Hadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Teologi Sosial-Kebangsaan, Kritik Teologis, Resolusi Jihad, Muqaddimah Qanun Asasi.

(Analisis Pemikiran Kalam Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari)
M. Ikhbar Fiamrillah Zifamina
ikhbarfiamrillahzifa@gmail.com
S2 Aqidah dan Filsafat Islam
Ushuluddin dan Pemikiran UIN Sunan Kalijaga
Abstrak
Artikel ini membahas tentang pemikiran kalam dari Hadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau merupakan ulama tradisional sekaligus tokoh nasional Indonesia yang memiliki pemikiran tentang teologi sosial-kebangsaan. Teologi sosial-kebangsaan dari KH. Hasyim Asy’ari terdapat dalam Resolusi Jihad, Muqaddimah Qanun Asasi dan kritik teologis dalam beberapa karyanya. Metode dalam penelitian ini adalah metode analisis kritis, yakni untuk menelaah konsep teologi sosial-kebangsaan Hadlratussyaikh dalam karya-karya tersebut. Urgensi penelitian ini adalah meninjau kembali pemikiran kalam dari KH. Hasyim Asy’ari dalam konteks sosial dan kebangsaan. Hasil temuan dari artikel ini yakni : Pertama, teologi sosial-kebangsaan Hadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari terdapat dalam Resolusi Jihad, Muqaddimah Qanun Asasi dan kritik teologis pada karya-karya beliau yang menujukkan sisi eksternal yang anti kolonialisme, dan sisi internal pada persatuan umat Islam, Kedua, teologi sosial-kebangsaan KH. Hasyim Asy’ari mengisyaratkan bahwa teologi Ahlusunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial-keagamaan dan politik-kebangsaan dapat menjadi bangunan konsep teologis yang relevan digunakan untuk menjawab problem kebangsaan kontemporer saat ini.
Keywords : Hadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Teologi Sosial-Kebangsaan, Kritik Teologis, Resolusi Jihad, Muqaddimah Qanun Asasi.
Pendahuluan
Teologi Islam atau ilmu kalam masih sering dianggap berfokus pada problem ketuhanan dan kalamullah atau teosentrisme, namun ketika memasuki zaman modern, para ulama dan intelektual Islam mengkonsepsikan adanya suatu teologi Islam atau pemikiran kalam modern yang bersifat anthroposentrisme atau berfokus pada problem-problem kemanusiaan. Hassan Hanafi menyebutkan bahwa gerakan kontemporer dalam Islam pada umumnya lebih kepada tauhid praktis daripada tauhid teoritis, sehingga tauhid menjadi kekuatan yang aktif di dalam menyatukan emosi masing-masing individu dan menyatupadukan keterpecahan umat (Hanafi, 2003). Oleh karena itu, pada zaman modern dan kontemporer ini karakteristik suatu teologi Islam yang memiliki kontekstualisasi pada ranah sosial, politik, dan kemanusiaan.
Salah satu ulama Indonesia yang dapat dikatakan menjadi tokoh utama kalangan Islam tradisional adalah Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau dapat dikatakan sebagai founding father dan pelopor organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama atau NU. Hadlratussyaikh sebagai ulama atau kyai karismatik bahkan memiliki peran besar dalam merumuskan teologi Islam Ahlussunnah wal Jam’ah Aswaja) di Indonesia, terutama di kalangan tradisional NU sendiri. Baginya, Islam tidak hanya membicarakan tentang ketuhanan, namun juga dimensi sosial, politik dan ekonomi dari masyarakat, sehingga dapat dipastikan bahwa teologinya dipat dikatakan sebagai teologi Islam modern (Muhaemin, 2013). Adapun jiwa nasionalisme KH. Hasyim Asy’ari bagi Indonesia tampak pada Resolusi Jihad dari Nahdlatul Ulama yang ditandatangi oleh beliau sendiri pada tanggal 22 Oktober 1945 (Rofiq, 2017). Dalam hal ini, konstruksi teologi dari Hadlaratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari terdapat kecenderungan pada teologi Islam modern dengan konteks sosial dan kebangsaan. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian yang berfokus pada pemikiran kalam atau teologi Islam dari KH. Hasyim Asy’ari terutama dalam konteks modern, khususnya tentang sosial dan kebangsaan.
