Mengisi Ruang Kosong

Apa yang terjadi di luar sana sejatinya mudah dimengerti, meski mereka menyadari bahwa mereka banyak tidak mengerti apa yang telah mereka lakukan. Mereka merasa itu benar, dan meyakininya sebagai sebuah kebenaran mutlak dan meyakinkan kepada yang lain bahwa mereka dan pendapatnya benar, dan orang lain harus mengikutinya. Sedangkan yang lainnya meyakini hal yang sebaliknya dan meyakinkan yang lain dengan cara yang sama pula meski tidak secara gamblang mengatakan bahwa pendapat mereka yang menyatakan bahwa ‘a’ benar itu adalah salah dan ini yang benar. Sehingga ada dua sisi yang sama-sama berusaha meyakinkan sisinya masing-masing hingga tajam bahkan saling bergesekan dan tak terelakkan perselisihannya. Ketika itu terjadi, fitrah manusia yang memang selalu berbeda sedang diletakkan di bawah egoisme pemaksaan keyakinan yang sangat rentan melahirkan perpecahan.
Betapa mudahnya berpendapat dengan berbekal pelintiran ucapan dan provokasi, betapa sulitnya manusia untuk belajar yang menghabiskan waktu tak cukup hanya dengan dua ibu jari. Pertarungan sengit terjadi di lini masa, saling menjegal satu sama lain yang berbeda, tak sepaham, yang sepaham tapi berbeda cara, dan seterusnya. Dalam pertarungan sengit yang tak jarang dimulai ketika ayam baru saja berkokok di pagi hari itu, semua orang harus berada pada satu persamaan persepsi yang digaungkan oleh sebagian orang sehingga tidak boleh ada kesempatan bagi yang lain untuk berbeda.
Jika kita ada pada titik itu walau sedikit saja, maka siap-siaplah kita akan digempur serangan membabi buta dan berbagai cara. Sungguh kejam, meski petani baru saja melenggang ke sawah untuk menghidupi jutaan orang di negeri, sementara orang-orang itu sudah bersitegang tak ingat anak istri. Dalam hal ini, seperti diungkapkan Kyai Husein Muhammad, bahwa “keyakinan yang tidak didasarkan atas kesadaran dan pengetahuan, alih-alih dengan keterpaksaan, sangatlah rapuh, mudah terombang-ambing dan sanga potensial tersesat”. Di era derasnya arus informasi seperti zaman kiwari ini, disinformasi yang disebarluaskan hingga menjadi pegangan yang seolah-olah sebuah fakta sudah terjadi setiap menitnya. Kita umat islam selalu ditekankan untuk mendahulukan tabayun (klarifikasi) terhadap informasi dan pengetahuan apapun, alih-alih dengan spontan membagi tanpa membacanya terlebih dahulu.
Ketika ada dua sisi yang sedang asyik bertarung, maka sebaiknya kita ikut yang mana? Atau katakanlah, memihak yang mana? Di sini sebenarnya ada kesempatan emas bagi siapa saja ketika ada orang-orang sedang bertarung pada satu hal tentang apapun, terlebih kita, misalnya, adalah orang yang awam dalam hal tersebut. Ketika satu ruang yang sebenarnya bisa menampung banyak hal, banyak perbedaan, tetapi sudah dipenuhi sekumpulan orang yang memaksakan bahwa dirinya lah yang berhak menempatinya, maka yang terjadi ruangan itu menjadi sesak, panas dan penuh gesekan. Kita bisa memilih untuk tidak memilih ruangan itu. Tetapi jika kita ingin turut andil dalam keramaian dan kegaduhan itu, maka bersiaplah untuk mendidih kepalanya ketika kita memasukinya. Dan kembali, jika kita merasa tidak mampu, tidak siap, atau menghindari untuk mengikuti pertarungan itu, maka ada ruang yang sangat sepi, sangat asing, namun sejatinya ruang itu sangat menentukan.
Ruangan kosong itu bernama diam. Di ruangan itu, kita bisa belajar banyak hal tentang bagaimana mengambil sikap, bagaimana mengendalikan diri untuk tidak terlibat dalam pertarungan berkepanjangan itu. Di sana bisa kita jumpai banyak orang-orang pandai, bijaksana dan rendah hati. Tentu mereka bukan orang yang tak mengerti apa-apa tentang apa yang dua sisi perdebatkan bahkan orang-orang di ruangan kosong inilah sebenarnya yang lebih memahami daripada mereka. Dengan kata lain, orang-orang di ruangan kosong ini telah dicuri bagiannya oleh mereka yang sedang bertarung. Orang-orang di ruangan kosong ini lebih memilih diam bukan karena diam itu emas, tetapi lebih dari itu bahwa diam itu tak ternilai harganya. Orang-orang ini akan bicara jika dirasa perlu dan waktunya berbicara. Tetapi sekarang, ucapan-ucapan orang ini seringkali dipelintir oleh mereka yang sedang bertarung itu seolah-olah perkataannya berada di salah satu pihak dari mereka.
Jika bagi orang-orang bijaksana, ruangan ini adalah ruangan untuk berdiam diri dan sikap untuk tidak turut bertarung yang akibatnya bisa menambah persoalan yang sudah ada, maka bagi kita sebagai awam, yang tidak tahu banyak hal, ruangan ini bisa kita gunakan untuk belajar, merenung, instropeksi dan mengenal diri sendiri lebih jauh. Di ruangan ini, kita membatasi diri kita untuk hal-hal yang bukan bagian kita agar kita tidak bertindak sesuatu yang di luar kemampuan kita. Karena berbicara, apalagi untuk berwacana, dibutuhkan ilmu, pengamalan dan pengalaman yang tidak sedikit. Dengan itulah kebijaksanaan bisa hadir bagi siapa saja yang belajar dan memahami dengan sungguh-sungguh bahwa masing-masing orang punya bagian, masing-masing orang punya waktu tertentu untuk pantas berbicara, berwacana hingga mengajak orang lain. Karena mengajak itu mengamalkan, memberi contoh, memberi teladan, menghadirkan kebijaksanaan.
Manusia bisa memilih. Ruangan yang kosong atau ruangan yang sesak penuh oleh pertarungan dan ego. Apabila kita memilih untuk bertarung, berarti kita memilih untuk tidak belajar, untuk tidak membaca, alias untuk menghadirkan kesesakan. Karena yang sesak adalah yang tidak mau membaca, yang sesak itu yang sering merasa takut dan menimbulkan ketakutan bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Sepanjang kita masih terus membaca, sesungguhnya kita semakin mengetahui di mana letak kekurangan dan kebodohan kita untuk terus kita habisi. Jika tidak, kita yang akan dihabisi oleh kebodohan dan berakibat kerusakan yang lebih luas bahkan tidak hanya untuk kita yaitu untuk masyarakat luas. Ataukah kita termasuk golongan, seperti yang diungkapkan Imam al-Ghazali, orang-orang yang tidak tahu, tetapi tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, kemudian menyesal di belakang hari karena tidak merasakan sulitnya belajar ketika waktunya belajar?
***
Penulis; Fairuz Ainun Naim, Lc.
Mahasiswa S2 di Cadi Ayyad Université Marrakech.