Cordoba: Kebangkitan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam
Dalam perjalanannya, Islam berhasil menguasai Andalusia pada tahun 91 H pada masa kekhalifahan al-Walid bin Abdulmalik dari Dinasti Umayyah. Di bawah pemerintahan penakluk sekaligus gubernur Andalusia Musa bin Nushair dan penerusnya Andalusia tidak menunjukkan kemajuan berarti. Mengingat pula pada masa-masa itu merupakan pembangunan pemerintahan Andalusia secara umum.
Hingga keruntuhan Dinasti Umayyah, datanglah sisa-sisa Bani Marwan yaitu Abdurrahman bin Hisyam. Pelarian pemuda Abdurrahman inilah yang selanjutnya membawa fajar ke Andalusia. Bibit Dinasti Umayyah jilid 2 menjadikan Cordoba sebagai pusat pemerintahannya. Sebagaimana yang diletakkan oleh Abdurrahman bin Hisyam Cordoba tumbuh menjadi kota yang setara dengan Qairawan (pusat Afrika Utara), Baghdad (sebagai ibukota kekhalifahan Dinasti Abbasiyah), Kairo, Bukhara, bahkan Damaskus bekas ibukota Dinasti Umayyah itu sendiri.
Bunga ini mekar dengan gairah keilmuan yang mengundang ulama, penyair, dan seniman. Demikianlah Abdurrahman membangun Andalusia menjadi negara yang kuat dan disegani. Bersamaan dengan naik-turunnya kekhalifahan Dinasti Abbasiyah, juga kekacauan Dinasti Fathimiyyah di Kairo dan Afrika Utara Abdurrahman bin Hisyam memproklamirkan dirinya sebagai khalifah baru, Amirul Mukminin an-Nashir Li Dinillah dan mengawali kejayaan Dinasti Umayyah di Bumi Andalusia.
Cordoba: pertemuan budaya segala bangsa
Letak Cordoba dan Andalusia secara geografis berada di Benua Eropa. Sekaligus bertatapan dengan Dunia Islam di tepian Afrika Utara (Maroko modern). Hal ini menjadikan Cordoba sebagai penghubung bangsa-bangsa Eropa ke Dunia Islam. Lalu lintas informasi, kebudayaan dan politik dengan padat segera memenuhi Cordoba. Didukung dengan pluralitas penduduk Andalusia: Islam, Kristen, dan Yahudi. Masuknya filsafat Yunani ke ruang diskusi cendekiawan Andalusia turut memberi angin segar dalam perkembangan khazanah Islam.
Pada masa kepemimpinan Amir al-Hakam II didirikan perpustakaan-perpustakaan besar. Terutama di kawasan universitas-universitas seperti yang berada di Sevilla, Malaga, dan Granada. Perpustakaan Cordoba sendiri diketahui memiliki koleksi buku mencapai 400.000 buku. Bahkan memiliki koleksi buku-buku langka yang tidak terdapat di mayoritas perpustakaan Barat maupun Dunia Islam saat itu.
Hal ini merupakan bentuk kecintaan al-Hakam II pada ilmu pengetahuan. Ia mendirikan sebuah perpustakaan besar di Cordoba yang sanggup menyamai perpustakaan-perpustakaan di Kairo. Mengenai kecintaan al-Hakam terhadap ilmu Imam Ibn Hazm menggambarkan: “Pada saat itu Istana Bani Marwan adalah gudang ilmu dan buku-buku. Sungguh (saking banyaknya) disana terdapat 44 katalog tebal, dimana terdiri dari 20 halaman yang berisi nama-nama pengarang bukunya saja.” Dengan katalog yang sedemikian tebal, tentu koleksi perpustakaan Istana Bani Marwan amat banyak dan lengkap.
Al-hakam II juga dikenal sebagai kutu buku. Disebutkan bahwa ia kerap memberi keterangan-keterangan tambahan dan catatan-catatan kecil pada setiap buku yang dia baca.
Kekayaan khazanah inilah yang lantas mendukung munculnya geliat kebudayaan yang kuat bahkan di kalangan pejabat istana. Tercatat beberapa perdana menteri kerap menulis syair dengan tata bahasa yang indah diantaranya, Wazir Abdulmalik bin Juhur (pada masa khalifah Abdurrahman III), dan Wazir al-Mashhafi (pada masa al-Hakam II dan Hisyam II).
Sedang dari kalangan perempuan kita akan menemukan beberapa nama diantaranya, Aisyah al-Qurthubiyah yang dikagumi bahkan oleh Abdurrahman III dikarenakan kapasitas keilmuannya yang melebihi cendekiawan laki-laki; selain itu ada juga Walladah binti al-Mustakfi, putri dari al-Mustakfi Muhammad III, yang syair-syairnya merupakan hasil surat-menyurat dengan kekasihnya Ibn Zaidun (kisah cinta yang fenomenal, mungkin kita bisa menyebutnya “Layla Majnun” dari Andalusia)
Cordoba: pusat keilmuan Dunia Islam dan Barat.
Kekayaan budaya dan seni Cordoba ternyata tidak lantas mematikan ekosistem keilmuan disana. Masjid Cordoba, selain sebagai tempat beribadah juga menjadi pusat ngaji bandongan yang selalu penuh dan padat. Sistem muhadloroh yang berlangsung pada pembelajaran di Masjid Cordoba memberi kesempatan pada siapapun untuk menimba ilmu pada pengajar-pengajar terpilih dan syekh-syekh yang tidak perlu diragukan kealimannya.
Masyarakat berbondong-bondong mengunjungi Masjid Cordoba untuk ber-talaqqi dan mendengarkan penjelasan syaikh. Bahkan dikisahkan Paus Sylvester II dari Vatikan juga pernah “berhaji” ke Cordoba demi menghadiri muhadloroh dan menimba ilmu. Pengajaran di Masjid Cordoba meliputi: pengajaran baca-tulis-hapal Alquran, syarh hadis-hadis Nabawi, ilmu waris, fiqh dan ushul fiqh, ilmu tauhid, tata Bahasa Arab, bahkan hingga ilmu-ilmu sains dan filsafat.
Madzhab dan budaya diskusi Andalusia
Ruang diskusi ulama Cordoba juga hidup dengan berbagai bahtsul masail dan musyawarah. Hal ini merupakan bentuk tradisi yang tumbuh dalam sistem mazhab fikih pada masa itu. Andalusia pada awalnya menganut Mazhab Auza’i sebelum masuknya Mazhab Maliki.
Madzhab Maliki memasuki Andalusia pada masa Hisyam bin Abdurrahman an-Nashir (khalifah kedua) oleh Ziyad bin Abdurrahman al-Lakhmi dan sebagian syekh sepulang dari haji di Baitullah. Di antara mereka juga Yahya bin Yahya al-Laitsi yang turut meriwayatkan kitab al-Muwatha dari Imam Malik bin Anas.
Pada selanjutnya khalifah-khalifah Bani Marwan memiliki andil besar dalam menyebarkan Mazhab Maliki pada abad kedua hijri sebagai pengimbang terhadap Mazhab Hanafi yang berkembang di Iraq (pusat peradaban Dinasti Abbasiyah). Ini juga merupakan pernyataan kemerdekaan Andalusia dari Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah di timur, merdeka secara politik maupun mazhab.
Namun dengan ditetapkannya Mazhab Maliki tidak lantas mematikan ruang diskusi pemikiran Cordoba. Imam Ibn Hazm pada perkembangannya sempat mengikuti Mazhab Syafi’i lalu Mazhab Dzohiri. Pluralitas pandangan yang dibawa Imam Ibn Hazm ke dalam ekosistem keilmuan Cordoba menciptakan ruang perdebatan yang hidup. Ditambah dengan hadirnya rival Imam Ibn Hazm dari Mazhab Maliki sendiri yaitu Imam Abul Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji.
Imam al-Baji dikenal sebagai ulama yang mampu mengimbangi dominasi Imam Ibn Hazm dalam ruang perdebatan. Kealimannya merupakan hasil rihlah-ilmiahnya ke Baghdad, disana beliau mengambil ilmu generasi Mazhab Maliki terakhir di Iraq dan membawanya ke Andalusia; lalu ke Hijaz menekuni usul fikih. Pergaulannya dengan ulama-ulama tiga mazhab besar (Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) juga turut memberi pengaruh dalam perkembangan pemikiran dan keilmuannya. Selepas kepulangannya Imam al-Baji lantas menyusun kaidah-kaidah ilmu jadl (ilmu perdebatan) dalam Mazhab Maliki.
Penutup
Demikianlah sejenak perbincangan mengenai salah satu pusat keilmuan Dunia Islam, Cordoba. Cordoba merupakan salah satu contoh mengagumkan peradabaan yang dibangun di atas kebudayaan dan keilmuan yang majemuk, didukung oleh mimpi-mimpi khalifah yang mendambakan suatu bangsa yang senantiasa progresif dan tumbuh. Bentuk dari kemajuan seni yang dibarengi dengan hidupnya ruang diskusi ulama. Maka menjadi suatu kewajiban bagi Umat Islam, terutama warga Nahdliyin, untuk mewujudkan ekosistem kolaborasi antara tradisi, seni, dan berjalannya Syariat Islam pada realitas kekinian.
oleh: Lembaga Ta’lif wan Nasyr NU Maroko 2024/2026
Simak kabar terbaru kami di situs web numaroko.or.id
ikuti kegiatan kami di instagram @pcinumaroko
2 thoughts on “Cordoba: Kebangkitan Peradaban Islam”