Penelitian-penelitian atas pemikiran KH. Hasyim Asy’ari pada tema kebangsaan, nasionalisme dan teologi telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Artikel tentang teologi dari Hadlaratussyaikh yang cukup representatif ditulis oleh Muhaemin dengan judul “Teologi Aswaja Nahdhatul Ulama di Era Modern: Studi atas Pemikiran Kyai Hasyim Asy’ari”. Muhaemin berfokus pada pemikiran Hadlratussyaikh sendiri dan relasinya dengan NU sebagai organisasi Islam tradisional yang berpijak pada teologi Aswaja dalam melihat konteks problem-problem modernitas, seperti imperialisme penjajah maupun kaum Islam reformis-modern (Muhaemin, 2013). Adapun artikel tentang pemikiran kebangsaan dan nasionalisme KH. Hasyim Asya’ari ditulis oleh Muhammad Rijal Fadli dan Ajat Sudrajat dengan judul “Keislaman dan Kebangsaan : Telaah Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari”. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa pemikiran Hadlarussyaikh tentang keislaman tampak dalam bidang keilmuan Islam tradsional, seperti fikih, tauhid (teologi), dan tasawuf, sedangkan pemikiran kebangsaannya tampak pada ide-ide politik beliau yang anti kolonialisme seperti dalam hal mendirikan pesantren, NU, dan organisasi lainnya sebagai wadah menjaga persatuan (Fadli & Sudrajat, 2020). Dari kedua artikel tersebut menunjukkan bahwa Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari memiliki konsep tentang teologi kebangsaan.
Dengan membedakan diri dengan penelitian-penelian tersebut, penelitian ini akan membahas tentang teologi sosial-kebangsaan dari Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dengan berfokus pada karya-karya beliau yang berhubungan dengan topik teologi dan sosial keagamaan. Apabila kedua artikel sebelumnya menujukkan sepak terjang Hadlaratussyaikh dalam NU, maka penulis membatasi penelitian ini pada karya-karya KH. Hasyim Asy’ari sendiri, lalu pada Resolusi Jihad serta Muqaddimah Qanun Asasi, namun tentu tidak dengan menegasikan sama sekali relasi beliau dengan NU itu sendiri. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode analisis-kritis. Metode tersebut digunakan untuk menganalisis secara kritis konsep teologi sosial-kebangsaan dalam pemikiran kalam dari KH. Hasyim Asy’ari yang tertuang pada karya-karyanya. Oleh karena itu, urgensi penelitian ini lebih kepada meninjau kembali pemikiran kalam KH. Hasyim Asy’ari dalam konteks sosial dan kebangsaan, sehingga penelitian ini berusaha menunjukkan konsep teologi sosial-kebangsaan dari beliau yang dapat menjadi bangunan teologis yang relevan digunakan untuk menjawab problem kebangsaan kontemporer saat ini. Sebelum masuk pemikiran Hadlratussyaikh perlu kemudian melihat biografi singkat dan beberapa karya-karya dari beliau yang terkait dengan bidang teologi.
Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari
Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim. Beliau lahir pada tanggal 14 Februari 1871 M atau 24 Dzulqa’dah 1287 H di Pondok Pesantren Gedang yang berjarak sekitar dua kilometer dari kabupaten Jombang. Ayahnya bernama Kyai Asy’ari asal Demak dan ibunya bernama, Nyai Halimah, adalah putri Kyai Usman. Dari segi nasabnya, KH. Hasyim Asy’ari memiliki garis darah biru,ningrat, dan priyayi sampai ke kesultanan Pajang, Hadiwijaya (Joko Tingkir) hingga Majapahit, Brawijaya VI, dan darah putih, kyai, santri sampai pada Sunan Giri (Rifai, 2009).
KH. Hasyim Asy’ari memperoleh pengajaran dan pendidikan langsung dari ayahnya, Kyai Asy’ari dan kakeknya, Kyai Usman.. Setelah itu pada usia 15 tahun, KH. Hasyim Asy’ari mulai berkelana ke beberapa pesantren di pulau Jawa, seperti di pesantren Wonocolo, Jombang, pesantren di Probolinggo, pesantren Langitan, pesantren Tranggilis, sampai berguru kepada Kyai Kholil di Bangkalan, Madura (Rifai, 2009). KH. Hasyim Asy’ari lalu melanjutkan pendidikannya di kota suci Mekkah, bersamaan melakukan ibadah haji. Selama belajar di kota suci tersebut, beliau berguru kepada ulama-ulama besar internasional dan Indonesia, seperti Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Mahmud Khatib Al-Minangkabawy, Imam Nawawi AlBantani dan ulama-ulama besar lainnya (Sukadri, 1985). KH. Hasyim Asy’ari juga memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan al-Muwaththa’ dari jalur sanad (transmisi keilmuan) gurunya yang sampai kepada Imam al-Bukhari. Beliau wafat di Jombang pada 7 Ramadhan 1366 H/25 Juli 1947 M (Fadeli & Subhan, 2007).
