Perayaan Maulid Nabi, adalah perayaan yang diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad Saw. baik dalam bentuk pembacaan selawat dan ceramah, atau bahkan peringatan yang lebih artistik seperti tabuh rebana, drama, dan perayaan seni lainnya. Perayaan ini bisa disebut sebagai salah satu tradisi “baru” yang paling kuat penyebarannya di Dunia Islam. Kebaruan Maulid Nabi ini pada perjalanannya akan menjadi pembahasan tanpa ujung berbagai ulama di belahan dunia timur dan barat. Selain poin ini, ada lagi satu poin yang tidak lepas dari penyebaran tradisi Maulid Nabi, yak, kepentingan. Kepentingan seperti apa? Dan apakah kepentingan ini buruk? Artikel singkat ini akan membahas perihal sejarah kemunculan Maulid, kepentingannya, dan hubungan Maulid dengan Dunia Barat Islam, Maghribul Aqsha.
Maulid Nabi pada awalnya…
Maulid Nabi, diketahui secara luas pertama kali diadakan pada masa Dinasti Fathimiyah (297-567 H) ketika kekhalifahan berhasil mencaplok Mesir dari Kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 358 H di bawah kepemimpinan Al-Muizz li Dinillah, Abu Tamim, Mu’add bin Isma’il Al-Manshur bi Nashrillah, khalifah keempat Fathimiyah Tunisia, dan khalifah pertama Fathimiyah Mesir—ah, ya, dan Imam keempat belas dalam tradisi Syiah Ismailiyah.
Ia masuk ke Mesir, setelah menggeser pemerintahan Abbasiyah yang—diceritakan—gagal. Kerajaan tua itu digambarkan sebagai: kekhalifahan yang khalifahnya hanya terdengar pada doa khutbah, tanpa kemapanan, dan tanpa kemakmuran. Maka momentum masuknya Fathimiyah ke Mesir menjadi angin segar. Namun, Al-Muizz tidak serta merta berpuas diri dengan menguasai pemerintahan, ia ingin Fathimiyah masuk di kehidupan tiap masyarakat Mesir. Maka “kepentingan” inilah yang mencetuskan ide, bagaimana jika kita membuat sebuah perayaan hari raya!
Al-Muizz lantas memerintahkan inisiasi sebuah “Hari ‘Id” dengan judul yang begitu dekat pada hati setiap muslim, Maulid Nabi. Maka perayaan baik bernama Maulid Nabi ini lekas menjadi hari raya betulan bagi masyarakat Mesir yang sebelumnya dilanda kelaparan akibat pekerjaan tidak becus Abbasiyah. Maulid mengalirkan bahan pokok sampai pintu-pintu rumah, memenuhi gang-gang dengan manisan dan kue, dan merayakan masjid dengan selawat. Al-Muizz literally menjamu Mesir. Fathimiyah 1-0 Abbasiyah!
Kesenangan ini bukan hanya satu kali setahun, sebagaimana tradisi Syiah, maka Al-Muizz mengadakan peringatan kelahiran Sidna Ali bin Abi Thalib, lalu Sayyidah Fathimah, lalu Sidna Hasan dan Sidna Husein, dan perayaan hari ulang tahunnya sendiri. Informasi barusan tidak penting, karena yang terpenting adalah, bahwa Maulid Nabi, sejak awal memang memiliki kepentingan.
Lalu Maulid Nabi punya kepentingan lain…
Pada perjalanannya, sebagaimana umumnya pemerintahan, pasti bakal runtuh juga. Sesuai kabar yang sampai pada kita, akhirnya dinasti ini digusur oleh (King) Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi (532-589 H). Satu-satunya kabar yang cukup masyhur di sumber berbahasa Arab mengenai Maulid Ayyubiyah adalah, Maulid Nabi digelar oleh gubernur Arbil Muzaffaruddin Kukburi (549-630). Tetapi ini tidak menarik, karena yang menarik adalah kabar Maulid Ayyubiyah dari sumber berbahasa Indonesia.
Diriwayatkan (di kisah-kisah kita) bahwa Shalahuddin lah yang mengadakan Maulid Nabi. Begini kisahnya, bahwa pada masa Shalahuddin, umat Islam sedang berperang melawan Kerajaan Pasukan Salib. Sayangnya, Shalahuddin menemukan bahwa pasukannya telah lelah dan hilang semangat. Maka, digelarlah perayaan Maulid Nabi sebagai sarana penyatuan pasukan.
Visi Maulid Nabi sebagai sarana yang berperan dalam Perang Salib inilah yang masyhur di kabar-kabar kita. Berbeda dengan perayaan Muzaffar yang, sependek pencarian penulis, digelar secara murni sebagai perayaan besar yang penuh dengan nampan-nampan berisi kepala kambing bakar, ayam panggang, dan manisan-manisan. Kepentingan “perang” dalam kabar kita ini, yang nantinya selaras dengan kabar Maulid Nabi selanjutnya. Sayangnya, Maulid Nabi tidak lagi diselenggarakan sebagai perayaan tahunan setelah era Ayyubiyah.
Sementara itu di Maghribul Aqsha…
Maulid Nabi mulai digelar lebih lambat daripada di Masyriq. Jikalau Maulid Fathimiyah dan Ayyubiyah digelar pada rentang tahun 350-600 Hijriyah, maka Maulid Magharibah baru digelar pada masa Dinasti Muwahhidun, oleh Al-Murtadha Umar bin Ishaq (646-665 H). Meskipun judulnya sama-sama Maulid Nabi, tetapi pada kenyataannya perayaan ini berangkat dari keresahan yang berbeda.
Ulama yang menjadi inisiator Maulid Nabi di kalangan Magharibah adalah Abu Abbas Ahmad bin Qadli Muhammad Al-Lakhmi Al-Azafi As-Sibti (557-663 H), Ceuta, Spanyol. Dalam kitabnya, “Ad-Durr Munazzhom fi Maulidin Nabi al-Mu’azzhom” beliau meresahkan kebiasaan bocah-bocah muslim yang diajak ke gereja untuk merayakan hari natal oleh tetangga-tetangga mereka yang kristen. Maka diputuskanlah perayaan Maulid Nabi sebagai “Bid’ah Hasanah” dan “Tasybih yang diperbolehkan” sebagai tandingan perayaan Natal, mengajak anak-anak mengenal Nabi Muhammad, dan menghidupkan nilai teladan pada kisah kenabian. Risalah kecil itu lantas dikirimkan kepada Al-Murtadha, dan Maulud Nabi mulai dirayakan di Ibu kota Marakesh.
Dr. Abdul Hadi At-Tazi (w. 1436 H/2015 M) dalam edaran bulanan “Da’watul Haqqi” milik Wizarotul Awqaf Maroko menambahkan satu “kepentingan” lagi selain bersaing dengan perayaan Kristen, yaitu Maulid Nabi sebagai “ta’qib” atau kritikan terhadap tradisi Maulid Sidna Husein oleh kaum Syi’ah. Visi-visi ini, menurut beliau, relevan baik di masa Al-Azafi sendiri maupun masa kini. Mengingat “persaingan” antara keyakinan dan mazhab memang betul terjadi di setiap zaman.
Yang menarik dari komentar Maulid Magharibah juga, adalah yang diungkapkan oleh Dr. Khalid Zahri dalam bukunya “Al-Fiqh Maliki, wal Kalam Asy’ari”. Beliau mengaitkan tradisi Maulid Nabi yang dilakukan oleh ‘Azafiyyun ini sebagai salah satu bentuk jihad kaum sufi yang dalam tradisi magharibah, terinspirasi dari jihad Imam Abu Hasan As-Syadzili pada Perang Salib ketujuh: Pertempuran Manshurah (648 H). Beliau menyebut perayaan ini sebagai “Muwajahah Jalaliyah” atau persaingan keagungan tradisi Islam melawan tradisi kaum kristen sebagai bentuk simpati pada perjuangan muslim pada Perang Salib di Masyriq.
Maka, Maulid Nabi tidak hanya berarti makan-makan…
Kini kita memahami, bahwa Maulid Nabi tidak hanya menjadi perayaan selawat, maulid, dan sedekah sebagaimana terlihat. Melainkan membawa pesan yang jauh lebih kuat dan besar. Dampak Maulid Nabi sebagai pemersatu umat, syiar Islam, dan kekuatan melawan kaum kafir kerap kali tidak kita sadari. Maka tidak salah jikalau Al-Azafi dengan terang menyatakan, bahwa mengadakan Maulid Nabi adalah perkara yang niscaya dalam mempertahankan agama Islam.
Penulis: Muhammad Rashief Fawaz
Daftar Bacaan:
Tarikh Ihtifal bil Maulidin Nabawi: Hasan Sundubi, 1948, Maktabah Istiqamah, Kairo
Ad-Durr Munazzhom fi Maulidin Nabi al-Mu’azzhom: Abul Abbas Ahmad bin Qadli Muhammad Al-Lakhmi Al-Azafi As-Sibti, koleksi Suleimaniye G. Kutupmanesi. (Manuskrip PDF tanpa tahun)
Da’watul Haqq: Dr. Abdul Hadi At-Tazi, majalah bulanan Wizarotul Awqaf edisi Desember 1989
Al-Fiqh Maliki wal Kalam Asy’ari: Dr. Khalid Zahri, 2011, Dar Rasyad Haditsiyah Casablanca
Atas Inisiatif Shalahuddin Al-Ayyubi Maulid Nabi Dirayakan: artikel daring Sanad Media
Ikuti kegiatan lewat instagram @pcinumaroko