Rabat—25 Oktober 2025, Lembaga Da’wah Nahdlatul Ulama (LDNU) PCINU Maroko mengadakan webinar dalam rangka memperingati Hari Santri 2025 dengan tema “Pendidikan Pesantren: Antara Tuntutan Reformasi dan Tantangan Relevansi di Era Kontemporer”. Webinar ini menghadirkan dua pembicara kompeten yang memiliki pemahaman mendalam di bidangnya. Pembicara pertama adalah Mas Tharekh Era Elraisy, Lc., M.A., dan pembicara kedua Mbak Avika Afdiana Khumaedi, Lc.
Diskusi dibuka oleh Saudara Muhammad Nabil, sebagai moderator, dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Saudara Zidan Alfa Alfadlil. Selanjutnya, masing-masing ketua, yaitu Ketua Tanfidziyah PCINU Maroko, Moch. Cholilur rahman, Lc., yang diwakili oleh Saudara Muhammad Fajrul Hikam, Lc., serta Ketua Fatayat PCINU Maroko, Wafal Hana, Lc. memberikan sambutan pembuka acara.
“Diskusi kita kali ini sebagai tanda bahwa hari santri ini bukan hanya sebagai sebuah peringatan simbolik yang bersifat seremonial, melainkan sebuah momentum untuk memperkuat semangat perjuangan, pengabdian, dan kontribusi nyata para santri untuk agama, bangsa, dan peradaban,” ucap Saudara Fajrul Hikam menyampaikan pesan Ketua Tanfidziyah, Moh. Cholil, yang berhalangan hadir.
“Webinar ini bertujuan untuk membuka ruang diskusi kita semua, sekaligus untuk mencari jawaban ats pertanyaan: bagaimana pesantren bisa tetap reformis tanpa kehilangan tradisi,” ucap Saudari Wafal Hana dalam sambutannya.

Selanjutnya, memasuki segmen inti dalam webinar kali ini, pembicara pertama, Mas Tharekh Era Elraisy, Lc., M.A., mengkhususkan pembahasannya pada tiga hal: pertama, mengenal apa itu pesantren? Kedua, mengidentifikiasi apa itu modernitas? Ketiga, bagaimana dinamika perubahan tradisi yang ada di pesantren?
Mas Tharekh menyampaikan bahwa pesantren adalah bentuk Pendidikan yang sudah membaur dengan budaya Indonesia. Di pesantren ada Kyai sebagai patron, ada ajaran yang diajarkan, fasilitas seperti masjid, serta santri sebagai yang dididik. Pada awalnya, pola pembelajaran di pesantren khas dengan metode sorogan dan bandongan. Namun, pasca kemerdekaan, pesantren mulai mengenal sistem pembelajaran di kelas.
Menanggapi tudingan atau isu feodalisme yang kerap dilekatkan pada relasi santri dan kyai, beliau menegaskan bahwa banyak pihak sesungguhnya terjebak dalam penyakit yang disebut bias modernitas, yakni kecenderungan menghukumi suatu budaya dengan standar budaya lain. Beliau menjelaskan bahwa budaya penghormatan kepada guru berbeda di setiap daerah; masing-masing memiliki ekspresi penghormatannya sendiri.
Beliau juga menyampaikan perlunya sikap kritis, sebab di beberapa daerah yang masih kental dengan budaya tersebut, masih terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
“Di beberapa daerah, yang terjadi adalah relasi kuasa, bukan relasi pembentukan jati diri ataupun pengembangan diri. Yang menyalahgunakan hierarki itulah yang harus dikritik,” tegasnya.
Segmen dilanjutkan dengan pembicara kedua, Mbak Avika Afdiana Khumaedi, Lc., M.A., yang membahas reformasi kurikulum pesantren agar tetap berakar pada nilai-nilai turats serta semangat tafaqquh fiddin, namun tetap berjalan seimbang dengan mengintegrasikan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dengan demikian, kurikulum pesantren diharapkan tetap relevan terhadap kebutuhan dan tantangan masyarakat masa kini.
Beliau menyebutkan bahwa pesantren telah berabad-abad menjadi pusat pembentukan karakter dan peradaban Islam. Di era modernisasi, pesantren menghadapi tantangan besar, yakni mempertahankan tradisi keilmuan Islam yang mendalam sambil membuka diri terhadap perkembangan sains dan teknologi. Pesantren harus bisa beradaptasi di masa sekarang tanpa kehilangan jati dirinya.
“Untuk menjawab tantangan zaman, banyak pesantren saat ini telah menjalin MoU atau kerja sama dengan perguruan tinggi, lembaga pemerintahan, dan sektor swasta. Kolaborasi ini diwujudkan dalam bentuk pelatihan teknologi, kewirausahaan, dan riset keislaman, yang semuanya bertujuan untuk membentuk santri yang memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Di sisi lain, nilai tafaqquh fiddin tetap menjadi inti dari kurikulum pesantren itu sendiri,” ucap Mbak Avika.
Setelah mendengarkan paparan dari kedua narasumber yang menyampaikan pandangan dan pendapat mereka terkait topik bahasan, webinar siang itu berlanjut ke sesi diskusi dan tanya jawab bersama para peserta. Sesi ini berlangsung secara interaktif dan berhasil membuka wawasan serta memperkaya pemahaman peserta terhadap isu yang dibahas.
Acara ditutup dengan doa yang dibacakan dari perwakilan syuriah PCINU Maroko, Saudara Ahmad Ihabul Fathi, Lc., M.A, kemudian dilanjutkan dengan sesi dokumentasi bersama para narasumber dan peserta webinar.

