Berpikir kritis tentang Iqra’ dan Tadarus: Dua Hal yang Disalahartikan

Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran. Peristiwa ini menjadi momen penting awal mula berkembangnya pengetahuan dan peradaban. Ketika kita memperingatinya pada tanggal 17 Ramadan, Sebenarnya yang kita peringati adalah momen turunnya 5 ayat pertama Al-Quran sekaligus momen peresmian kenabian Nabi Muhammad SAW.
Poin pertama, masalah Iqra’. Turunnya Al-Quran tidak serta-merta dapat kita lupakan, akan tetapi perintah pertamanya berkepanjangan menjadi tanggung jawab seluruh umat manusia. Bagaimana tidak? kata “Iqra” melahirkan beraneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Jadi, sampai saat ini apakah kalian masih menganggap Iqra’ itu hanya sekedar membaca? ajaibnya, bukan hanya sekali perintah itu terucap. Akan tetapi diulang sekali lagi dalam ayat اقرأ وربك الأكرم. Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran maupun lainnya itu menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Maka, sangatlah memprihatinkan ketika orang-orang mengatakan: “Saya sudah pernah baca. Saya sempat hafal. Saya sempat paham akan hal itu”.
Pernahkah kita berpikir sejauh manakah bacaan yang sudah kita implementasikan di kehidupan kita? saya teringat perkataan Abdullah bin Mu’taz:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُعْتَزِّ: “عِلْمٌ بِلَا عَمَلٍ كَشَجَرَةٍ بِلَا ثَمَرَةٍ”.
Ilmu tanpa diamalkan itu seperti pohon yang tidak ada buahnya.
وَقَالَ أَيْضًا: “عِلْمُ الْمُنَافِقِ فِي قَوْلِهِ، وَعِلْمُ الْمُؤْمِنِ فِي عَمَلِهِ”.
Ilmunya orang munafik itu terdapat pada perkataannya, dan ilmu seorang mukmin itu terdapat pada perbuatannya.
Faktanya UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca di Indonesia sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001% yang mana berarti dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca!.
Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Kemudian, survei data yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah dengan tingkat literasi rendah.
Masyarakat yang memiliki budaya baca (reading society) diyakini akan mengantarkan suatu bangsa ke gerbang kemajuan, karena hal itu menandakan tingginya minat masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, inovasi, serta memiliki nalar kritis.
Salah seorang guru besar dari Harvard University pernah melakukan penelitian yang dilakukannya pada empat puluh negara untuk mengetahui faktor kemajuan atau kemunduran suatu negara. Dari hasil penelitiannya, ia mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama yang berpengaruh adalah materi bacaan dan sajian yang disuguhkan, khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun menjelang kemajuan dan kemunduran negara yang ditelitinya itu, para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu.
Dua puluh tahun dua bulan dua puluh dua hari lamanya ayat-ayat Al-Quran berangsur turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya tekun mengajarkan Al-Quran dan membimbing umatnya. Sehingga pada akhirnya mereka berhasil membangun masyarakat yang di dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi. Boleh jadi kita pernah mempertanyakan, “Mengapa dua puluh tahun lebih baru selesai dan berhasil?” Boleh jadi jawabannya dapat kita temukan dalam temuan guru besar dari Harvard University.
Poin kedua, makna kata tadarus yang dikomparasikan dari KBBI dan makna Arab secara kontekstual sangatlah jauh berbeda. Tadarus merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi V berarti pembacaan Al-Quran secara bersama-sama (dalam bulan puasa). Sedangkan, Dalam Mu’jam al-Ghani tadarus adalah
تَدَارَسَ الكِتَابَ: قَرَأُوهُ وَتحَاوَرُوا فِي مَعَاِنِيهِ وَأَفْكَارِهِ لِيَبْقىَ رَاسِخاً فِي ذِهْنِهِمْ. |2- تَدَارَسُوا مَشْرُوعَ سَفَرِهِمْ إِلَى الجَبَلِ : نَاقَشُوهُ فِيمَا بَيْنَهُمْ، عَرَضَ كُلٌّ مِنْهُمْ رَأْيَهُ عَلَى الآخَرِ .
Salah satu seseorang membacanya, lalu berdiskusi mengenai makna dan tabir pemikiran yang terkandung di dalamnya supaya menempel di dalam otaknya apa yang ia baca atau dapat diartikan mereka berdua berdiskusi dan saling berargumentasi atas pendapat mereka masing-masing.
Faktanya di tengah masyarakat, tadarus adalah ajang berlomba-lomba untuk sekedar membaca Al-Quran tanpa memahami dan mengamalkan isi kandungannya. Setelah khatam, mereka saling bertanya satu sama lain: Sudah khatam berapa kali? mirisnya, hal ini menyebabkan kesombongan dan membuat diri seseorang menjadi merasa paling benar. Ingin selalu terlihat dan didengar serta dipuji oleh orang lain. Apakah esensi dari membaca Al-Quran yang membersihkan hati dapat tersampaikan? jelas-jelas tidak.
Melalui tadarus pada bulan yang berkah ini, seharusnya kita lebih bertafakur, tadabur, merenungkan ayat-ayat Al-Quran. Inilah tujuan kita diperintahkan untuk Iqra’ dan tadarus. Kewajiban belajar tidak hanya ketika duduk di bangku sekolah. Tetapi, berkepanjangan sampai akhir hayat. Semoga melalui tulisan ini, kita dapat merefleksikan apa yang sudah kita baca, hafal, pahami, teliti, dalami lalu kita sampaikan.
Kontributor: Ahmad Dailami Fadhil
Editor: Wafal Hana