Sayap Literasi

Beradu padu kosakata tercipta dalam aksara. Neuron otak berupaya keras. Berusaha menuang semua ide dalam cawan masa. Sementara pendulum waktu masih terus berayun. Frekuensi kecepatannya berpacu dengan laju jari jemari di atas keyboard. Pasang mata tak juga jemu menatap kursor dalam layar komputer. Disisi lain, tak terasa dimensi waktu telah sampai pada ujung perjalanannya di sepertiga malam. Pukul tiga. Itu artinya, semalaman santri itu tak terlelap. Begitu gigih upayanya mengejar misi, hingga tak memperdulikan rasa lelah yang bersarang hebat pada tubuhnya.

            Segala rasa serasa ia tangkis sedemikian rupa. Sanubarinya menyimpan dendam pada segala aral yang melintang. Ia bosan dengan kicauan masam yang terus menghujam. Tak sedikit pita suara yang melempar kalimat negatif pada daun telinganya. Para pelempar itu tak menyadari, betapa kalimat mereka telah merobek sanubari dan menimbulkan akar perih. Namun, ia tak pernah menutup mata. Bahkan dengan tangan terbuka, ia mengambil hikmah dari segala kicauan dan serasa perih. Ia terus berusaha dan tak berhenti.

Namanya Rizki. Salah seorang santri yang memilih pesantren sebagai tempatnya bernaung memilin ilmu. Tak ada yang istimewa dengan sosok Rizki. Sikapnya yang pendiam dan minim bersosial membuatnya jarang dikenal. Membaca adalah hobinya sejak kecil. Ia lebih memilih mengisi waktu luang dengan membaca buku daripada menghabiskan waktu untuk tidur, atau hanya sekedar berbincang tak penting dengan santri yang lain. Membaca menjadi aktivitas Rizki sehari-hari. Sampai suatu ketika, ia mendapat surat mandat kepengurusan. Rizki diberi amanah menjadi koordinator perpustakaan. Bagi Rizki, amanah adalah suatu hal yang tak pernah boleh dikesampingkan, apalagi sampai dilalaikan mengingat segala tugasnya kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

            “Kamu yakin ingin membuat komunitas penulis di pesantren kita?” tanya Isma.

            “Yakin,” jawab Rizki dengan percaya diri. “Harapannya, dengan adanya sebuah komunitas penulis, kita bisa mewadahi bakat para santri. Lalu, kita mengolah bakat tersebut menjadi sebuah produk, berupa buletin, majalah, dan buku antologi.”

            “Rizki, sepertinya ambisimu terlalu tinggi,” ucap Rona.

            “Lho, kenapa?”

“Kamu kan tau kalau pesantren kita hanya memiliki satu komputer. Itu saja nggak terlalu bisa diandalkan. Kadang nyala, kadang nggak. Terus, makainya juga harus gantian lagi. Antrinya segitu banyak, bahkan harus nunggu berhari-hari,” timpal Bilqis.

            “Apa salahnya diusahakan? Ngga apa-apa, kita bersabar dengan antrian. Bukankah mengantri sudah menjadi kebiasaan santri?”

“Iya. Tapi misi yang kamu buat itu berat Rizki. Untuk membuat buletin mingguan saja kita sampai harus tengkar dengan devisi yang lain masalah pemakaian komputer. Kamu ada-ada saja bikin program untuk membuat buku,” protes Isma.

“Kita upayakan dulu.” Usai sudah rapat perdana R    izki dan anggotanya mengenai pengembangan minat baca dan tulis di pesantren. Tak satupun anggota yang benar-benar yakin dengan misi Rizki. Semua anggota meragukannya. Bagi mereka, adanya perpustakaan, mading bergilir, dan media koran yang disediakan sudah cukup mewadahi minat dan bakat santri pesantren dalam literasi baca tulis. Namun tidak bagi Rizki. Literasi baca tulis di pesantren tidak cukup hanya dengan

program itu saja. Santri membutuhkan wadah untuk berlatih menulis dan harus ada produk nyata yang dihasilkan sebagai output dari literasi baca tulis santri.

Komunitas penulis akhirnya terbentuk. Diantara ratusan jumlah penghuni pesantren, ada 25 santri yang mendaftarkan diri dalam komunitas menulis. Tak terasa hari-hari mengelupas demikian cepat. Budaya literasi di pesantren Rizki mulai terbangun. Buletin mingguan komunitas tersebut telah memasuki edisi 9. Rizki mengajak anggota devisinya untuk mendiskusikan misi selanjutnya, pembuatan majalah dan buku antologi.

“Mbak Rizki, apa sebaiknya kita coba bilang ke pengasuh untuk menambahkan jumlah komputer?” tanya Risal, anggota komunitas penulis yang menduduki status sebagai santri baru.

“Sudah pernah saya usulkan mengenai hal itu. Namun, sepertinya dana pesantren masih terfokuskan pada pembangunan kelas baru,” respon Rizki.

“Rizki, kamu tahu? jumlah anggota jurnalis tambah dikit. Mereka banyak yang keluar. Kebanyakan dari mereka sudah nggak sanggup harus ngetik tulisan dengan antrian yang sebegitu banyak,” keluh Bilqis.

