Kesalahpahaman terhadap pengertian dan konsep fikih sering kali membuat sebagian orang kaku bahkan radikal dalam beragama. Tak jarang, masih ditemukan kelompok yang sulit membedakan antara syariat dan fikih. Meski sekilas tampak serupa, keduanya memiliki perbedaan mendasar yang penting untuk dipahami agar tidak terjadi kekeliruan dalam beragama.
Syekh Dr. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam kitabnya Tajdidul Fiqhil Islami bahwa syariat adalah kumpulan dalil yang didapat dari al-Qur’an dan Hadis. Kedua hal ini merupakan wahyu ilahi yang bersifat tetap (tsābit) dan tidak menerima perubahan. Sementara itu, fikih adalah hasil olahan mujtahid terkait hukum syar’i amali (praktis) dari dalil tafṣili yang sumbernya adalah al-maṣdarāni al-aṣliyāni (2 sumber utama, yaitu al-Qur’an dan hadis). Karena ia hasil olahan manusia (ulama), fikih sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kondisi dan realitas yang terjadi di masyarakat.
Fikih harus dipahami sebagai sesuatu yang dinamis, bukan statis. Ia mampu menerima pembaruan (tajdid) dan penyesuaian terhadap realitas yang ada. Namun pembaruan fikih hanya terbatas pada masāil ijtihadiyyah yang dibangun atas dalil ẓanni (perkiraan). Dengan kata lain, hukum-hukum yang sudah jelas dan pasti berdasarkan dalil qath’i as-tsubūt wa ad-dilālah seperti keharaman berzina, kewajiban salat, atau wajibnya puasa ramadan bagi mukallaf tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang ada.
Perkembangan peradaban berimbas pada kompleksitas problematika umat. Tak jarang pula muncul masalah baru yang belum pernah ada dan dibahas oleh ulama salaf. Hal ini menjadi tantangan bagi ulama kontemporer untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Dalam proses ini pemberi fatwa (mufti) tidak bisa hanya mengandalkan teks klasik (kitab turats) tanpa mempertimbangkan sosio-kultur setempat. Hukum yang hanya dirumuskan menggunakan metode tekstualistik akan menjadikan fikih terkesan statis dan tidak mampu merespons kebutuhan manusia yang terus berkembang secara dinamis.
Oleh karena itu, salah satu konsep yang diusung dalam upaya formulasi fatwa masa kini adalah Fiqh al-Wāqi’. Fiqh al-Wāqi’ atau Fikih Realitas adalah pengkajian hukum dengan pendekatan kondisi sosial. Fikih Realitas menempatkan fenomena sosial sebagai salah satu elemen pertimbangan penetapan suatu hukum. Metode ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berfikih dengan pendekatan realitas sosial sudah ada sejak zaman sahabat. Sebagai contoh, pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a., beliau tidak memberikan bagian zakat kepada mualaf, meskipun dalam al-Qur’an surat at-Taubah: 60 disebutkan bahwa salah satu golongan penerima zakat adalah al-mu`allafah qulūbuhum (orang yang baru masuk islam). Khalifah Umar r.a. memutuskan demikian dengan pertimbangan bahwa Islam sudah kuat, sehingga orang-orang yang baru masuk Islam (mualaf) tidak perlu diperlakukan secara istimewa, mengingat kondisi sosial saat itu.
Pendapat ini masyhur dalam mazhab Maliki,
وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ هَلْ سَهْمُ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ بَاقٍ بَعْدِ ظُهُورِ الْإِسْلَامِ أَمْ لَا؟ فَقَالَ عُمَرُ وَالْحَسَنُ وَالشَّعْبِيُّ:قَدِ انْقَطَعَ هَذَا الصِّنْفُ بِعِزَّةِ الْإِسْلَامِ وَظُهُورِهِ، وَهَذَا مَشْهُورٌ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ
“Para ulama berbeda pendapat apakah bagian untuk orang yang baru masuk Islam (mualaf) masih diberikan setelah Islam menjadi kuat atau tidak? Umar, Hasan dan asy-Sya’bi berkata: ‘Bagian untuk mereka telah terhenti karena kemuliaan dan kekuatan Islam.’ Ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki dan para pengikut al-Ra’yi.” (al-Syaukani. Fath al-Qadir. Jilid 2, Hal. 425. Daar al-Kalim al-Tayyib)
Fikih Realitas bertujuan untuk mengkontekstualisasikan teks agar dapat merespons tantangan zaman. Tentu ini bukan berarti mengesampingkan fikih klasik atau bahkan meremehkan salaf al-ṣalih. Justru ini adalah upaya menjaga ruh agama agar selalu ṣālihun fi kulli zamān wa makān. Fikih Realitas juga didasarkan pada kaidah “lā yunkaru tagayyuru al-ahkām bi tagayyuri al-azmān” (Ahmad Zarqa, Syarah Qawaid al-Fiqhiyyah). Kaidah ini didukung oleh beberapa ulama seperti Izzuddin bin Abdil al-Salam, al-Qarafi, Ibn al-Abidin dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah.
Seorang cendekiawan Mesir, Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq mengamini konsep fikih realitas. Ia menilai bahwa fatwa yang hanya berbasis pendekatan tekstualistik tanpa membaca realitas sebagai musibah bagi manusia.
ومن الآفات الضارة بمصالح الناس لجوء من يتصدى للفتوى الشرعية إلى البحث في بطون الكتب والنقل منها دون أي مراعاة لظروف الزمان والمكان والأعراف ، الأمر الذي من شأنه أن يشق على الناس
“Di antara bahaya yang merugikan maslahat manusia adalah ketika orang yang memberikan fatwa hanya mengandalkan buku-buku klasik dan mengutipnya tanpa memperhatikan kondisi zaman, tempat, dan adat istiadat. Hal ini dapat menyulitkan masyarakat.” (Mahmud Hamdi Zaqzuq. Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Darurah al-Tajdid. Hal. 7)
Kendati demikian, tidak semua realitas sosial boleh dijadikan pertimbangan hukum. Syekh Yusuf al-Qaradhawi menetapkan limitasi realitas yang bisa dijadikan pertimbangan hanyalah realitas yang positif dan tidak bertentangan dengan uṣul al-syari’ah al-Qur’an dan hadis). Pembatasan ini menjadi krusial agar hukum dapat berfungsi sebagai ‘law as a tool for social engineering’ sebagaimana yang dikemukakan oleh Roscoe Pound. Hukum harus menjadi pendorong perubahan masyarakat menuju kondisi yang lebih baik. Hal ini tercermin pada masa awal perkembangan Islam, di mana hukum dapat beradaptasi dengan konteks sosial dan budaya yang berkembang saat itu. Teks-teks yang diterima pada masa tersebut berperan sebagai dasar hukum untuk menanggapi secara gradual maupun frontal perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Pada akhirnya, fikih realitas menawarkan pendekatan yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman. Dengan tetap menjaga prinsip dasar syariat, fikih dapat berperan aktif dalam menjawab tantangan peradaban. Oleh karena itu, penting bagi para ulama dan pemberi fatwa untuk terus mengkaji dan mengadaptasi hukum Islam tanpa melupakan konteks sosial dan budaya yang berkembang.
Oleh: Muhammad Valentino Saputra (Mahasiswa Qarawiyyin University, School of Islamic Science Casablanca)
Ikuti kegiatan kami lewat Instagram @pcinumaroko
Baca artikel terbaru kami.