Bag. 5 – Serba Serbi Ramadan di Maroko

Kontributor:  Muhamad Hikam Ali  |  Editor: Avika Afdiana Khumaedi 

Ramadan merupakan bulan yang selalu dinanti kedatangannya oleh seluruh umat islam. Selain karena limpahan kemuliaan yang terdapat di dalamya, salah satu faktor yang membuat umat islam membendung rindu dengan bulan ini adalah suasana dan tradisi khas yang hanya dapat ditemukan saat Ramadan tiba. Di Indonesia, tradisi keliling kampung untuk membangunkan orang sahur hingga sederet menu takjil yang tak kalah menarik, merupakan salah satu dari sekian banyak tradisi asyik yang tidak dapat dirasakan selain pada bulan Ramadan.

Lain di Indonesia lain juga di Maroko, negara dengan julukan negeri seribu benteng ini memiliki tradisi yang tak kalah unik dari sederet tradisi yang Indonesia miliki. Berbagai macam tradisi mulai dari menyambut hingga mengisi Ramadan dapat kita temui setiap tahunnya. Namun, dikarenakan situasi negara yang masih dalam usaha perlawanan dan pemulihan total dari wabah Covid-19, berimbas dengan ketiadaan suasana gegap gempita yang biasa kami rasakan tiap tahunnya dalam penyambutan bulan suci Ramadan. Akan tetapi, akan menjadi satu hal menarik untuk dapat mengenal tradisi ‘berbeda’ yang dimiliki masyarakat Maroko, meski belum dapat kami dapati untuk Ramadan kali ini.

Tidak hanya hati, masyarakat Maroko turut membersihkan dan mengecat dinding rumah mereka dalam menyambut bulan suci Ramadan. Mereka berkumpul bersama sanak famili untuk mengadakan semacam perayaan atau pesta keluarga. Di kota Tanger, warga menghiasi jalanan setapak dengan cat warna-warni serta menghiasi gang-gang rumah mereka dengan berbagai macam ornamen yang digantung menjutai indah dari satu rumah ke rumah lainnnya.

Pada malam pertama di bulan Ramadan, warga Fes biasanya meniupkan alat musik nafir­, semacam terompet panjang di atas Dar Muaqqit. Dar Muaqqit adalah tempat bagi para ahli falak untuk melakukan tugasnya. Mereka bertugas untuk melihat hilal, menentukan waktu shalat, arah kiblat dan sejenisnya.

Rutinitas pembacaan hizb (setengah juz) dari Al-Quran secara berjamaah yang biasa dilakukan selepas subuh dan maghrib di tiap-tiap masjid di Maroko, akan ditambah porsinya di bulan Ramadan. Mereka membacanya tiap selepas shalat lima waktu, terkecuali saat waktu Isya.

­Ada perbedaan yang mencolok dari cara pelaksanaan shalat tarawih di Indonesia dengan yang ada di Maroko. Masyarakat Maroko membagi shalat tarawih menjadi dua sesi. Sesi awal dimulai sehabis Isya, dengan jumlah 8 rakaat 4 kali salam. Kemudian dilanjut sesi kedua yang dilaksanakan menjelang waktu sahur, dengan jumlah rakaat yang sama ditambah dengan 3 rakaat shalat witir, luar biasa bukan? Hal lain yang tak kalah hebatnya, mereka menghabiskan 1 juz pada tiap malamnya dan hal ini berlaku hampir di seluruh masjid Maroko. Untuk menjadi imam di masjid-masjid Maroko juga tidak bisa sembarang orang, semua imam yang memimpin shalat terawih di masjid-masjid Maroko sudah dipastikan memiliki hafalan 30 Juz Al-Quran.

Selain itu, masyarakat Maroko memiliki antusiasme tinggi dalam menghadiri shalat terawih di masjid, khusunya pada malam-malam awal bulan Ramadan dan di sepuluh malam terakhir. Terlebih pada malam 27 Ramadan, mereka berbondong-bondong hadir dan memenuhi masjid hingga penuh sesak. Karena di malam ini sang Imam mengkhatamkan bacaan 30 juznya.

Perihal kuliner Ramadan, masyarakat Maroko juga memiliki santapan khusus saat Ramadan tiba, meskipun tidak memiliki macam yang beragam seperti yang ada di Indonesia. Untuk takjil, mereka memiliki jajanan yang disebut dengan Syabakiyah. Adonan tepung yang digoreng, dilapisi gula dan ditaburi biji wijen. Rasanya manis, biasanya disantap bersama dengan segelas susu dan kurma. Syabakiyah merupakan jajanan khas Ramadan yang sulit ditemukan pada selain bulan Ramadan. Selain itu ada Harirah sejenis sup dengan kuah merah yang kental, berisi potongan mie, kacang-kacangan, telur urak-arik dan daging sapi yang diiris kecil-kecil.

Maroko juga memiliki durasi puasa yang lebih lama, kurang lebih 15 jam lamanya. Saat waktu sahur tiba, biasanya masyarakat Maroko memiliki tradisi meniup nafir dan memukul gendang untuk membangunkan orang-orang. Dengan waktu malam yang terbilang singkat, biasanya masyarakat Maroko lebih banyak melakukan aktivitasnya di sore hinga malam hari. Hal tersebut juga disebebkan oleh faktor cuaca panas, bahkan di beberapa wilayah, suhu tertinggi dapat mencapai 40 derajat celcius.

Terlepas dari durasi puasa yang lama dan cuaca panas, bagi mahasiswa Indonesia di Maroko, bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah, karena di bulan ini mahasiswa berkesempatan untuk mendapatkan sedekah dan zakat dari para dermawan Maroko.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *