Hari Santri Nasional, telah bergulir untuk kesepuluh kalinya semenjak kali pertama ia ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 2015 silam.
Berawal dari wacana untuk menetapkan 1 Muharram atas usulan Pondok Pesantren Babussalam, Malang, lantas PBNU mengajukan hari lain, yaitu 22 Oktober sebagai Hari Santri. Dengan alasan guna memperingati dikeluarkannya Fatwa Resolusi Jihad oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Fatwa itu merupakan seruan supaya seluruh muslimin turut turun ke medan perang di Surabaya 19 hari kemudian, 10 November 1945. Dengan meletusnya perang Sepuluh November itu, RI berhasil meneguhkan niat kuat berdaulat di hadapan Belanda. Pada prakteknya, Hari Santri Nasional akhirnya diperingati untuk mengingat kontribusi santri dalam berdirinya NKRI, baik dalam medan fisik maupun ideologis. (NU Online, 2021)
Mengasuh Asumsi, atau Melupakannya?
Ala kulli hal, peringatan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bukanlah hal yang patut dipermasalahkan.
Semua berawal ketika PKB, partai paling mesra dengan kultur NU, masuk dalam timses Jokowi di Pemilu 2014. Tidak dapat dipungkiri semenjak itu terjadilah proses tawar-menawar intens Jokowi dalam menarik suara kaum santri. Pada 27 Juni 2014, Jokowi menandatangani komitmen untuk menjadikan Hari Santri Nasional di Pondok Pesantren Babussalam, Malang. (Kompas.com, 2014) Satu tahun berikutnya, 2015, dengan duduknya Jokowi di singgasana ia membayar mahar politik itu. Terwujudlah Hari Santri Nasional ditandai dengan penandatanganan Keppres RI No.22 tahun 2015 di Masjid Istiqlal.
Penolakan terjadi menjelang penandatanganan itu. Karena bagaimana juga penetapan hari santri hanya merujuk pada peristiwa historis satu organisasi saja. Keputusan publik ini dianggap tidak mencerminkan representasi yang luas dari masyarakat Indonesia (Nuruly & Muhsin, 2024)
Melampaui Stigma
Kini, setelah berlalu 1 dekade, kita kembali dihadapkan persoalan serupa. Tidak dapat dimungkiri, pergulatan politik dan penolakan memang sempat mengiringi lahirnya Hari Santri Nasional. Namun, kembali pada simbolisasi HSN pada hakikatnya bertujuan untuk menengahkan komunitas santri yang sebelumnya marginal. (Media Indonesia, 2020)
Simbolisasi itu berhasil! Pesantren mulai mendapat tempat. Individu-individu tradisional itu kini bergerak mengisi ruang Senayan. Mengisi posisi-posisi penting dan menggurita menebar nilai-nilai yang mereka bawa. Dengan berkembangnya dunia santri generasi demi generasi, berbagai pesantren mulai “terlihat’ dengan membawa corak masing-masing, dan terjun mewarnai komunitas yang kian heterogen.
Dakwah tentu menjadi tujuan utama. Melalui jalur-jalur tradisi, muamalah, militer, hingga politik praktis. Identitas santri berkembang dan kian membumi. Pemerintah, setidaknya, telah membuktikan bahwa keputusan ini bukan sekadar kado politik; melainkan sebuah jalan yang pelan namun pasti tengah dibangun. Harapan mengenai kiprah santri dalam realitas komunal membumbung tinggi kian dan kian. Maka, setelah 1 dekade ini, akankah kita berdiam dalam kelembaman, atau menggugah diri untuk bergerak kembali?
Ikuti kegiatan kami di Instagram @pcinumaroko
Simak artikel terbaru kami Talkshow HSN 2024: “Bagaimana Jati Diri Santri?”