ZAKAT FITRAH

Lazim kita ketahui, zakat fitrah merupakan ibadah penutup dari seluruh rangkaian ibadah di bulan Ramadhan. Namun, zakat fitrah hendaknya tidak dipahami hanya sekedar rutinitas ibadah yang mengiringi puasa di bulan Ramadhan. Akan tetapi, lebih dari itu, zakat fitrah merupakan kewajiban yang diperuntukan bagi terwujudnya kesempurnaan ibadah puasa Ramadhan yang kita lakukan. Tidak sempurna ibadah puasa kita apabila tidak diiringi dengan mengeluarkan zakat fitrah. Menurut Imam Waki’, zakat fitrah memiliki kesamaan fungsi dengan sujud sahwi, yakni sebagai penyempurna ibadah. Sujud sahwi sebagai pengganti kekurangan yang terjadi dalam sholat, sedangkan zakat fitrah sebagai penyempurna kekurangan yang terjadi dalam berpuasa Ramadhan.
Zakat fitrah, yang juga merupakan sarana pembersih jiwa dan harta benda kita, disyari’atkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijrah, bersamaan dengan difardukannya puasa Ramadhan. Kehadirannya merupakan khususiyyah bagi umat Nabi Muhammad SAW. Kewajiban zakat fitrah tercantum di dalam beberapa hadits, diantaranya
فرض رسول الله صلى الله عليه والسلام زكاة الفطرمن رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين ( رواه الشيخان)
Menurut Syafi’iyah, zakat fitrah diwajibkan atas muslim merdeka yang menemukan bagian ahir bulan Ramadhan dan bagian awal bulan Syawal dan pada saat siang dan malam hari raya mempunyai kelebihan dari kebutuhan sandang, pangan dan papan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, serta mempunyai kelebihan harta dari tanggungan hutang, meskipun belum jatuh tempo (menurut Imam Ibnu Hajar). Maka, setiap muslim yang telah memenuhi syarat, diharuskan berzakat fitrah untuk dirinya juga orang-orang yang wajib dinafkahinya.
Kadar zakat fitrah yang harus dikeluarkan untuk masing-masing individu adalah satu sho’ makanan pokok daerah tersebut (ghalib quut al-balad). Ukuran sho’ (begitu juga mud) menurut pendapat yang shohih dari madzhab Syafi’i, ditentukan dengan takaran (memakai volume), sedangkan takaran yang memuat satu sho’ menurut Syekh Ma’sum bin Ali Kwaron Jombang dalam kitab Fathul Maqodir adalah kubus yang tiap sisinya 14,65 cm, dan apabila dikonversi kedalam bentuk berat jenis, tentu hasilnya bisa berubah tergantung dari kadar air benda yang ditimbang. Masih menurut Syekh Ma’sum Ali -yang pernah menimbang beras putih dari takaran sho’ yang beliau miliki- satu sho’ beras putih sama dengan 2,719,19 Kg, disamping adapula pendapat yang mengatakan 2,5 Kg dan 3,2 Kg.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang berakhirnya bulan puasa Ramadhan, banyak bermunculan pertanyaan seputar hukum menunaikan zakat fitrah. Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah penunaian zakat fitrah dengan uang. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Karena ada dua pendapat yang berbeda, maka kita harus bijak dalam menyikapinya. Ulama sekaliber Imam Syafi’i, mujtahid yang sangat andal saja berkomentar tentang pendapatnya dengan mengatakan, ”Bisa jadi pendapatku benar, tapi bukan tak mungkin di dalamnya mengandung kekeliruan. Bisa jadi pendapat orang lain salah, tapi bukan tak mungkin di dalamnya juga mengandung kebenaran.
Syaikhona Kholil Bangkalan dalam kitab al-Matnu as-Syarif memperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang (qimah). Beliau mengatakan
ويسن أن يخرجها قبل صلاة العيد، ويجوز إخراج القيمة.
Pendapat Syaikhona Kholil ini tentunya berbeda dengan mayoritas ulama Syafi’iyyah. KH. Thaifur Ali Wafa dalam al misan al lashif bissyarhi Matni as-Syarif mengomentari pendapat Kiai Kholil di atas dengan redaksi
قوله : ( ويجوز) وهذا مما انفرد به المصنف رحمه الله من بين سائر اصحابنا رحمهم الله إذ لم يقل به احد من الأئمة الشافعية
Secara aspek metodologis dan sanad bermadzhab, pendapat Syaikhona Kholil ini mirip dengan pendapat Imam al-Bukhari yang juga bermadzhab Syafi’i. Pendapat Syaikhona Kholil ini tentunya memiliki sanad bermadzhab dan aspek metodelogi yang kuat dalam madzhab Syafi’i, maka pendapat ini bisa kita pahami sebagai pendapat yang mu’tabar dalam madzhab Syafi’i. Dengan demikian, kita tidak perlu beralih taqlid mengikuti pendapat Hanafiyyah yang juga membolehkan zakat fitrah dengan uang. Sebagaimana dijelaskan para fuqaha’ Syafi’iyyah, mengikuti salah satu pendapat yang masih dalam ruang lingkup satu madzhab, lebih baik dari pada bertaqlid mengikuti madzhab lain yang dimungkinkan sulit memenuhi prosedur dan ketentuannya.
Dalam perspektif maqashid, kebolehan membayarkan zakat fitrah dengan uang didasarkan pada realita sekarang bahwa yang lebih mashlahat dan dibutuhkan bagi fakir miskin adalah uang. Bisa jadi pada saat Idul Fitri jumlah beras yang dimiliki fakir miskin jumlahnya berlebihan. Karena itu, mereka menjualnya untuk kepentingan yang lain. Dengan membayarkan menggunakan uang, meraka tidak perlu repot-repot menjualnya kembali yang justru nilainya menjadi lebih rendah. Dengan uang, mereka bisa membelanjakannya sebagian untuk makanan, selebihnya untuk pakaian badanan dan keperluan lainnya
Wallahu A’lam.
Mas Wanyad