NU SEBAGAI JENDELA NILAI MODERASI INKLUSIF ISLAM di LANSKAP GLOBAL

Oleh: Muhammad Ismail Sunni* 1

Moderat tidak diartikan bahwa semua agama adalah sama. Deradikalisasi, menurut Arifinsyah Arifinsyah, Safria Andy (2020) memiliki pengaruhi secara negatif dan signifikan dengan meningkatkan kapasitas moderasi beragama yang tercantum dalam beberapa poin penting, yaitu suplai kesadaran untuk berbuat baik sebagai tabiat, dan pentingnya koeksistensi di tengah heterogenitas masyarakat terlepas dari batasan budaya, agama dan negara.

Moderasi beragama, selain menggaungkan sikap ramah dan empati, juga menjunjung martabat manusia untuk bisa hidup dengan etika agama, moral masyarakat yang bersifat lokal dan universal. Ketika masyarakat memiliki pemahaman moderasi beragama yang baik, mereka akan mampu menyadari bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat global yang memahami kebenaran masing-masing tanpa terlibat dalam radikalisasi dan lebih menekankan sisi harmoni berbasis pancasila. Moderasi beragama sangat krusial sebagai instrument keyakinan untuk mengatur masyarakat yang plural dan multikultural di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Selain itu, untuk mengejewantahkan nilai-nilai agama dalam bentuk riil, moderasi beragama diperlukan untuk juga merajut keharmonisan beragam alur dan jalur beragama dalam satu agama.

Inklusif menurut Javed et al. (2019), berarti kesetaraan untuk apapun tingkat standar yang ada, dengan saling berkontribusi dan akuntabel sepenuhnya demi tercapainya hasil yang direncanakan. Menurut Robenson (2006), dalam inklusifitas, kata kunci yang dipromosikan adalah ‘everyone matters’ setiap orang perlu diprioritaskan tanpa pengecualian dalam aksesibilitas informasi dan sumber daya. Nembhard & Edmondson (2006) mengurai lebih lanjut bahwa istilah inklusifitas muncul karena meruncingnya situasi-situasi dimana ketidakseimbangan kekuatan yang hanya mengglorifikasi pandangan satu pihak muncul dalam frekuensi yang masif.

Isu-isu terkait pelayanan sosial berbasis agama kerap muncul akhir-akhir ini baik di Eropa dan Amerika dimana keterkaitan gender, berkurangnya ketersediaan layanan sosial ketika lembaga keagamaan dituntuk untuk memberikan kompensasi terhadap alokasi dana yang diambil dari pengeluaran pemerinyah, juga tentang potensi diskriminasi agama dalam dunia kerja dan para imigran (Sullivan, 2019).

Tantangan terkait inklusifitas juga muncul dari sektor ekonomi, setelah terpukul dengan krisis kesehatan global sebab COVID19 pada 2020, dampak dan retakan ekonomi mulai terasa. Strategi inklusif ekonomi perlu diprakarsai oleh siapapun untuk mengatasi ketidaksetaraan global dimana tingkat penyerapan dan aplikasi SDGs (Sustainable Development Goals) tiap negara masih rendah dan dalam tahap pemulihan (van Niekerk, 2020).

Di Indonesia, Afwadzi dan Miski (2021) mengungkapkan problematika terkait moderasi dalam beragama juga belum sepenuhnya paripurna diselesaikan. Tidak hanya konstrusi pengembangan moderasi beragama, namun bagaimana ia dirumuskan dalam kebijakan strategis khususnya dalam konteks pendidikan dan seberapa relevan program moderasi beragama yang telah diadopsi dalam sistem pendidikan atas (strata satu) bila dirujuk pada kehidupan kontemporer. Polemik terkait pendekatan makro yaitu kondisi struktur masyarakat, dan mikro yakni keadaan individu untuk mengatasi dan mengukur masalah pribadi juga masih belum mendapatkan solusi yang mampu menjelaskan kelakuan grup agama radikal yang notabenenya disandarkan pada Islam seperti pembunuhan 4 orang di sebuah trem di Utrecht oleh Gokmen Tanis yang merasa mendapatkan justifikasi membunuh dengan mengucapkan Allahu akbar. Begitu juga halnya dengan Brenton Tarrant yang membunuh 51 muslim di Christchurch, New Zealand (de Graaf and van den Bos, 2021).

Nahdatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi tradisional moderat di Indonesia, dengan lebih dari 90 juta anggota di seluruh dunia memiliki potensi untuk menjadi dan membangun jembatan-jembatan yang mengatasi masalah inklusi dalam taraf nasional dan global. Sikap wasathiyyah NU yang tidak ekstrim secara aqli dan naqli menjadi haluan utama dan atribut strategi untuk menjawab isu-isu radikal dan inklusif yang masif terjadi (Purwanto, 2019). Hampir seabad didirikan, NU berperan penting secara inklusif mengadvokasi kepentingan grassroot atau masyarakat dengan income low-to-middle dengan banyak program pemberdayaan masyarakat dengan nilai multicultural (Muslikh, 2022).

NU tidak hanya melakukan transfer of knowledge tetapi juga transfer of value yang selalu mengedepankan adab qoblal ilm dan adab fauqol ilm dan tentang bagaimana urgensi manfaat ilmu hanya bisa diperoleh dengan mengedepankan moral terhadap guru. Dalam konteks pendidikan, forum bahsul masaail juga menjadi platform interaksi santri muda NU untuk merespon isu-isu ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat (Saenong, 2021). NU dengan pemikiran moderatnya, berusaha untuk mengintegrasikan nilainilai Islam pada budaya baik yang bersifat klasik ataupun kontemporer dengan menyisipkan prinsip tasamuh, tawasuth, tawazun dan i’tidal sehingga sikap tatharruf atau radikal dapat dihindari. Bagaimana NU mampu bersikap ‘ramah’ dalam upaya eksplorasi budaya lokal dan nilai modernis yang juga disesuaikan dengan norma dan nilai bangsa perlu diperhatikan sebagai upaya deradikalisasi dan komitmen untuk membangun civil society.

Lebih konkrit, NU menangkal isu radikalisme dengan upaya struktural dan kultural. Diantaranya adalah dengan mengintensifkan program kaderisasi sebagai langkah afirmasi nilai ahlussunah wal-jamaah juga menghegemoni gerak faham radikal di tengah masyarakat seperti dengan mengadakan dialog internasional, pengiriman delegasi dan mengundang ulama negara lain ke Indonesia untuk mengenalkan Islam Indonesia. Di bidang sosial, optimalisasi utilitas zakat, infaq dan shodaqoh terus dievaluasi dan dialurkan pada pelayanan pendidikan yang menyeimbangkan substansi agama dan dunia2.

Oleh karena visi religius NU yang sangat responsif terhadap peningkatan kesejahteraan pendidikan dan sosial masyarakat (Mudzakkir, 2020) yang menjadi bukti andil NU pada penekanan pentingnya inklusifitas, maka NU sangat layak dan patut diharapkan untuk semakin menegaskan diaspora kemanfaatan moderasi beragama pada level global dengan secara konsisten merefleksikan Islam nusantara yang rahmatan lil ‘alamin.

.

1 Penulis adalah mahasiswa S2 di fakultas ekonomi dan bisnis universitas Islam Internasional Indonesia yang saat ini fokus pada penyelesaian tesis dan publikasi jurnal.

2 Ali, A. S. (2015, March 25). Peran nu Dalam Menangkal Radikalisme. nu.or.id. Retrieved January 29, 2023, from https://www.nu.or.id/opini/peran-nu-dalam-menangkal-radikalisme-51drR

REFERENSI

Afwadzi, B. and Miski, M. (2021) ‘Religious moderation in Indonesian higher educations: literature review’, Ulul Albab: Jurnal Studi Islam. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 22(2), pp. 203–231.

Arifinsyah Arifinsyah, Safria Andy, A. D. (2020) ‘The Urgency of Religious Moderation in Preventing Radicalism in Indonesia’, ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 1, pp. 91–108. doi: https://doi.org/10.14421/esensia.v21i1.2199.

de Graaf, B. A. and van den Bos, K. (2021) ‘Religious radicalization: social appraisals and finding radical redemption in extreme beliefs’, Current Opinion in Psychology, 40, pp. 56–60. doi: https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2020.08.028.

Javed, B. et al. (2019) ‘Inclusive leadership and innovative work behavior: The role of psychological empowerment’, Journal of Management and Organization, 25(4), pp. 554–571. doi: 10.1017/jmo.2018.50.

Mudzakkir, A. (2020) ‘Traditional Islam and Global Religious Connectivity: Nahdlatul Ulama in The Netherlands’, ISLAM NUSANTARA: Journal for the Study of Islamic History and Culture, 1(1), pp. 145–162.

Muslikh, M. (2022) ‘Membangun Civil Society Melalui Pendidikan Nilai-Nilai Multikultural Inklusiv dalam Perspektif Nahdlatul Ulama’, Edunity: Kajian Ilmu Sosial dan Pendidikan, 1(02), pp. 66–72.

van Niekerk, A. J. (2020) ‘Inclusive economic sustainability: SDGs and global inequality’, Sustainability (Switzerland), 12(13). doi: 10.3390/su12135427.

Purwanto, M. R. (2019) ‘Inclusivity of Lecturers with Nahdlatul Ulama Background in Political and Religious Views in Indonesia’, International Journal of Innovation, Creativity and Change, 9(10), p. 96.

Saenong, F. F. (2021) ‘Nahdlatul Ulama (NU): A Grassroots Movement Advocating Moderate Islam’, in Handbook of Islamic sects and movements. Brill, pp. 129–150.

Sullivan, S. C. (2019) ‘Religion, gender, and social welfare: Considerations regarding inclusion’, Social Inclusion, 7(2), pp. 44–47. doi: 10.17645/si.v7i2.2259.

.

*Penulis adalah Juara 3 lomba Sayembara Menulis: Menduniakan NU dan Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah an-Nahdliyyah dalam rangka Satu Abad NU yang diadakan oleh PCINU MAROKO.

.

Editor: Wafal Hana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *