Webinar Bedah kitab Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah karya: Hadrastus Syaikh Hasyim Asy’ari

HPengurus Cabang Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Insani Nahdlatul Ulama Maroko (PC LAKPESDAM NU Maroko) telah memersembahkan webinar bedah kitab Risalah Ahlisunnah Wal Jama’ah karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari via zoom meeting dan live streaming di kanal youtube PCINU Maroko pada Rabu (16/9). Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai fragmen acara dalam rangka memeringati pra Harlah NU Maroko yang ke-9 pada Kamis (17/9).

Webinar ini mengundang Rais Syuriah NU Maroko masa khidmah 2020-2022 H. M. Elvin Fajri Rahmika sebagai pemateri, beliau merupakan lulusan Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, Kediri, dan sarjana di Intitut Imam Nafie, Tanger. Saat ini beliau sedang menempuh pasca sarjana di Universitas Abdul Malik As-Sai’di, Tetouan.
Bedah Kitab karya Hadratus Syaikh ini dipilih sebagai tema bukan hanya untuk meneguhkan pendirian kita pada paham Aswaja, tapi juga sebagai tabarrukan atau mengalap berkah dari beliau. Sehingga diharapkan webinar ini bisa berpengaruh sedikit banyak pada penonton yang hadir dalam aspek khidmah dan teguh pada Nahdlatul Ulama.
Moderator memersilahkan narasumber untuk memaparkan materi setelah sebelumnya menjelaskan runtutan acara webinar yang dibagi dua sesi; sesi pemaparan materi dan tanya jawab. Rois Syuriyah yang kerap disapa Gus Elvin tersebut memulai kata-kata dengan ulasan sekadarnya tentang kitab Risalah ataupun jurnal Hadratus Syaikh ini, mulai dari pentashih kitab tersebut yang merupakan guru dari guru-gurunya sendiri, hingga menyebutkan rincian kesembilan pasal yang dibahas pada kitab ini.
“Saya punya guru namanya bapak Fuad Muzakki dan guru-guru lainnya yang mengaji kitab ini langsung kepada Gus Ishom Hadziq, yang sanadnya bersambung pada Kiai Maftuh Bastulbirri, beliau mengaji pada Kiai Marzuki Dahlan, beliau punya guru Mbah Abdul Karim Lirboyo, dan Mbah Abdul Karim ngaji kepada Mbah Hasyim Asy’ari.” Ungkap Gus Elvin.
Beliau menitikberatkan pada pembahasan yang banyak mengandung khilaf di dalamnya, seperti makna bid’ah pada pasal pertama, seiring dengan hadist yang sering digaungkan golongan lain seperti ‘Kullu bidl’atin Dlolalah‘, maka dalam versi pemaknaan kita adalah bahwa kullu (seluruh) itu bermakna ba’dlu (sebagian), sehingga bid’ah itu terbagi menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah.
Sedangkan dalam pemaknaan golongan lain seperti Syaikh Ahmad Zarruq, Imam Syatibi dalam Al-I’tishomnya, dan pendapat Ibnu Rajab Al-Hanafi yang dinukil oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathu Al-Bari menyebutkan bahwa setiap bid’ah itu madzmumah (tercela). Para imam tersebut menjelaskan tolak ukur bid’ah adalah sesuatu hal yang baru dan tidak ada acuannya, sehingga tahlil, manakiban, maulid nabi dan lainnya yang menurut golongan lain adalah bid’ah, justru menurut imam-imam mereka bukan bid’ah, tapi sunnah karena tahlil dan selainnya telah tercakup dalam dalil-dalil umum.
Beralih ke pembahasan selanjutnya tentang mengapa penduduk nusantara berpegang pada prinsip aqidah Aswaja, Hadratus Syaikh menuliskan kekhawatirannya pada penduduk Jawa yang notabenya beraliran Aswaja menjadi tersesat karena paham-paham baru yang masuk seperti dari Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Salafi Wahabi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauzi, dan lain-lain.
“Anda boleh saja menggunakan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah selain dari pendapat beliau yang berkontradiksi dengan ijma'”. Terang gus Elvin.
Pada pasal kewajiban taqlid (mengikuti), penjelasan Gus Elvin menghilir ke perkataan suatu golongan yang acap kali berkata ‘kembali kepada sunnah’, dan beliau sangat menentang hal itu dengan tambahan penjelasan seorang guru beliau Syaikh Sai’d Kamali.
“Guru saya Syaikh Sai’d Kamali pernah berucap ‘jika ada orang yang mengaku bahwa ia kembali ke sunnah, maka bohonglah ia, karena tidak mungkin seseorang mengambil hukum dari suatu hadist secara langsung selain para mujtahid (orang yang telah menguasai sekian fan ilmu dan mampu berijtihad pada hadist dengan pandangannya sendiri), sehingga kita wajib taqlid atau mengikuti salah satu imam empat madzhab.” Jelas Gus Elvin.
Syahdan, penjelasan beliau mencapai titik akhir pada pasal kedelapan tentang perpecahan umat Nabi Muhammad SAW, pembahasan ini berhulu pada hadis tentang terpecahnya umat Nabi Muhammad ke 73 golongan yang semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja.
Dalam penjelasan hadis ini, Gus Elvin mengatakan setidaknya kita perlu sembilan referensi untuk menjelaskan hadist ini, yaitu: 1. Bariqatu Al-Bahiah karya Muhammad Al-Khadimi, 2. Hasiah As-Sindi karangan Muhammad Ibnu Al-Hadi Sindi, 3. Mausu’ah Yusufiyah karangan Syaikh Yusuf Khottor, 4. Tuhfatu Al-Ahwadzi karangan Mubarakfuri, 5. Bughyatu Al-Mustarsyidin karangan Habib Ibnu Umar Al-Ba’alawi, 6. Misykatu Al-Mashabih, 7. Syarah kitab Mar’atu Al-Mafatih karangan Khatib At-Tibrizi, 8. Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 9. Ithafu Sadatil Muttaqin karya Imam Murtadla Az-Zabidi.
Beliau menjelaskan inti dari sembilan referensi dengan berpusat pada kata “ummati” (umatku) di hadis tersebut, ada yang mengatakan bahwa yang selamat adalah golongan Asy-Sya’iroh dan Maturidiyah jika merujuk pada kitab Ithaf Sadatil Muttaqin. Adapun menurut kitab Mausu’ah Yusufiyah, kata “ummati” itu terbagi menjadi dua; umatul da’wah yaitu umat yang diseru risalah Islam terlepas dari agamanya apa dan apakah mereka menjawab risalah tersebut (masuk Islam) atau tidak, dan ummatul ijabah yaitu umat yang menyambut seruan Nabi Muhammad SAW, mereka adalah kaum muslimin. Sehingga, jika “ummati” kita artikan sebagai ummatul da’wah, maka semua kaum muslimin apapun golongannya masuk surga, jika kita mengartikannya ummatul ijabah, maka hanya golongan Aswaja (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) yang masuk surga.
Tongkat estafet kemudian diserahkan kembali ke moderator dan memasuki sesi tanya jawab yang membuat semakin panasnya acara. Webinar ini kemudian diakhiri dengan kalimat penutup dari narasumber, dan keberlangsungannya yang kurang lebih berjalan satu setengah jam ini didokumentasikan di kanal youtube PCINU Maroko sebagai jawaban bagi siapapun yang belum dan tidak sempat hadir di webinar.
“Saya bukan spelialis dalam bidang aqidah, namun Lakpesdam tetap memercayai saya dalam membedah kitab ini, sehingga membuat saya berat hati karena masih banyak senior lain yang mendalami aqidah, tapi karena pentashih kitab ini (baca: Gus Ishom Hadziq) adalah cucu Mbah Hasyim, dan beliau merupakan guru dari guru-guru saya, maka saya pun memberanikan diri untuk membedahnya karena punya sanad dan niat tabarrukan.” Tutup beliau.
Kontributor: Lakpesdam NU Maroko 20-22
Editor: Irma M. Jannah