkan langsung melalui fitur space pada platform X.
Pada episode tiga ini, LMNU berkolaborasi dengan PCI Fatayat NU Maroko dengan tema Melihat pola kerusuhan yang terjadi, akankah femisida kembali menjadi ancaman?. Tema ini diusung karena dianggap kontekstual dengan permasalahan yang terjadi. Beberapa waktu lalu, Indonesia mengalami tragedi kerusuhan imbas adanya penambahan tunjangan DPR. Hal tersebut memicu kemarahan masyarakat dan melakukan demo terhadap pemerintah. Puncak kerusuhan mengakibatkan tewasnya pengemudi ojol, Affan Kurniawan, dan rusaknya beberapa gedung instansi pemerintah dan sarana umum. Meninjau kesamaan pola yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998, timbul kekhawatiran terjadinya pemerkosaan, pembunuhan, femisida, dan perilaku anarkis lainnya.
Menurut KBBI, Femisida adalah pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan.
Episode kali ini dibuka dan dipandu oleh Mbak Sofwa. Kemudian memperkenalkan para speaker yang akan membagikan opini mereka pada forum ini. Mereka ialah Mas Hikam (Wakil Ketua Tanfidziyah PCINU Maroko), Mas Sidqon (Mahasiswa UI), Mas Asyraf (Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh), Mas Subhan (Rais Syuriah PCINU Maroko 2022-2024), Mbak Hana (Ketua PCI Fatayat NU Maroko), Mbak Naila (Mahasiswi Imam Nafie Tangier).
Forum diskusi dimulai dengan pembacaan identifikasi permasalahan oleh host. Kemudian, para speaker diberi kesempatan untuk menyampaikan opini masing-masing. Para listener yang ingin nimbrung juga diperbolehkan berpendapat dengan seizin host.
Diskusi berjalan dengan lancar dan kondusif. Para speaker memberikan argumen dan opini dari berbagai sudut pandang. Mas Sidqon misalnya. Dia berpendapat bahwa tragedi kerusuhan Mei 1998 itu memang terjadi, tetapi tidak sampai menimbulkan femisida. Menurutnya, pemerkosaan itu terjadi sebagai bentuk kerusuhan untuk menghentikan demo. Mas Asyraf juga setuju dengan opini Mas Sidqon. Dia menambahkan pemerkosaan atau pembunuhan yang terjadi saat itu, yang menjadi salah satu akar masalahnya adalah konflik etnis-dalam hal ini Tionghoa, bukan murni karena femisida.
Menanggapi opini tersebut, Mas Hikam keberatan jika menganggap femisida tidak terjadi. Menurutnya, walaupun femisida tidak disebutkan secara eksplisit, tidak menutup kemungkinan hal itu juga terjadi saat itu. Mbak Hana dan Mbak Naila juga sependapat dengan Mas Hikam. Mbak Hana berpendapat pelaku saat itu sengaja menargetkan perempuan dan etnis Tionghoa sebagai objek kerusuhan dan kemarahan publik. Mbak Naila juga menambahkan alasan mengapa perempuan dan etnis Tionghoa sebagai objek, karena kedua hal tersebut mempresentasikan minoritas yang mudah diserang.
Walaupun ada perdebatan mengenai kebenaran terjadinya femisida, mayoritas speaker setuju bahwa femisida yang disebabkan oleh kerusuhan tidak akan terulang kembali, meski polanya sama. Karena masyarakat Indonesia masa kini tentunya jauh berbeda dengan masa Mei 1998. Masyarakat kini lebih terdidik, terbuka, dan melek dengan apa yang terjadi dengan pemerintahan.
Namun, tidak menutup kemungkinan adanya femisida disebabkan oleh hal lain. Misalnya, karena konflik internal rumah tangga atau hubungan, seperti kasus mutilasi pasangan beberapa waktu lalu. Meski begitu, femisida tetaplah kejahatan yang harus dilawan dengan langkah preventif yang inklusif dan solid.
Diskusi berlangsung selama hampir dua jam. ِِِberbagai argumentasi dan opini dari bermacam sudut pandang yang berdasarkan data dikemukakan oleh speaker. Bahkan banyak listener yang nimbrung ikut memberikan tanggapannya. Ini menunjukan adanya antusiasme yang tinggi dari peserta khususnya warga nahdiyin.

Ikuti kami di platform X @pcinumaroko
Simak berita terbaru kami Dari Rahim Ini Aku Bicara