Kiblat Kok Beda-Beda, Sahkah Salatnya?

Telaah Kasus Perbedaan Kiblat yang Sering Terjadi Saat Salat Jama’ah di Masjid Maroko

Sudah umum diketahui, bahwa istiqbalul kiblat termasuk salah satu dari beberapa syarat sah salat. Dan jika satu saja dari syarat-syarat tersebut bermasalah atau tidak sempurna, maka hal tersebut akan memengaruhi keabsahan salat. Seperti jika seseorang salat dengan membawa najis atau tidak menghadap kiblat, maka salat orang tersebut dianggap tidak sah secara syar’i.

Tetapi, ada hal unik yang berhubungan dengan syarat istiqbalul kiblat ini di Maroko yang seringkali terlihat membingungkan. Hal ini bisa kita amati saat mengikuti salat jumat atau salat jama’ah di masjid. Di mana, sering saya lihat istiqbalul kiblat-nya imam dengan condong sedikit ke kiri (tayasur), sedangkan makmum di belakangnya menghadap lurus persis ke mihrab imam, dan para makmum di luar masjid (di jalan atau di serambi) menghadapkan badannya tidak searah dengan arah kiblat imam.

Perbedaan arah kiblat jemaah ini, menimbulkan kebingungan bagi jemaah lain yang berada di belakangnya. Beberapa jemaah tampaknya memiliki dugaan (dzhon), bahwa saf yang ada di depannya tidak searah dengan kiblat imam, sehingga dia menghadap ke arah lain sekiranya searah dengan kiblatnya imam.

Dari kejadian tersebut, tentu akan timbul sebuah pertanyaan, sahkah salatnya jemaah? dengan menimbang:

  1. Terdapat ketidaksinkronan arah kiblat jemaah dengan mihrab imam
  2. Ada jemaah yang berasumsi yang penting menghadap arah kiblat (timur jika di Maroko)
  3. Adanya perbedaan arah kiblat antar jemaah dan perbedaan tersebut berdasarkan pada dugaan (dzhon) masing-masing jemaah.

Perlu diketahui bahwa konsep istiqbalul kiblat dalam literatur Syafi’i terdapat beberapa perbedaan. Menurut qoul mu’tamad (pendapat yang dijadikan rujukan) dalam Mazhab Syafi’i, orang yang salat (musolli) diwajibkan untuk menghadap tepat persis ke “’ainul kiblat” . Sehingga mau bagaimanapun, jika berpegangan dengan pendapat ini salat jemaah tersebut tidak sah karena tidak adanya tanda yang dapat dijadikan pegangan (i’timad) agar diperbolehkan untuk tayamun (serong ke kanan) dan tayasur (serong ke kiri) dari mihrab imam. Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Bajuri:

اي استقبال عينها لا جهتها على المعتمد في مذهبنا ….

“Maksud dari istiqbalul kiblat di sini adalah menghadap tepat ke kabah, bukan hanya sebatas arah. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang mu’tamad di mazhab kami (Mazhab Syafi’i).”¹

Tapi hal ini berbeda dengan pendapat beberapa Ulama Syafi’iyah yang mencukupkan untuk menghadap ke “jihatul kiblat” saja (timur jika di Maroko). Beberapa Ulama Mazhab Syafi’i yang berpendapat demikian seperti: Imam Ghozali, Imam Mahali, Imam Ibn Kaj, Imam Ibn Abi Asrun dan Imam Jurjani. Dan ditambah lagi pendapat ini sejalan dengan pendapat yang diusung oleh Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.

Maka, hukum keabsahan salat jama’ah seperti yang disebutkan, dikatakan sah secara mutlak jika berpegangan dengan pendapat ini. Sebagaimana yang dipaparkan di kitab Bugyatul Mustarsyidin.

و القول الثاني يكفي استقبال الجهة، اي إحدى الجهات الأربع التي فيها الكعبة لمن بعد عنها وهو قوي….

“Sedangkan pendapat kedua, mencukupkan hanya menghadap ke jihhah (arah ka’bah). Maksudnya cukup untuk menghadap ke salah satu dari 4 jihhah, dimana ka’bah itu terletak, bagi seorang yang jauh dari ka’bah. Dan ini adalah pendapat yang kuat.”²

Lalu terkait tentang tayamun dan tayasur yang dilakukan oleh musholli, hal ini diperbolehkan dengan catatan tidak keluar dari jihatul ka’bah. Kitab Tashilul Amsilah dalam konsep tayamun dan tayasur ini bahkan berbicara lebih spesifik tentang konsep jihhah ini, yaitu selagi tidak melebihi 45° (serong ke kanan maupun kiri).³

Sedangkan hukum musholli yang menghadap ke arah kiblat berdasarkan dengan dugaan, maka hal demikian tetap dikatakan sah, selagi dugaan tersebut tidak terbukti salah. Kebolehan tersebut diungkapkan oleh Imam An-Nawawi dalam Kitab Majmu’ Syarah Muhadzab.

وَإِذَا اجْتَهَدَ وَظَنَّ الْقِبْلَةَ فِي جِهَةٍ بِعَلَامَةٍ صَلَّى  إلَيْهَا وَلَا يَكْفِي الظَّنُّ بِلَا عَلَامَةٍ بِلَا خِلَافٍ

“Dan ketika seseorang berijtihad lalu memiliki dzon ke mana arah kiblat, dan ijtihad-nya ini menggunakan alamah (petunjuk), dia diperbolehkan salat mengikuti dzon-nya itu. Tetapi jika dia berijtihad tanpa menggunakan alamah, maka ijtihadnya itu tidak cukup, dan tidak ada perbedaan (ulama dalam hal ini).”⁴

Kesimpulan:

  1. Konsep istiqbalul kiblat dalam literatur syafi’iyah ada perbedaan pendapat, Mayoritas Ulama Syafi’iyah menganggapnya tidak sah, karena wajib menghadap ain kiblat (dan pendapat ini merupakan pendapat mu’tamad).
  2. Menurut pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan beberapa Ulama Syafi’iyah dikatakan sah, karena hanya dicukupkan dengan jihatul ka’bah. Dan boleh untuk tayamun dan tayasur selagi tidak keluar dari jihatul ka’bah yaitu 45°
  3. Jemaah yang menghadap kiblat sesuai dengan dugaannya tetap dikatakan sah, hal ini bersumber dari kitab Majmu’ Syarah Muhadzab.

Wallahu A’lam

Refrensi:

  1. Hasyiah Al-Bajuri, halaman 142, Jilid 1
  2. Bughyatul Mustarsyidin, halaman 78
  3. Tashihul Amstilah, halaman 91
  4. Majmu’ Syarah al-Muhazzab, halaman 206 jilid 2

Oleh: Mohammad Averoes Yusrol Arif

Ikuti kegiatan kami di instagram @pcinumaroko

Baca artikel terbaru kami Di mana Kedudukan Perempuan Dalam Islam?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *