Webinar bersama PCINU Sudan dan PCINU Turki, Mulai dari Membedah Film Jejak Kekhalifahan di Indonesia, Pesan Persatuan sampai Ajakan untuk Berkarya

Selasa (8/9), PCINU Sudan menggandeng PCINU Turki dalam mengadakan webinar internasional yang diadakan baru-baru ini, tepatnya pada hari Jumat, 04 September 2020 via zoom meeting. Mengusung tema “Islam dan Negara sebagai Narasi Tak Berujung: Sebuah Refleksi terhadap Film Jejak Khalifah di Nusantara.”
Webinar ini berhasil menghadirkan tiga pembicara utama yang berpengaruh kuat di Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan. Tiga pembicara tersebut adalah : Dr. K.H. Abdul Ghofur Maimoen, M.A. (Ketua STAI Al anwar dan Katib Syuriyah PBNU), Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. (Rektor dan Guru Besar Sejarah Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah), dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., C.B.E. (Guru Besar Ilmu Sejarah UIN Syarif Hidayatullah). Dengan tema dan pembicara yang sangat penting juga menarik, webinar ini dihadiri oleh banyak peserta daring dari berbagai kalangan.

Bukan tanpa latar belakang, webinar ini diadakan seiring dengan terus diperdebatkannya relasi antara Islam dengan negara yang tidak pernah usai, terlebih dengan memanasnya keadaan di mana gerakan-gerakan Islam transnasional yang secara masif terus menyebarkan pemahamannya, salah satunya kini melalui film pendek yang mengaitkan kerajaan-kerajaan di Indonesia dengan sejarah kekaisaran Ottoman di Turki, dari sinilah film ini kemudian dibedah oleh para pembicara.
“Nostalgia dengan kekhalifahan, memang terlihat ada keinginan yang kuat untuk bisa kembali didirikan, khususnya di Indonesia. Ini bisa dimengerti, bahkan ketika kekhalifahan Abbasiyah runtuh pun para sejarawan menggambarkannya seperti sebuah akhir yang sulit, dan ketidakbaikan kaum muslimin atas runtuhnya kekhalifahan, padahal seiring berjalannya waktu, kaum muslimin bisa kembali baik-baik saja tanpa kekhalifahan,” terang Kiai Abdul Ghofur Maimoen dalam materi pembukanya. Beliau sangat memahaminya melihat dari aspek psikologis kaum muslimin yang masih merasa kehilangan.
Sedang melihat dari hubungan kekhalifahan yang telah diklaim terdapat jejaknya di Indonesia, beliau menanggapi dengan menilik kembali beberapa literatur keagamaan yang beliau baca, seperti kitab Makatiburrosul yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah mengatur bentuk pemerintahan seperti apa yang harus didirikan oleh kaum muslimin.
Kemudian beliau merujuk kitab Iqdul Farid untuk membantah klaim yang mengatakan terdapat hubungan kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz dengan kerajaan Sriwijaya, dan kerajaan-kerajaan di Indonesia adalah kerajaan yang berdiri secara mandiri. Kemudian materi beliau tutup dengan penegasan bahwa Darul Ifta Mesir, dan Syiria telah mengeluarkan fatwa bahwa umat muslim tidak perlu menyatukan sistem pemerintahan dalam bentuk khalifah.
Beralih pada pembicara kedua yaitu Prof. Amani Lubis, beliau juga menjelaskan banyak hal yang perlu dicatat oleh kita, “menyinggung soal nama, kehalifahan tentu jelas berbeda dengan kerajaan atau kesultanan, dan begitu kerajaan-kerajaan di Indonesia tidak pernah berani menamakan dirinya sebgai kekhalifahan. Sedang bentuk hubungan yang terjadi antara kekhalifahan Ottoman kala itu dengan Indonesia terjadi sebatas hubungan persahabatan dan kerjasama perdagangan dengan kekayaan rempah-rempah Indonesia yang beragam” jelasnya. Tidak berhenti sampai di sini beliau melanjutkan bahwa klaim yang menunjukan tentang adanya hubungan kedua belah pihak tidak boleh dinafikan, namun jika hubungan ini diafiliasi sebagai bentuk kekhalifahan tentu harus diluruskan.
“Dari film tersebut, kita harusnya juga bersiap belajar untuk membuat karya film baru sebagai bentuk pelurusan dan penjelasan tentang sesuatu yang telah disalahpahami, kemudian adanya film ini juga tidak boleh membuat kita terpecah, namun sebaliknya penegakan persatuan, keadilan, dan kemanusiaan harus selalu diutamakan.” Tambah Prof. Amani Lubis. Lagi, kesultanan di Indonesia yang kini masih tetap ada dan berjumlah sekitar 30-an telah dipatenkan sebagai bentuk kultural yang kita banggakan di kancah internasional tanpa ada bumbu jejak khalifah.
Sampai pada pembicara ketiga, Prof. Azyumardi banyak menyatakan kesepakatannya dengan dua pembicara sebelumnya. Selain itu beliau menyampaikan tentang bagaimana relasi antara agama dan negara ini tidak akan pernah selesai hanya dengan beberapa alasan, sehingga beliau maklumkan tipologi yang bermacam-macam ini.
“Narasi tidak berujung setidaknya akan terus terjadi oleh beberapa sebab di antaranya: ketiadaan konsep yang jelas yang ditentukan oleh Al-Qur’an dan hadist, hanya ada beberapa prinsip saja yang secara umum disebutkan seperti kesetaraan, keadilan. Lalu adanya bagian umat Islam yang meyakini bersatunya negara dan Islam, sampai masyarakat muslim yang tidak pernah mengalami sekularisasi (pemisahan agama dan negara) seperti yang terjadi pada umat Kristen, dan terakhir belum berhasilnya eksperimen sistem kenegaraan modern ala barat di banyak negara Islam.”
Kemudian beliau juga menjelaskan kembali secara rinci tentang bentuk negara masyarakat muslim dari masa kepemimpinan Rasulullah SAW sampai dinasti Ottoman, yang mana ternyata tidak semua masa bentuk negara masyarakat muslimnya adalah khalifah. Bahkan menurut sosiolog Ibn Khaldun tidak ada khalifah pasca khalifah rasyidah, yang ada hanyalah mamlakah. Begitu semua dinasti suksesi kekuasaan juga berdasarkan tali atau darah keluarga, karena itulah dinamakan mamlakah bukan khalifah.
Webinar kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab yang menambah semakin mantapnya diskusi, dan selama waktu dua jam lebih diskusi ini diselesaikan dengan membawa banyak ilmu baru bagi para peserta. Apalagi materi yang disampaikan ini sangatlah penting karena menyangkut negaraa dan agama.
Webinar ini juga disiarkan langsung oleh beberapa chanel youtube, salah satunya oleh NU Chanel. Sehingga siapa pun yang tidak sempat menyimak materi di hari pelaksanaan webinar atau ingin mendengarkan ulang, bisa dengan mudah mengakses vidio webinar.
Kontributor: Khobirotunnisa.
Editor: Irma M Jannah.