“Masalah waktu juga. Kita pasti dapat antrian malam,” ujar Isma.

“Iya, aku tau. Komputer menjadi kendala kecil kita dalam menghasilkan produk. Tapi, bukan berarti kita tidak bisa sama sekali memakai komputer kan? Antrian malam itu wajar. Kita harus mengalah dengan devisi lain yang lebih utama. Mengalah dengan sekretaris pesantren dan diniyah.”

“Aduh Rizki… kayaknya cukup buletin aja deh produk kita. Ini aja udah nguras tenaga banget. Ngetik dan desain satu edisi buletin aja kita butuh waktu lama. Harus bermalam di depan komputer terus,” pinta Rona.

Rizki hanya tersenyum menanggapi keluhan anggotanya. Dalam sanubari Rizki, ia masih bersikukuh dengan sebuah misi untuk membuat majalah dan buku antologi. Aku harus tetap menjemput bola. Gumam Rizki dalam benaknya. Sebenarnya Rizki merasa resah mengetahui jumlah anggota komunitasnya yang kian surut. Namun, Rizki masih menggigit prinsipnya untuk tetap bertahan dan mempertahankan komunitas tersebut untuk tetap hidup.

 Satu persatu anggota Rizki meninggalkannya. Mereka pura-pura tuli dengan segala upaya yang dilakukan Rizki. Mereka sengaja tak memperdulikan Rizki, dengan harapan ambisi Rizki akan memudar jika tidak ada lagi yang mau membantu dan mendukungnya.

“Rizki, kamu kok ngotot sih. Pengasuh saja tidak mendukung, kenapa kamu memaksa?” kata Sofi, santri yang tinggal satu kamar dengan Rizki.

“Kata siapa pengasuh tidak mendukung?”

“Lha buktinya, komputer masih tetap satu. Sampai sekarang belum ada penambahan fasilitas untuk mendukung komunitas penulis kamu.”

“Bukan tidak didukung. Tapi memang masih belum ada dana untuk pembelian fasilititas komputer.”

Terdengar dua teman Rizki saling berbisik menggunjingnya, “Lha iya. Ngotot bikin buletin, ujung-ujungnya juga masuk tong sampah.” Teman lainnya menimpali, “Lagian, itu buletin kok mirip bungkus kacang ya? Hihi.”

Rizki merasa geram mendengar ucapan tersebut. Ia pun tak menanggapi, lantas pergi keluar kamar. Langkah kakinya menuntun Rizki memasuki sebuah ruangan. Ia membutuhkan waktu untuk sendiri. Ditutupnya pintu perpustakaan, lalu ia duduk dan mengambil sembarang kertas di atas meja. Ia meluapkan seluruh isi hatinya.

Aku tak akan pernah berhenti. Aku yakin, suatu saat mimpiku akan terwujud.

Aku bisa memahami agama melalui kitab. Kitab yang aku pelajari merupakan karya tulis para ulama terdahulu. Dulu, tidak ada komputer saja mereka bisa menulis puluhan kitab. Bahkan al qur’an yang aku pelajari, awalnya ditulis di pelepah kurma, bebatuan, bahkan tulang belulang binatang. Ah.. mengapa aku harus berhenti hanya karena satu fasilitas? Tidak!! Sayap Literasi baca-tulis di pesantren ini tak boleh patah. Sayap literasi harus terus dikepakkan, demi terciptanya budaya literasi di kalangan santri. Aku tak pernah lupa, bahwa menulis adalah ladang pahala yang tak pernah habis. Hingga sepanjang masa! hingga lintas usia!

Begitu berkobar semangat Rizki untuk terus memperjuangkan keinginannya. Segala kicauan masam ia tangkis sedemikian rupa. Ia terus memotivasi diri untuk melanjutkan perjalanan mengepakkan sayap literasi. Ia semakin berupaya mewujudkan mimpi. Menghasilkan produk majalah dan buku antologi. Anggota komunitasnya kini tinggal 4 santri. Bersama empat anggota itulah, ia terus melakukan aksi. “Jumlah anggota tidak menjadi sebuah permasalahan. Aku pernah membaca kisah orang-orang sukses. Aku mengambil pelajaran, bahwa orang sukses sesungguhnya bukanlah orang yang selalu meraih juara satu di kelas. Bukan

juga orang yang selalu berkomentar dengan pekerjaan yang dilakukan orang lain. Orang yang sukses itu adalah orang yang mampu bertahan,” ucap Rizki pada keempat anggota komunitas penulisnya yang kesemuanya merupakan santri baru.

“Lalu, rencana kita selanjutnya apa mbak?” tanya Sindi.

“Membuat majalah dan buku antologi.”

Dengan empat santri itu, Rizki mulai mendiskusikan pembuatan majalah dan tema yang tepat untuk buku antologi. “Mengingat sebentar lagi menyambut ulang tahun hari kemerdekaan, gimana kalau tema majalah kita, signifikansi santri bagi NKRI?” usul Rizki.

“Wah temanya bagus. Santri memiliki peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,” ucap Qonita.

“Setuju! Waktu itu, Kyai Hasyim Asy’ari yang menyuarakan jihad pada seluruh santri untuk melawan penjajah,” Risma menyetujui.

“Saya juga setuju. Sejarah telah mencatat peristiwa tersebut. Sepertinya, rekaman kejadian pada waktu itu perlu diputar ulang dalam bentuk karya tulis untuk membangkitkan kembali semangat santri masa kini dalam mengisi kemerdekaan Indonesia,” sambung Rani dengan penuh semangat.

“Saya siap membuat desain lay outnya,” jawab Dinda melengkapi.

Tema majalah telah mereka sepakati. Rizki dan anggota komunitasnya mulai menyusun schedule untuk proses pembuatan majalah. Langkah demi langkah tahap penulisan mereka lalui. Semangat yang menjulang tinggi menemani upaya mereka untuk menyelesaikan majalah perdana. Rizki juga membuat pengumuman pada seluruh santri yang berminat untuk memberikan kontribusi tulisan pada majalah tersebut.Tak disangka, banyak santri yang mengapresiasi usaha Rizki dan teman-temannya. Banyak tulisan yang terkumpul untuk mengisi majalah. Meski dengan tulisan tangan, ternyata banyak juga santri di pesantren tersebut yang gemar menulis. Rizki dan teman-temannya menyanggupi untuk mengolah semua bahan tulisan, mulai dari proses pengetikan, editing, lay out, sampai ke percetakan.

Beberapa hari kemudian, majalah tersebut telah usai terselesaikan. Senang bukan kepalang, ternyata pengasuh pesantren menganjurkan majalah itu untuk dikontribusi oleh seluruh santri. Majalah pedana yang telah dibuat, disambut hangat oleh seluruh santri. Banjir pujian diperoleh Rizki dan anggota komunitasnya. Ia semakin bersemangat melanjutkan misi selanjutnya, membuat buku antologi.

“Mbak Rizki, tulisannya bagus. Mbak bisa ajari saya cara menulis?” tanya salah seorang santri yang begitu penasaran dengan kunci sukses menulis.

“Caranya sederhana. Bagaimana caranya menulis? Jawabannya, ditulis-tulis aja!” jawab Rizki seraya mengembangkan senyuman. Santri yang barusan bertanya hanya terdiam mendengar jawaban Rizki. Lantas ia melanjutkan, “menulis itu ibarat menuang. Menuang isi kepala kita dalam bentuk tulisan. Kepala kita ibarat teko. Jika teko dalam keadaan kosong, maka tidak akan ada yang bisa dituang. Sama seperti kepala kita. Jika isinya kosong, maka apa yang akan kita tuang ke dalam bentuk tulisan? Oleh karena itu, sudah menjadi rahasia umum, bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Sampai saat ini, aku masih terus berusaha untuk tidak absen dalam aktifitas membaca.”

“Wah, penjelasan mbak Rizki sangat menarik.”

“Eh, ada lagi. Terkadang, penulis pemula membutuhkan sebuah lingkungan yang mendukung dirinya untuk meningkatkan produktifitas menulis. Kalau kamu minat mendalami dunia literasi baca tulis, kamu bisa bergabung di komunitas kami.”

“Memangnya boleh mbak aku ikutan gabung? Aku belum pernah punya pengalaman menulis.”

“Ngga masalah. Kamu bisa menumbuhkan bakat menulis di komunitas penulis pesantren ini. Nanti malam kita ada diskusi membuat buku antologi. Kamu bisa gabung setelah ngaji malam di perpustakaan.”

“Alhamdulillah, terima kasih kesempatannya mbak Rizki, insyaallah nanti malam saya datang.”

Majalah tersebut berhasil menyemarakkan budaya literasi di kalangan santri pesantren. Jumlah komunitas penulis pun semakin bertambah. Banyak santri yang mengajukan diri bergabung dalam komunitas penulis setelah membaca produk majalah yang dibuat Rizki dan teman-temannya. Karya tulis yang indah, berhasil membuat santri jatuh hati pada pada dunia literasi.

Tentang fasilitas komputer. Masih tetap seperti dulu. Tidak bertambah jumlahnya. Masih tetap satu dan menjadi satu-satunya milik pesantren. Meski begitu, Rizki tetap bersyukur. Keterbatasan fasilitas tak membuatnya jatuh dan terdiam tanpa aksi apapun. Tak hanya majalah. Buku antologi cerpen dan puisi telah sukses ia persembahkan.

Suatu ketika, ada seorang alumnus yang bersedia menanggung biaya penerbitan. Bahkan, buku antologi tersebut telah mendapatkan International Standart Book Number (ISBN) resmi. Dalam dua hari, buku tersebut terjual sebanyak 300 ekslempar. Bersama timnya, Rizki telah membuktikan bahwa sayap literasi di pesantren tak pernah patah meski dengan segala keterbatasan yang ada.

***

Anisatur Rizqiyah

diambil dari buku analogi cerpen PCINU Maroko

20 karya terbaik lomba

‘sayembara santri menulis : sepenggal cerita di Lorong pesantren’

dalam rangka menyemarakan konfercab III PCINU

Maroko 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *