Di mana Kedudukan Perempuan Dalam Islam?

Membedah Buku Nalar Kritis Muslimah; Notula Bedah Buku Fatayat NU Maroko

Serial One Month One Book (OMOB) Fatayat kali ini, kita ditemani Sahabat Qoriatus Shufiyah dengan buku pilihannya “Nalar Kritis Muslimah: Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan, dan Keislaman”.

Buku ini ditulis oleh Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. Seorang alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Khairiyah Hasyim Jombang, Jawa Timur dan Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta. Beliau juga sempat mengenyam pendidikan S-1 di UIN Sunan Kalijaga jurusan Tafsir Hadis, lalu melanjutkan S-2 dan S-3 Prodi Tafsir Hadis Jurusan Ilahiyat di Ankara University, Turki.

Dengan ketebalan yang kurang dari 300 halaman, buku ini berhasil mengemas isu-isu krusial keperempuanan, kemanusiaan, dan keislaman dengan kaca mata gender. Perempuan kelahiran Pemalang ini membagi bukunya menjadi 4 bagian utama: agama untuk perempuan, memahami yang transenden (kondisi yang berada di luar dimensi manusia), kemanusiaan sebelum keberagaman, dan serpihan-serpihan renungan.

Lalu bagaimana sebenarnya agama memandang perempuan?

Jika dilihat dari pengalaman khas perempuan, secara biologis perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Ditambah pengalaman sosialnya yang berbasis ketidakadilan gender, seperti stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Maka, Islam dengan 23 tahun misi kerasulan Nabi Muhammad saw. berhasil membebaskan perempuan dari aneka bentuk ketidakadilan tersebut. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, pengalaman perempuan ini kerap dibahas sebagai topik, bukan perspektif. Sehingga semangat pemanusiaan perempuan menjadi tereduksi.

Selain itu, setiap manusia memiliki status yang sama sebagai hamba Allah Swt. Karenanya, kualitas seseorang tidak bisa diukur dari gender atau jenis kelamin. Memandang perempuan sebagai subjek kehidupan yang tidak utuh–hanya karena menjadi perempuan–merupakan hal yang amat tidak dibenarkan. Bahkan dalam buku ini dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra/partner/sekutu dalam mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi.

Bukan hanya Agama Islam, bahkan agama besar lain seperti Yahudi dan Nasrani harusnya hadir untuk kesejahteraan manusia. Setiap agama mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mengatasi problem kemanusiaan. Mestinya, problem kemanusiaan menjadi titik temu umat beragama. Manusia tidak bisa disatukan dalam agama yang sama, tapi umat beragama dapat bersatu untuk mengatasi problem kemanusiaan yang sama.

Level tertinggi kesadaran kemanusiaan adalah menyadari bahwa perempuan adalah manusia utuh seperti laki-laki. Sebagian orang barangkali sudah menganggap bahwa perempuan juga manusia, tapi mereka masih menjadikan laki-laki sebagai standar kemanusiaan mereka. Dan kesadaran paling rendah adalah ketika mereka menganggap bahwa manusia hanya laki-laki.

Menjadi subjek utuh kehidupan adalah keniscayaan setiap insan agar mampu melaksanakan titah di bumi sebagai hamba Tuhan. Mari bersama menjadi manusia seutuhnya dengan versi terbaik kita.

Ikuti kegiatan kami di instagram @fatayatnumaroko

Baca artikel terbaru kami Muqaddimah Al-Qaanunil Asaasy: Garis Perjuangan dan Jati Diri NU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *