Manhaj I’tidal Ma’had Imam Nafi Tanger

Rasanya saya benar-benar merasa tidak bisa menganggap remeh ungkapan ‘tak kenal maka tak sayang’ yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ungkapan tersebut sesuai dengan banyak peristiwa yang saya lihat dan alami, bagaimana banyak orang yang mudah menjustifikasi seseorang atau suatu hal hanya berdasarkan stigma dan dugaan yang belum tentu benar adanya.
Ungkapan itu terlintas di pikiran saya, usai pertemuan saya dan beberapa kawan dengan Dr. Muhammad as-Sa’idiy, mudir (rektor) Institut Imam Nafi, Tanger. Pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam di ruangan beliau, mengubah stigma yang selama ini banyak saya dengar dari kolega mahasiswa Indonesia di Maroko.
Stigma negatif yang selama ini tersemat ke dalam tubuh Imam Nafi, mengatakan bahwa Institut ini berkiblat kepada aliran Salafi-Wahabi, atau yang dikenal juga sebagai Neo-Khawarij zaman ini. Hal itu didasarkan oleh beberapa hal di antaranya; Pertama, latar belakang pendidikan Mudīr al-Ma’had Dr. Muhammad as-Sa’idiy yang lama mengenyam pendidikan di Saudi. Kedua, mendiang almarhum kakak mudir, Syekh Muhammad al-Jardiy –rahmatullāh alaih– yang memang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh seperti Albani, Ibnu Taimiyah, Utsaimin, Bin Baz dan lainnya. Ketiga, stigma bahwa Sidi Mudir sependapat dengan Syekh al-Jardiy.
Semua dugaan tersebut, muncul dari ketidaktahuan tentang biografi dan pendapat pribadi Sidi Mudir. Di antara obrolan panjang kami dengan Sidi Mudir, beliau membeberkan banyak fakta yang sebelumnya belum pernah terungkap.
Dimulai dengan latar belakang pendidikan beliau, Syekh as-Sa’idiy memang menghabiskan waktu yang lama di Saudi untuk menimba ilmu, hal ini dapat kita ketahui dengan gelar Magister dan Doktoral yang beliau dapatkan dari salah satu Universitas ternama di Makkah Mukaromah. Namun, Syekh as-Sa’idiy tidak hanya menimba ilmu dari dosen-dosen yang ada di kuliahnya saja, beliau juga menghadiri majelis-majelis ilmiah yang diampu oleh masyāyīkh kenamaan pada zamanya, baik di Masjidilharam maupun di Masjid Nabawi.
Beliau menuturkan, dari majelis-majelis inilah pemikiran beliau terbuka dan mendapatkan banyak informasi dari berbagai golongan, berbeda dengan pengajaran kampus yang sifatnya lebih sempit dan terkesan mendoktrin. Beliau menghadiri banyak majelis dengan tanpa pandang bulu, sehingga beliau mendapat maklumat secara utuh, dari tiap-tiap golongan, baik mereka yang menisbahkan dirinya ke Sufiyyah, Salafiyyah, Asy’ariyyah dan golongan-golongan lainnya.
Sebut saja salah satunya Muhaddits al-Haramain Syekh Muhammad al-Muntashir al-Kattani, yang juga merupakan guru dari Muhaddits al-Hijāz Syekh Muhammad bin Alawi al-Maliki dan Muhaddits al-Maghrib Syekh Abdullah bin Abdul Qadir at-Talidi. Sidi Mudir menghadiri kajian rutin kitab Musnad Imam Ibnu Hambal Syekh al-Muntashir di Masjidilharam, hingga khatam dan mendapatkan ijazah dari sang guru. Beliau mengenang bagaimana Syekh Abu Bakar al-Jazairi–salah seorang ulama salafi–pengampu kajian fikih yang tempatnya bersebelahan dengan majelis Syekh al-Muntashir, sangat takzim dan mengakui keilmuan Syekh al-Muntashir dalam bidang hadis, pujian yang terlontar dari Syekh al-Jazairi ini didengar langsung oleh Sidi Mudir usai beliau menghadiri majelisnya, bahkan ketika majelis Syekh al-Muntashir usai, Syekh al-Jazairi pernah menghampiri untuk sekedar bercakap-cakap dengan Syekh al-Muntashir, walaupun keduanya banyak berselisih paham.
Sidi Mudir juga menceritakan bagaimana gaya mengajar Syekh al-Muntashir yang mendikte hadis demi hadis dengan tanpa memegang kitab, maka tidak heran jika banyak ulama yang menyematkan gelar al-Hāfidz kepada sang Syekh. Dari para gurunya di majelis-majelis inilah, Sidi Mudir mendapatkan pencerahan dan berhasil meruntuhkan sifat jumud dan fanatiknya yang diperoleh pasca kelulusannya dari kampus, beliau menegaskan, “kalau bukan karena wasilah hadir dan talaqqi kepada ulama Haramain, mungkin sampai saat ini aku akan tetap terjebak di dalam kejumudan dan kefanatikan.”
Selain itu, Syekh as-Sa’idiy juga berguru kepada dua ulama dari klan Shidiqiyah, yakni Sidi Syekh Ibrahim bin Shidiq al-Ghumari dan Sidi Syekh Hasan bin Shidiq al-Ghumari. Syekh Ibrahim bin Shidiq juga merupakan dosen pembimbing Sidi Mudir kala beliau menyelesaikan pendidikan sarjana. Sidi Mudir juga menceritakan bagaimana kepiawaian dan kealiman Sādah Shiddīqiyyah, terkhusus kepada Sidi Syekh Ahmad bin Muhammad bin Shidiq al-Ghumari, Sidi Mudir menegaskan bahwa beliau merupakan seorang Khātimah al-Huffādz, bahkan melabelinya sebagai Mujtahid Mutlak, hal ini bukan tanpa dasar, Sidi Mudir mencontohkan bagaimana kepiawaian Sidi Ahmad dalam ilmu hadis, salah satunya dengan mengkodifikasi istilah Istidrāk dalam ilmu Hadis, dan berhasil menyebutkan sejumlah Isridrākāt yang bahkan para huffazh sebelumnya belum pernah mendapatkannya.
Selanjutnya, Sidi Mudir juga menceritakan perihal dialog panas antara beliau dan sang kakak, Syaikhuna Muhammad al-Jardi. Dahulu Syekh al-Jardi muda, merupakan seorang munsyid dan musammi’ tersohor di kota Tanger, namun di tengah rihlah ilmiahnya, Syekh al-Jardi banyak terpengaruh oleh guru-guru yang berkiblat pada sekte Salafi-Wahabi, hingga akhirnya beliau menentang keras Asy’ariyah serta istilah dan ilmu Tasawuf. Pendapatnya yang berseberangan dengan Sidi Mudir ini, menjadi alasan di balik seringnya diskusi dan perdebatan yang terjadi di antara keduanya, bahkan Sidi Mudir menuturkan, kedua orang tuanya sudah sama-sama tahu tentang hal ini, dan sudah menjadi hal yang lumrah jika rumahnya ramai dengan suara perdebatan antara keduanya.
Berbeda dengan Syekh al-Jardi yang menolak mentah-mentah istilah Tasawuf, Sidi Mudir menerima dan menyetujuinya, selama di dalamnya tidak ada perbuatan yang menyimpang dari ketentuan syariat. Hal ini juga yang beliau sayangkan, kabar yang beliau dengar, bahwa Imam Nafi secara institusi dan mudir-nya menolak Tasawuf secara keseluruhan, kabar inilah yang akhirnya membawa obrolan kami kepada cerita tentang perdebatannyadengan sang kakak. Bahkan beliau menegaskan bahwa amaliah-amaliah seperti maulid Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalaam. termasuk perbuatan yang dianjurkan, selama tidak dibalut dengan hal-hal yang dilarang oleh syariat. Sikap inshaf dan i’tidal ini merupakan asas dan prinsip Mudir pribadi dan Institut Imam Nafi secara umum, hal ini tergambar dari komposisi para guru pengampu di Imam Nafi, yang memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda-beda namun tetap bergandengan tangan untuk menuju satu niat mulia, yakni menanamkan nilai-nilai keislaman kepada para pelajar Imam Nafi.
Satu pesan penting dari Sidi Mudir yang harus menjadi pegangan, khususnya bagi para alumni Institut Imam Nafi, beliau dawuh:
نتعاون فيما اتفقنا عليه ونتسامح فيما اختلفنا فيه
“Saling tolong-menolong dalam perkara yang kita sepakati, dan saling bertoleransi atas perkara yang kita selisihkan.”
Inilah manhaj dan mauqif dari Sidi mudir–hafizhahullāh ta’ālā– dan Institut Imam Nafi yang menjadi bekal penting bagi kita semua, khususnya bagi Khirrījiy Ma’had al-Imām Nāfi’.
Nafa’anallāhu bi ‘ulūmihim wa bi akhlāqihim, amin.
Rabat, 27 Oktober 2022 M/1 Rabi’ ats-Tsaniy 1444 H
* Ket: Sowan berlangsung tanggal 22 Oktober 2022 dan dihadiri oleh penulis, Sidi Shufi Amri at-Tambusi dan Sidi Yusuf Muhtadi Ali Asy-Syirubani.
Kontributor: Muhammad Hikam Ali
Editor: Wafal Hana