Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya

One Month One Book Fatayat NU Maroko: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya

“Don’t judge a book by its cover” begitulah kata pepatah yang kurang lebih mengajarkan kita untuk tidak membuat asumsi (kesimpulan) tentang sesuatu atau seseorang hanya berdasarkan penampilan luar atau kesan pertamanya saja.

OMOB kali ini membahas buku “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya” karya Rusdi Mathari, seorang wartawan yang meninggal pada tahun 2018‒menyajikan banyak pesan religi dan kemanusiaan mendalam yang kerap kali kita temukan di kehidupan sehari-hari. Dibawakan oleh sahabat Aghnia Safana Ilmi. Buku ini mengisahkan sang tokoh utama, Cak Dlahom sebagai sufi dari Madura dengan segala kesederhanaan serta sifat nyelenehnya. Namun dibalik itu semua, ternyata ia menyimpan banyak kebijaksanaan yang menyadarkan kita (pembaca) untuk lebih banyak mengintrospeksi diri agar tidak merasa paling benar dan pintar.

Buku ini mulanya dimuat di situs mojok.co selama Ramadan 2015 dan 2016. Diterbitkan pada tahun 2018 oleh Penerbit Buku Mojok dengan ketebalan 226 halaman dan berisi 30 kisah yang menggugah batin.Berikut beberapa pesan moral dari kisah-kisah Cak Dlahom yang dapat kita ambil:

Introspeksi diri sendiri lebih baik daripada menghakimi orang lain

Seringkali kita mencap dan mengkritik keburukan orang lain dibanding fokus pada kekurangan diri sendiri. Hal ini disebabkan oleh keberadaan hati yang enggan merenungi dalam mengoreksi kesalahan sendiri terlebih dahulu sebelum mengoreksi kesalahan orang lain.

Batu pun enggan jadi manusia, batu tak sanggup menjadi manusia karena merasa kalah keras dengan hati manusia”.  Begitu kiranya bunyi salah satu quotes yang tertulis dalam buku. Hati yang keras biasanya ditandai dengan tidak menerima kebenaran, kebal terhadap nasihat, serta hilangnya kepekaan atas dosa yang telah diperbuat. Tentu, hati yang keras bisa dilunakkan dengan cara memperbanyak introspeksi diri‒melipir untuk menyendiri sejenak, menenangkan diri dengan berdoa, kemudian memikirkan solusi dan komitmen pada diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.

Keikhlasan yang sejati

Keikhlasan sejati adalah ketika amal kebaikan dilakukan tanpa diingat-ingat atau dihitung-hitung kuantitasnya. Sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan akan lebih bernilai daripada pengorbanan seseorang dengan harta yang banyak namun selalu diungkit olehnya. Itulah yang membuat kita menjadi pribadi yang pamrih membantu orang lain.

Dalam buku ini, Penulis memberikan petuah tentang keikhlasan melalui sebuah cerita yang berjudul “Zakat dan Sekantong Taek”. Ketika ada seseorang yang mengeluarkan hartanya untuk bersedekah, tidak seharusnya bagi kita memandang dan memujinya secara berlebihan. Begitupun dengan kewajiban mengeluarkan zakat, tanggapilah dengan biasa saja.

Lebih dari itu, Penulis juga membuat analogi tentang beramal ini dengan buang air kecil maupun besar. Artinya beramal itu tidak usah diingat-ingat, memang hal tersebut sudah seharusnya dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyakit bagi tubuh.

Merasa pintar, bodoh saja tak punya

Ungkapan yang sekaligus menjadi judul buku ini. Hadir untuk mengkritik manusia, khususnya para tokoh agama yang selalu merasa dirinya pintar, padahal dalam peribadatan beragamanya saja masih kurang dan tidak seberapa. Naasnya, sebagian dari mereka merasa dirinya lebih tinggi dan suci serta merendahkan orang yang berada dibawahnya.

Secara tidak sadar, mereka terjebak dalam kebodohan yang paling dalam dengan menafikan kebodohan dalam diri mereka, padahal kita tau bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Justru dengan adanya kekurangan pada diri akan mendorong seseorang untuk lebih giat dalam memperbaiki dan menjadi versi terbaik diri sendiri.

Masih banyak pesan moral dari kisah yang dibawakan tokoh dalam buku ini, seperti bagaimana cara memandang dan menghadapi masalah, memaknai kehidupan ini dan lain sebagainya. Kita tidak tahu, dengan amalan atau perbuatan apa yang akan meninggikan derajat kita sebagai hamba di sisi Allah Swt. karena bukan kepintaran yang diiringi dengan rasa sombonglah yang dinilai di sisi-Nya, melainkan seberapa besar ketakwaan dan kebersihan hati yang terbebas dari sifat-sifat tercela.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *