Syaikh Sidi Abdessalam Yassine

Latar Belakang
Lahir pada tanggal 19 September 1928 M atau 4 Rabi’ul Awwal 1347 H di Marrakech, Maroko, Abdessalam Yassine mempunyai garis keturunan sampai kepada Nabi Muhammad SAW. dari Moulay Idris I. Nama lengkapnya Abdussalam bin Muhammad bin Salam bin Abdullah bin Ibrahim. Beliau dibesarkan oleh keluarga petani Berber sederhana yang berasal dari Haha, Sous, Maroko bagian selatan. Ayahnya, Muhammad, adalah seorang pahlawan (Farisan) dari qabilah Ait Zulthan yang berprofesi sebagai petani di Haha. Dia keluar dari desanya menuju Marrakech karena adanya konflik dengan al-Qaid atau kepala pemerintah setempat yang dapat mengancam jiwanya. Di Marrakech dia menikah dengan Ruqayah binti Ahmad dan melahirkan Abdessalam Yassine.
Abdessalam Yassine Muda hidup dalam lingkungan yang nomaden dan pedesaan serta pada saat yang sama dia membangun keluarga kecil di kota Marrakech. Pendidikannya di Marrakech membuatnya menghafal al-Qur’an dalam usianya yang masih belia (8 tahun). Ia juga belajar tentang gramatika bahasa Arab sehingga dalam usianya yang mencapai umur 12 tahun, dia sudah menjadi penyair yang handal. Dengan cara pendidikan tradisional yang selama ini ia dapatkan, Abdessalam Yassine muda haus akan pengetahuan Eropa (Abdelkader, 2011: 88). Dia membaca banyak buku-buku karangan Eropa, yang nantinya akan berpengaruh dalam pergerakannya di dalam masyarakat dan juga dalam mengkritik pemerintahan. Abdessalam Yassine berguru pada seorang Alim bernama as-Syaikh Mukhtar as-Susi, seorang yang terkenal dengan keshalihannya dan ketakwaanya di Marrakech.
Baca Juga: SANTRI AND UNFINISHED ENLIGHTENMENT
Setelah pulang dari menuntut ilmu di kota Fes pada tahun 1956, Abdessalam Yassine mendirikan sekolah (madrasah) di Marrakech yang bertujuan untuk mendidik golongan muda pada pendidkan agama dan pendidikan kenegaraan. Dia memulai karirnya di sekolah tersebut sebagai pengawas pendidikan. Pengabdiannya pada dunia pendidikan digelutinya selama kurang lebih 27 tahun.
Pada tahun 1965 dengan usiannya yang 37 tahun, Abdessalam Yassine masuk ke dalam Thariqah Boutchichi Qadiriyya dibawah bimbingan seorang mursyid bernama Syaikh Sidi al-Hajj al-‘Abbas selama 6 tahun. Pada masa-masa inilah beliau mengabdikian dirinya pada kehidupan monastik dan berdakwah di masyarakat yang dituliskan pada karyanya yang berjudul “Al-Ihsan”. Setelah meninggalnya sang guru, Syaikh Abdessalam Yassine meninggalkan Thariqah Boutchichi Qadiriyya dan memulai pergerakannya dalam dunia perpolitikan.
Pada tahun 1974 dia menulis surat terbuka kepada Raja Hassan II dalam bentuk buku yang berjudul “al-Islam au ath-Thufan”. Setelah buku tersebut dipublikasikan, sang raja menganggap Syaikh Abdessalam Yassine sebagai penderita kelainan mental dan harus dirawat di rumah sakit jiwa. Setelah keluar dari rumah sakit jiwa, Syaikh Abdessalam Yassine dipenjara tanpa adanya pengadilan terlebih dahulu selama 3.5 tahun. Setelah keluar dari penjara dia dijadikan tahanan rumah dan tidak boleh memberikan ceramah atau kegiatan keagamaan lainnya sampai tahun 1978. Selama masa tahanan rumah itulah dia menulis banyak buku diantaranya adalah “Al-Jama’a” sebagai wujud pemikirannya pada negaranya.
Pada tahun 1979 Syaikh Abdessalam Yassine dan pengikutnya berusaha untuk memperbaiki organisasi mereka secara politik. Pemerintah juga berusaha menghambat pergerakannya dengan melarang penerbitan buku-buku karangannya. Pada bulan November 1981 ia menerbitkan majalah berjudul as-Shabah yang dicekal setelah 2 hari terbit. Pada bulan Desember tahun yang sama, dia dipenjara karena didakwa telah membuat ketidaknyamanan pada masyarakat. Pada tahun 1987 ia mendirikan organisasi bernama al-‘Adl wa al-Ihssane, yang berfungsi sebagai kendaraan politiknya dalam menyerukan negara Maroko yang berlandaskan Islam. Pada tahun 1989, Syaikh Abdessalam Yassine dijatuhi hukuman tahanan rumah lagi sampai tahun 2000.
Pada tanggal 13 Desember 2012 Syaikh Sidi Abdessalam Yassine meninggal karena menderita sakit influensa. Ia meninggal pada usianya yang mencapai 84 tahun dengan meninggalkan berbagai macam karya-karyanya yang telah banyak diterjemahkan kedalam 8 bahasa, yaitu Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Turki, Spanyol, Rusia, dan Ukraina. Adapun karyanya yang terkenal, yaitu “al-Ihsan, Yauma al-Mu’min wa Lailatuhu”, “al-Jama’ah”, “Washiyati”, “al-Ihsan”, “al-Islamu au ath-Thufan”, “al-‘Adl al-Islamiyyah wa al-Hukm”, “al-Khilafah wa al-Mulk”, “Nadharat fi al-Fiqh wa at-Tarikh”, “al-Islam”, dan “al-Qur’an wa an-Nubuwwah”.
Pendapatnya Tentang Akal dan Iman dalam Islam
Pada karangannya yang berjudul “al-Ihsan” jilid II, Syaikh Sidi Abdessalam Yassine menyebutkan bahwa; “Akal yang disebutkan di dalam al-Quran, yang menunjukan (arti sebenarnya) terhadap akal, meluruskan (pengertiannya), dan (cara) menggunakannya sebagai bukti yang dapat dipercaya dan tidak berbohong, bukanlah akal orang ateis yang dinyatakan dari ucapan sebagian orang kafir secara beruang-ulang dan tidak mengetahui mana yang benar dan salah. Akan tetapi, akal yang dimaksud di dalam al-Quran adalah akal yang digunakan untuk berpikir tentang penciptaan, berpikir di dalam berbuat kebajikan sebagai bukti dari Sang Pemberi Kebajikan” (Yassine, 2000: 27).
Dalam buku terjemahannya yang berjudul “The Muslim Mind on Trial” ia berpendapat bahwa; “Akal yang mempercayai adanya Tuhan dan wahyu-Nya akan menderita kebutaan ketika matanya tertutup terhadap pengetahuan umum. Akal itu tidak akan mampu mempelajari alam semesta dan akan melupakan kegunaanya untuk mengabaikan dan menyia-nyiakan pengetahuan umum tersebut. Oleh karena itu, akal akan gagal dalam mencapai penguasaan terhadap masalah-masalah keduniawian dan akan duduk dengan malasnya bersama dengan gerombolan dari orang-orang pemalas. Hal itulah yang merupakan kelemahan dan kekurangtahuan dari arti pewahyuan. Tuhan menciptakan dunia tunduk kepada kita dan Dia memerintahkan kita untuk menjelajahi bumi, tinggal di bumi, berlomba-lomba (dalam kebaikan) dan berusaha secara sungguh-sungguh di bumi ini. Semua itu tidak dapat dilakukan kecuali kita berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan instrumen yang luar biasa ini yang biasa disebut dengan akal” (Yassine, 2003: 2).
Pada dasarnya Syaikh Sidi Abdessalam Yassine ingin menyampaikan bahwa tidak ada pertentangan dalam keberimanan dan akal, seperti yang selama ini dipercayai oleh dunia Barat, dimana akal dan iman adalah sesuatu hal yang harus dipertentangkan. Di dalam Islam, akal dan iman tidak boleh dipisahkan dalam menghadapi tantangan dunia ini. Umat Islam pun disarankan untuk seluas-luasnya mencari ilmu tidak hanya sebatas pada ilmu agama saja, namun juga ilmu-ilmu umum lainnya. Agama tidak menghapuskan pemikiran-pemikiran umum yang mengatur kebutuhan kita sebagai manusia sehari-hari. Malahan, akal akan menempatkan kita kedalam rasa kemanusiaan jika kita terus mengolahnya.
“Pewahyuan tidak membatasi suatu karya dan penemuan yang berhubungan dengan berbagai peristiwa yang ada di dunia ini, pembeda dari sesuatu yang berbahaya dan manfaat, serta pendapat dari penilaian yang salah. Oleh sebab itulah, mengapa Rasulullah SAW. biasa bermusyawarah dengan para sahabatnya, meminta pendapat mereka, dan menjadi perantara saat terjadinya perselisihan pendapat dari para sahabat tentang masalah peperangan, haji, masyarakat dan zakat. Rasul dan para sahabat mencari jalan keluar dari pewahyuan berdasarkan teks, dan menguji ijtihad mereka pada pengaplikasiannya untuk peningkatan kemampuan mereka dalam memenuhi tujuan sesuai dengan tempat dan waktu” (Yassine, 2003: 15).
Dalam karyanya yang terakhir yang berjudul “Washiyati”, dia berpesan bahwa; “Umat Islam harus thalabu al-‘Ilmi, ilmu yang dapat menjaga dirinya dari hari akhir dan ilmu-ilmu yang dapat memperkokoh kekuatan umat. Keahlian yang dapat mengatur, memproduksi, dan menciptakan kreatifitas merupakan keahlian yang dibutuhkan dalam memperkokoh kekuatan umat daripada tenaga dan uang (Yassine, 2014: 50).
Pendapatnya Tentang Ijtihad
Dalam berbagai karyanya Syaikh Sidi Abdessalam Yassine berpendapat tentang ijtihad yang tidak seharusnya tertutup karena tuntutan hidup dan kondisi masyarakat yang berubah. Namun, ijtihad yang dimaksud bukanlah ijtihad yang keluar dari konteks al-Qur’an dan as-Sunnah. Dia mengutarakan bahwa “Tuhan menganugerahi kita kebebasan untuk memilih jalan terbaik untuk mengatur kebutuhan kita sesuai dengan waktu dan tempat yang ada” (Yassine, 2000: 162).
Ia juga berpendapat bahwa “ilmu itu adalah sesuatu yang holistik yang membantu kita dalam menciptakan sebuah negara, mengatur perekonomiannya, membangun prinsip-prinsip permusyawaratan dan menciptakan sistem ijtihad untuk waktu saat ini dan untuk orang yang berbeda-beda” (Yassine, 1994: 202-203).
Syaikh Sidi Abdessalam Yassine menekankan pentingnya ilmu metodologi dalam berpikir kritis, observasi dan analitis. Dia juga percaya bahwa dengan adanya metodologi, penelitian dan pemikiran yang kritis, maka hal itu dapat mengubah wajah umat Muslim yang mampu bersaing dalam berpikir dan berkreativitas (Abdelkader, 2011: 100).
Menurutnya, “Ijtihad tidak seharusnya dimonopoli oleh al-Azhar, al-Qarawiyyin dan az-Zaitun (sebagai lembaga perguruan tinggi). Dan juga bukan dimonopoli oleh para doktor yang terkenal. Akan tetapi, setiap orang alim berhak untuk melakukan ijtihad, pelatih (mudarrib) ijtihad, yang mengawasi munculnya tahqiq sejarah ijtihad, dan mereka adalah para pemilik dan pelindung daerah mereka masing-masing” (Yassine, 1996: 75).
Bagaimanapun juga, beliau juga khawatir akan dua hal tentang pemikirannya. Pertama dia khawatir akan adanya kecenderungan intelektual yang menyerang nash menggunakan akal mereka. Hal ini, menurutnya, seperti golongan muktazilah yang mengagungkan akal sehingga semua yang tidak sesuai dengan akal akan dinilai negatif dan semua yang sesuai dengan akal akan dinilai positif.
Kedua, dia menyarankan agar pemegang ijtihad hanyalah orang yang benar-benar alim dalam hal keagamaan. Menurutnya, tidak semua orang yang mempunyai ijazah memenuhi kualifikasi untuk membuat ijtihad, khususnya para orientalis Islam (Yassine, 1996:73).
Kritik terhadap Raja Hasan II
Dalam bukunya yang berjudul “al-Islam au ath-Thufan”, Syaikh Sidi Abdessalam Yassine mengkritik pemerintahan dan Raja Hasan II. Buku ini menurut sebagian kalangan dinilai sebagai buku bunuh diri, karena setelah terbitnya buku ini, ia dinyatakan oleh raja sebagai orang yang terkena gangguan mental. Ia memberikan kritik kepada Raja Hasan II dalam bab terakhirnya (khulashah), 6 rekomendasi kepada Raja Hasan II:
1. Raja harus memperkokoh legitimasinya.
2. Raja harus memperbaiki militernya dibawah nama Islam.
3. Ulama yang mempertahankan ajaran Islam dengan semangat keislaman harus dibantu oleh pemerintah.
4. Peraturan pemerintahan harus berdasarkan hukum Islam.
5. Ekonomi negara harus berlandaskan pada hukum-hukum syariah.
6. Para pemimpin yang sah harus dipilih berdasarkan orang-orang yang benar-benar berkualitas dengan niat taubat akan dosa-dosanya demi kepentingan bersama (Yassine, 1974: 157-169).
Dengan semangat membangun Maroko, Syaikh Sidi Abdessalam Yassine terus mengkritik secara positif terhadap pemerintahan kerajaan Maroko beserta solusi-solusi yang ditawarkan olehnya. Kritiknya tidak berhenti pada zaman Raja Hasan II saja, tetapi berlanjut kepada Raja Mohamed VI. Perjuangannya dalam membangun ideologi dan ajaran keislaman terus ditelurkan melalui karya-karyanya yang syarat akan nilai-nilai agama dan moral. Syaikh Sidi Abdessalam Yassine sebagai seorang ulama dan juga pejuang masyarakat patut untuk dipublikasikan kisahnya.
***
Mohammad Wafa, S.Si.
Mahasiswa S2 di Al-Akhwayn University Ifrane
Daftar Pustaka
Abdelkader, Deina Ali. 2011. Islamic Activist: The Anti-Enlightment Democrats. London: Pluto Press.
Yassine, Abdessalam. 1974. Al-Islam au ath-Thufan. Marakes
Yassine, Abdessalam. 1994. Al-Minhaj an-Nabawi. Beirut: Asy-Syarikah al-‘Arabiyya li an-Nasr wa at-Tawzi.
Yassine, Abdessalam. 1996. Asy-Syura wa Demoqratiyya. Daru al-Baidla:Al Afaq
Yassine, Abdessalam. 1998. Al-Ihsan II. Daru al-Baidla: Daru al-Afaq.
Yassine, Abdessalam. 2000. Al-‘Adl. Daru al-Baidla: Daru al-Afaq.
Yassine, Abdessalam. 2000. Winning The Modern World for Islam. Iowa: Justice and Spirituality Publishing.
Yassine, Abdessalam. 2003. The Muslim Mind on Trial: Divine Revelation versus Secular Rationalism. Iowa: Justice and Spirituality Publishing.
Yassine, Abdessalam. 2014. Washiyati. Iowa: Justice and Spirituality Publishing