Beberapa karya-karya Hadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam ilmu kalam atau akidah dan fikih antara lain : Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin, Jami’at al-Maqashid fi bayan Tauhid wa al-Fiqh wa atTashawwuf, Ziyadat at-Ta’liqat, At-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Ikhwan, Risalah fi Jawaz at-Taqlid, Risalah at-Tauhidiyyah, Risalah fi al-’Aqaid, dan Manasik Shugra li Qashidi Umm al-Qura (Hadziq, 2013). Adapun Resolusi Jihad diawali oleh fatwa Hadlratussyikh sebagai Rais Akbar NU pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya (Fadeli & Subhan, 2007), sedangkan Muqaddimah Qanun Asasi merupakan pidato dari beliau ketika Muktamar NU tanggal 21 Oktober 1926 di Surabaya dan menjadi pondasi utama Anggaran Dasar Rumah Tangga (AD/ART) dari NU.
Resolusi Jihad dan Muqaddimah Qanun Asasi
Dalam beberapa catatan sejarah, disebutkan bahwa sebelum terjadinya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Soekarno yang memiliki kegamangan atas kedatangan pasukan Sekutu, lalu mengirimkan utusannya kepada Hadlratussyaikh untuk meminta saran dan pandangan startegis dari beliau dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, hingga kemudian dicetuskanlah fatwa Resolusi Jihad, bahkan Bung Tomo meminta nasehat kepada KH. Hasyim Asy’ari sebelum berperang (Saputra, 2019).
Permintaan dari Soekarno itu oleh KH. Hasyim Asy’ari dijawab bersama para ulama NU se-Jawa dan Madura pada 22 Oktober 1945, dalam bentuk seruan fatwa dan Resolusi Jihad melawan musuh, yang ditandatangani oleh beliau sendiri di kantor GP Ansor di Jl. Bubutan, Surabaya. Dalam seruan fatwa Jihad fi Sabilillah tersebut, Hadlartussyaikh menetapkan hukum fardlu ‘ain bagi umat Islam untuk mempertahankan tanah airnya yang diserang musuh dalam jarak 94 kilometer (Baso et al., 2017). Dapat dipastikan bahwa fatwa Resolusi Jihad dari Hadlratussyaikh sangat bermuatan teologis sekaligus politis karena menyangkut kelangsungan kemerdekaan Indonesia pada saat itu juga. Adapun Resolusi Jihad yang difatwakan oleh beliau sebagai berikut :
1. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 harus dipertahankan.
2. Pemerintah RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dipertahankan dengan harta maupun jiwa.
3. Musuh-musuh Indonesia, khususnya orang-orang Belanda yang kembali ke Indonesia dengan menumpang pasukan Sekutu (Inggris), sangat mungkin ingin menjajah kembali bangsa Indonesia setelah Jepang ditaklukkan.
4. Umat Islam, khususnya warga NU, harus siap bertempur melawan Belanda dan sekutu mereka yang berusaha untuk menguasai Indonesia kembali.
5. Kewajiban jihad merupakan keharusan bagi setiap Muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer (sama jaraknya dengan qashar, di mana meringkas shalat boleh ditunaikan oleh Muslim santri).
6. Mereka yang berada di luar radius itu mempunyai tanggung jawab mendukung saudara-saudara Muslim mereka yang tengah berjuang dalam radius tersebut (Fadhli & Hidayat, 2018).
Resolusi Jihad tersebut tidak terlepas dari pandangan Hadlartussyaikh yang dipengaruhi Syaikh Imam Nawawi Al-Bantani yang mengatakan bahwa Dar al-Islam atau wilayah Islam yang telah dikuasai oleh kafir tetap disebut sebagai Dar al-Islam, apabila umat Islam yang berada dalam wilayah tersebut masih tetap bermukim di dalamnya, sehingga menurut beliau mempertahankan eksistensi Indonesia dari semua kekuatan asing yang mengancam, wajib dilakukan oleh umat Islam sebagai nasionalisme sekaligus keberlangsungan umat Islam Indonesia (Yusrianto, 2014). Dalam hal ini, Resolusi Jihad yang bersubstansi sebagai Jihad fi Sabilillah merupakan implimentasi konsep hubb al-wathan min al-iman atau “cinta tanah air sebagian dari Iman” yang menjadi fatwa dari KH. Hasyim Asy’ari sebagai basis teologis yang diberikan oleh beliau kepada umat Islam (Sholihuddin & Jazil, 2021).
Penulis lantas melihat hal ini bahwa posisi Hadlratussyaikh sebagai ulama dan tokoh penggerak kemerdekaan Indonesia menujukkan pemikiran teologis dari KH. Hasyim Asy’ari memiliki visi kebangsaan sekaligus anti-kolonial. Teologi dari Hadlaratussyaikh yang memiliki visi kebangsaan dan antikolonial tersebut mengarah pada konsep persatuan di antara umat Islam dan melawan kezaliman para penjajah yang kafir. Hal ini bahkan juga diperkuat dengan pidato dari beliau ketika memutuskan rapat Resolusi Jihad tersebut :
“Apakah ada dan kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktuwaktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah. Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.
Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya. Maka barangsiapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya.”(Baso et al., 2017).
Adapun Muqaddimah Qanun Asasi memiliki judul lengkap Muqaddimah Al-Qanun Al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlat al-Ulama’ yang berarti “Muqoddimah Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama” yang disampaikan saat Muktamar NU ke-3 pada tahun 1930 di Surabaya lalu dikukuhkan kembali pada Muktamar NU ke-12 pada tanggal 20-24 Juli 1937 di Malang (Rifai, 2009). Adapun dalam Irsyad as-Sari atau kumpulan kitab Hadlaratussyaikh yang dieditori oleh KH. Muhammad Ishom Hadziq, teks tersebut diberi judul Ihya’ ‘Amal al-Fudlala’dan menjadi pidato pembukaan Muktamar NU ke-17 di Madiun pada tanggal 24 Mei 1947 M atau 5 Rajab 1366 H (Hadziq, 2013). Menurut Martin Van Bruinessen dan Lathiful Khuluq, karya ini memuat pemikiran Hadlratussyaikh dalam bidang fikih dan hadits, bahkan merupakan hasil ijitihad beliau berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah (Rifai, 2009). Sedangkan menurut Mifathur Rohim, Qanun Asasi yang meliputi aspek akidah, syariah dan akhlak, menujukkan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang konsep Ahlusunnah wal Jama’ah (Baso et al., 2017). Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa Muqaddimah Qanun Asasi merupakan karya teologis dari Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Penulis menemukan perbedaan isi antara Muqaddimah Qanun Asasi yang beredar di kalangan NU dengan teks yang ada dalam Irsyad as-Sari dan keduanya berasal dari KH. Hasyim Asy’ari. Tampaknya perbedaan ini terletak pada tahun keduanya terbit, yang satu pada tahun 1930 sedangkan versi Irsyad as-Sari pada tahun 1947. Oleh karena itu, penulis akan menggunakan keduanya untuk mencari konsep teologi sosial-kebangsaan Hadlaratussyaikh dalam Muqaddimah Qanun Asasi. Penulis menggunakan Muqaddimah Qanun Asasi tahun 1930 yang terdapat dalam Kamus NU yang disusun oleh Muhammad Arief Albani, penulis dalam artikel ini akan menyebutnya dengan “Muqaddimah Qanun”, sedangkan dalam versi Irsyad as-Sari dengan istilah “Ihya’ ‘Amal al-Fudlala” Kedunya tetap berasal dan yang saling melengkapi sehingga menujukkan keutuhan dari KH. Hasyim Asy’ari yang bermuatan teologis.
Dalam Muqaddimah Qanun, Hadlratussyaikh memulai dengan basmallah dan hamdalah sebagai berikut :
الحمد الله الذي نزل الفرقان على عبده ليكون للعالمين نذيراـ وآتاه الله الملك والحكمة و علّمه مما يشاءـ و من يؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا.
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya agar memberi peringatan kepada sekalian umat dan menganugerahinya hikmat serta ilmu tentang sesuatu yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dianugerahi hikmat, maka benar-benar mendapat keberuntungan yang melimpah” (Albani, 2015).
Adapun dalam Ihya’ ‘Amal al-Fudlala’ dengan kalimat berikut :
أحمدك اللّهمّ يا من أذلّ أعناق ألجبابرة وكلّ عروش الفراعنة والقياصرة لا مانع لما أعطيت ولا معطي لما منعت. تباركت و تعاليت
“Dengan Asma Allah Jang Maha Pengasih Jang Maha Penjajang
Hanya kehariaan Padukalah Ja Allah, kami undjukkan segala pudji pudji. Wahai Dzat jang telah merendahkan dan menghinakan orang2 jang tjongkak sombong. Jang telah meruntuhkan tahta Fir’aun dan Kaisar2.
Tak ada seorangpun jang mampu mentjegah sesuatu jang telah Kau berikan dan tak ada seorangpun jang mampun memberikan sesuatu jang tidak Kau kehendaki untuk memberikannya. Maha Sutji Engkau Ja Allah dan Maha Unggul” (Hadziq, 2013).
Dalam Muqaddimah Qanun, Hadlratussyaikh lantas melanjutkan dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, seperti : Al-Ahzab : 45-56, An-Naml : 125, , Al-Fathir : 28, Al-Ahzab : 23, Al-Anbiya’ : 7, Ali ‘Imran : 7, At-Tahrim : 6, Ali ‘Imran : 104, Al-Maidah : 2, Ali ‘Imran : 103, Al-Hujurat : 10, Al-Ahzab : 56, Asy-Syura’ : 38, dan At-Taubah : 10 (Albani, 2015). Dapat dipastikan bahwa Muqaddimah Qanun, memperlihatkan basis teologis dari karya Hadlratussyaikh tersebut dengan berpijak kuat pada Al-Qur’an. Sedangkan dalam Ihya’ ‘Amal al-Fudlala’ dilanjutkan dengan kalimat :
فما أوسع رمحتك و أعظم حلمك فقد كفر بك أكثر الناس وأنكروا وجودك و جحودك.ومع ذلك ما زلت تسبغ عليهم .نعمتك. وبسطت لهم رزقك و تمدنهم من الحياة مدا
“Aduhai, betapa luas rachmatMu dan betapa agung kedermawananMu. Kendali kebanjakan manusia telah mengengkariMu dan tidak pertjaja akan wudjudMu serta membentji kepadaMu, meskipun demikian Engkau toh masih tetap melimpahkan kenikmatan2Mu kepada mereka. Kau beberkan redjekiMu serta karuniaMu kepada mereka dan telah Kau ulurkan kepada mereka kehidupan sepandjang masa” (Hadziq, 2013).
Dari kedua teks di atas, Muqaddimah Qanun dibuka dengan menujukkan sisi teologis yang menunjukkan keutamaan ilmu, hikmah dan persatuan, sedangkan pada Ihya’ Amal al-Fudlala’ tampak suatu konsep teologis yang bervisi sosial dan anti atau penolakan terhadap kezaliman. Selanjutnya dalam Muqaddimah Qanun, pada intinya dari Qanun Asasi itu mencakup beberapa poin seperti: Latar belakang berdirinya, hakikat dan jati diri NU, perlunya ulama bersatu, saling mengenal, rukun bersatu , dan saling mengasihi satu sama lain di dalam satu wadah yang dinamakan NU, hingga warga NU yang mengikuti salah satu pendapat imam mazhab yang empat, yaitu Hanafi , Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (Rifai, 2009). Bahkan pada perkembangannya, para ulama NU lantas menujukkan sikap kehati-hatian dalam penolakannya terhadap arus pemikiran yang datang dari luar frame pemikiran Aswaja (Muzammil, 2008).
Meskipun intisari tersebut sangat berkonotasi pada NU dan teologi serta fikih Aswaja, pada dasarnya Hadlaratussyaikh menegaskan adanya prinsip persatuan, yakni persatuan kebangsaan, persatuan keagamaan, dan persatuan untuk bermadzhab (Nizar, 2017). Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa KH. Hasyim dalam Muqaddimah Qanun mengkonsepsikan adanya teologi sosial dan kebangsaan yang bermuara pada persatuan seluruh umat Islam, khususnya kalangan NU. Hadlartussyaikh dalam Muqaddimah Qanun mengatakan :
“Sebab, satu kaum apabila hati mereka berselisih dan hawa nafsu mereka mempermainkan mereka, maka mereka tidak akan melihat sesuatu tempatpun bagi kemaslahatan bersama. Mereka bukanlah bangsa yang bersatu tapi hanya individuindividu yag berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan-keinginan mereka saling selisih. Engkau mengira mereka menjadi satu, padahal hati mereka bercerai berai.”(Albani, 2015).
Adapun dalam Ihya’ ‘Amal al-Fudlala’, Hadlaratussyaikh yang konteksnya pada saat Muktamar yang dihadiri para ulama, selanjutnya mulai memperlihatkan tiga poin utama yang menjadi evalusi bagi para ulama dalam menegakkan agama Islam, yakni : 1) al-Jihah ar-Ruh ad-Diniyyah/Segi jiwa Agama, 2) al-Jihah al-Ijtima’iyyah/Segi sosial-kemasyarakatan, dan 3) al-jihah as-Siyasiyyah/Segi politik. Ketiganya dipandang oleh KH.Hasyim Asy’ari mengalami kemerosotan dan melemah, lalu beliau memberikan contohnya seperti : lembaga agama, madrasah yang semakin sepi, tersebarnya ajaran Historis-Materialisme, dan bahkan dicatutkannya nama “Islam” sebagai kendaraan politik (Hadziq, 2013). Dalam hal ini, Hadlartussyaikh menujukkan bahwa ulama memiliki tanggung jawab sosial-politik soal atas kondisi merosotnya “Djiwa Agama” umat atau masyakarat Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa teologi sosial-kebangsaan dalam Ihya ‘Amal al-Fudlala’ merupakan suatu teologi yang berdimensi kritik sosial-politik dengan kacamata teologi tentunya. KH. Hasyim Asya’ri bahkan mengatakan dalam Ihya’ ‘Amal al-Fudlala’ :
“Sesungguhnja apabila amanat Tuhan jang telah diletakkan di pundak saudara2 sekalian sampai disia2kan, maka umat atau masjarakat akan kehilangan kepertjajaan mereka terhdap saudara2. Sebagaimana lenjapnja kepertjajaan mereka terhadap orang lain (jang dulu mereka pertjajai tetapi malah mengetjewakan mereka), dikarenakan sekarang mereka tidak mendjumpai orang jang bisa menundjukkan mereka, tidak, tidak mendjumpai penanggung sjawab jang mampu menanggung kebutuhan mereka, tidak ada pelindung jang mampu melindungi mereka, sehinga djadilah keadaan mereka seperti orang sekarat jang sedang sekarat jang sedang meratap dimana kematian mengatjam dari segala penjuru.”(Hadziq, 2013).
Penulis menyimpulkan dari kedua teks tersebut bahwa Muqaddimah Qanun Asasi, baik itu Muqaddimah Qanun maupun Ihya’ ‘Amal al-Fudlala’ menunjukkan konsep teologi sosialkebangsaan dari Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang bersifat internal, karena ditunjukkan pada kalangan awam Islam dan ulama’ NU. Adapun Resolusi Jihad menujukkan teologi sosial-kebangsaan dari KH. Hasyim Asy’ari yang bersifat eksternal karena kondisi awal kemerdekaan Indonesia dan berimplikasi pada perjuangan bangsa Indonsia melawan penjajah. Sisi internal dan eksternal dalam Resolusi Jihad dan Muqaddimah Qanun Asasi menjadi suatu kesatuan dan keutuhan dari konsep teologi sosial-kebangsaan dari Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari itu sendiri.
Kritik-Kritik Teologis KH. Hasyim Asy’ari
Apabila Hadlaratussyaikh sebelumnya dalam Ihya’ ‘Amal al-Fudlala’ menujukkan adanya kritik sosial yang berdimensi teologis, maka kritik-kritik teologis yang lain tampak dalam beberapa karya-karya tulis beliau. KH. Hasyim Asy’ari dalam karya-karyanya secara konsisten bersikap defensif untuk melindungi akidah dan pratik keagamaan umat Islam sesuai dengan Al-Qur’an, hadits, dan hasil ijitihad para ulama salaf dalam mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah atau Aswaja (Rofiq, 2017). Dalam kitabnya yang berjudul Risalah Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah, Hadlaratusyaikh mengatakan bahwa mayoritas umat Islam Jawa menganut paham dan mazhab Aswaja, namun kemudian muncul beragam kelompok yang berseberangan dan berselisih paham (Asy’ari, 2016). Beliau lantas menyebutkan kelompok-kelompok tersebut dan kemudian menujukkan kritik teologi terhadap mereka.
Kritik teologis Hadlratussyaikh dalam kitab tersebut pertama kali ditunjukkan kepada kelompok yang mengikuti pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida serta mengadopsi pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Qayyim. KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa mereka mengharamkan, seperti contoh, ziarah ke makam Rasulullah Saw., sehingga kelompok ini berbeda dan berseberangan dengan kaum muslimin lainnya (Asy’ari, 2016). Hadlaratussyaikh lantas mengutip pandangan para ulama lain tentang kelompok ini, salah satunya Qadli Fudhail bin ‘Iyadl dalam kitabnya Asy-Syifa :
قال القاضي عياض يف الشفا : وكان معظم فسادهم على الدين وقد يدخل في أمور الدنيا بما يلقون بين المسلمين من العداوة الدينية اليت تسري لدنياهم
“Qadli ‘Iyadl mengatakan dalam kitab Asy-Syifa : “Sebagian besar aksi mereka merusak agama, tetapi terkadang juga merusak urusan dunia. Sebab, mereka suka menebar benih-benih permusuhan di antara sesama muslim dalam urusan agama yang berimbas kepada urusan dunia mereka”(Asy’ari, 2016).
Kritik teologis dari Hadlratussyaikh tersebut secara tidak langsung mengarah kepada kelompok modernis yang mengadopsi pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan kelompok Wahabi. KH. Hasyim Asy’ari sebenarnya melihat pemikiran Abduh sangat bagus untuk kebangkitan Islam dan menegakkan Islam di atas kesewanang-wenangan kolonalisme, namun beliau keberatan dengan paham purfikasi Islam dan penghapusan praktek bermazhab dari Abduh. Adapun dalam kritik teologis Hadlratussyaikh atas Wahabi dengan keterangan kitabkitab beliau yang lain terdiri dalam beberapa poin, seperti : penggunanaan istilah bidah, doa bagi mayit tidak sampai, syafaat tidak ada, sembrono dalam menafsiri ayat Alquran, doktrin kembali ke Alquran dan Sunnah, serta larangan bermadzhab dan taqlid (Rosyidin, 2021). Kritik teologis ini mempertegas posisi beliau yang cenderung pada Islam tradisional, sehingga berseberangan dengan pemikiran Islam modernis (Fadli & Sudrajat, 2020).
Kritik teologis dalam Risalah Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah kemudian dilanjutkan oleh Hadlratussyaikh pada kelompok-kelompok lain, seperti : Syiah Rafidlah yang mencaci dan membeci para sahabat Nabi Saw, kelompok Ibahiyyun (permisif) yang membebasakan diri dari perintah dan larangan Allah, orang-orang yang meyakini hulul dan tanasukh, hingga penganut tasawuf ekstrem yang mengaku menerima wahyu. Beliau bahkan menyebut kelompok-kelompok tersebut dengan sebutan ahli bid’ah, zindiq, hingga kufur (Asy’ari, 2016) Namun patut dipahami bahwa kritik-kritik tersebut merupakan bentuk keniscayaan sikap Hadlratussyiakh dalam rangka mempertahankan akidah umat Islam, khususnya teologi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Sebagaimana yang telah dipahami bahwa kelompok Aswaja adalah mereka yang mengikuti empat imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal) dalam hal fikih, lalu Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi dalam teologi atau akidah, hingga Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan Imam Abu Hasan Asy-Syadzili dari segi tasawuf (Hasan, 2022).
Dalam hal ini, penulis menyimpulkan bahwa teologi sosial-kebangsaan KH. Hasyim Asy’ari memiliki konstruksi atau pijakan kuat pada teologi Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini diperkuat dengan adanya kritik-kritik teologis yang diarahkan kepada fenomena sosial kemasyarakatan di Indonsia, khususnya di Jawa yang keluar dari jalur atau koridor akidah yang disepakati para ulama. Namun sekalipun Hadlratussyaikh mengkritik secara teologis kelompokkelompok tersebut, beliau tetap menujukkan visi Islam yang mengedepankan persatuan dan menghidari perpecahan serta perselisihan. Dalam kitabnya Al-Mawa’izh, beliau mengatakan :
“Wahai para ulama yang fanatik pada sebagian mazhab atau pendapat, tinggalkanlah kefanatikan kalian semua dalam masalah parsial yang para ulama mempunyai pendapat tentangnya : ada yang mengatakan, “setiap mujtahid itu benar” dan ada yang mengatakan, “Yang benar hanya satu, sedangkan yang salah masih diberi pahala”, Tinggalkanlah fanatisme dan jurang yang sudah rusak ini. Bersungguh-sungguhlah kalian dalam membela agama Islam. Bersungguh-sungguhlah dalam memerangi orang-orang yang mencela Al-Qur’an, sifat-sifat Allah Yang Maha Rahman, orangorang mengaku mempunyai ilmu batil dan akidah yang sudah rusak. Jihad dalam semua itu hukumnya wajib, maka hendaklah kalian menyibukkan diri dengan masalah tersebut.”(Asy’ari, 2019).
Analisis atas Teologi Sosial-Kebangsaan KH. Hasyim Asy’ari
Jika meninjau kembali Resolusi Jihad dan Muqaddmah Qanun Asasi maka sebagaimana tampak bahwa Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari memiliki konsep teologi sosial-kebangsaan atau teologi Islam yang memiliki visi sosial-kemanusiaan dan politikkebangsaan. Adapun kritik teologis dalam beberapa karya Hadlratussyaikh menguatkan teologi sosial-kebangsaan dalam melihat fenomena sosial umat Islam di Indonesia. Inti dasar dari teologi sosial-kebangsaan dari Hadlratussyaikh memiliki pijakan Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga menegaskan dasar teologi Ahlussunnah wal Jama’ah itu sendiri dalam pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.
Dalam Risalah Tauhidiyyah, Hadratussyaikh menegaskan bahwa akidah atau teologi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yakni “Meyakini dengan benar dan kuat bahwa Allah SWT. adalah Tuhan Yang Maha Esa, Tidak ada yang menyerupai dan menolong-Nya, Tiada memiliki pasangan maupun anak, Wajib al-Wujud dari segi Dzat-Nya, tanpa adanya permulaan bagi Ada-Nya dan akhir bagi Keabadian-Nya. Dia tak butuh kepada selain-Nya, dan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya”(Hadziq, 2013). Adapun pemikiran kalam dari KH. Hasyim Asy’ari tentang tauhid dalam Risalah at-Tauhidiyyah dan al-Qaid fi Bayan Ma Yajib Min alQaid, dalam kitab ini Hadlratussyaikh mengutip Imam Qusyairi yang tentang tiga tingkat pengetahuan manusia tentang Tuhan : yakni orang awama, para ulama, dan para sufi yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan atau ma’rifatullah (Sholikah & Mumtahanah, 2021). Sehingga dalam hal ini, pemahaman tauhid atau keesaan Tuhan yang memiliki hierarki dan tingkat berdasarkan kemampuan masing-masing individu selanjutnya dapat membawa kepada sikap sosial dan kebangsaan yang lebih luas sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Hadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sebelumnya.
Penegasan atas teologi Aswaja dari KH. Hasyim Asy’ari dapat dilacak dari pengaruh teologi Asy’ariyyah di wilayah Indonesia. Mohd Farid Mohd Shahran dalam artikelnya berjudul “Kerangka Teologi Islam di Alam Melayu: Kekuatan dan Cabaran” mengatakan bahwa aliran teologi Islam yang dominan di wilayah Melayu hingga Indonesia adalah Ahlussunnah wal Jama’ah dari aliran Asya’riyyah yang memiliki pendekatan “jalan tengah” antara dalil akal dengan wahyu (Muhibin Zuhri & Eka Wahyudi, 2022). Selanjutnya geneaologi teologi Asy’ariyyah dan Maturidiyyah tersebut mengakar kuat dalam pemikiran kalam Hadlratussyaikh dan kalangan NU (Qa’im, 2014).
Corak keilmuan kalam atau teologi Islam memang seringkali dipandang oleh sarjana kontemporer bersifat apologetik, dogmatik, skriptural, tekstual dan justifikatif, sehingga karakter semacam itu perlu dikritisi untuk masa sekarang ini (Iqbal, 2015). Namun apabila corak tersebut disandarkan kepada pemikiran kalam Hadlratassyaikh maka hal tersebut barangkali tepat, namun perlu penjelasan lebih lanjut. KH. Hasyim Asy’ariyyah memandang teologi Ahlussunnah wal Jama’ah atau Aswaja sebagai golongan yang selamat atau firqah an-najiyyah dan mazhab mayoritas (sawad al-a’zham) serta kewajiban untuk mengikutinya dalam pemikiran kalamnya, namun hal itu tersebut menujukan sikap moderat atau tawassuth dan i’tidal dalam menghindari sikap ekstrimis dan fanatik buta (Rofiq, 2017).
Lebih jauh lagi, apabila meninjau pemikiran kalam KH. Hasyaim Asya’ri sebagai teologi sosial-kebangsaan dalam Resolusi Jihad, Muqaddimah Qanun Asasi yang mengedepankan persatuan umat Islam dan menghadari perselisihan serta sikap anti kolonial, maka teologi Aswaja yang digaungkan oleh Hadlratusyaikh tidak hanya bersifat apologis dan dogmatik saja, namun pemikiran kalam beliau tersebut memiliki visi kemanusiaan sekaligus kebangsaan yang mengarah kepada persatuan umat Islam, khususnya di Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa teologi sosial-kebangsaan dari Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa teologi Ahlusunnah wal Jama’ah atau Aswaja dalam konteks sosialkeagamaan dan politik-kebangsaan dapat menjadi bangunan teologis yang relevan digunakan untuk menjawab problem kebangsaan kontemporer saat ini, khususnya dalam hal persatuan dalam bingkai kebangsaan dan visi kemanusiaan berbasis pada keagamaan.
Penutup
Penulis menyimpulkan bahwa pemikiran kalam Hadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari merupakan suatu konsep teologi sosial-kebangsaan dalam Islam. Resolusi Jihad dan Muqadimah Qanun menujukkan teologi sosial-kebangsaan yang memiliki sisi internal dan eksternal. Resolusi Jihad berkonotasi pada seruan teologis untuk bersatu dalam jihad melawan penjajah kolonial bersifat eksternal, sedangkan sifat internal pada Muqaddimah Qanun Asasi yang merupakan upaya ijtihad beliau dalam membangun teologi Ahlussunnah wal Jam’ah di kalangan NU sendiri dan penekanan pada persatuan umat Islam di Indonesia. Adapun kritik teologis Hadlratussyaikh dalam beberapa karya-karya menujukkan teologi sosial-kebangsaan beliau yang bersifat protektif dan defensif atas teologi Ahlussunnah wal Jam’ah yang pada dasarnya menujukkan konteks fenomena sosial-keagamaan pada zaman itu untuk direspon dalam perspektif teologi Islam.
Beliau secara tidak langsung menunjukkan bahwa teologi Ahlusunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial-keagamaan dan politik-kebangsaan dapat menjadi bangunan teologis yang relevan digunakan untuk menjawab problem kebangsaan kontemporer saat ini, terutama dalam hal persatuan kebangsaan dan sosial-kemasyarakatan. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari merupakan teolog Aswaja yang mengedepankan visi sosial-kebangsaan dalam memahami fenomena zamannya, bahkan melampauinya.
Daftar Pustaka
Albani, M. A. (2015). KAMUS NU (NAHDLATUL ’ULAMA).
Asy’ari, KH. M. H. (2016). Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah fi Hadisil Mauta wa Asyrothis Saa’ah wa Bayani Mafhumis Sunnah wal Bid’ah. Pustaka Tebuireng.
Asy’ari, KH. M. H. (2019). At-Tibyan fin Nahyi ’an Muqatha’atil Arham wa Aqarib wal Ikhwan dan Al-Mawa’izh. Pustaka Tebuireng.
Baso, A., Sunyoto, A., Zionis, R. M., & Museum Kebangkitan Nasional (Indonesia) (Eds.). (2017). K.H. Hasyim Asy’ari, pengabdian seorang kyai untuk negeri. Museum Kebangkitan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia.
Fadeli, S., & Subhan, M. (2007). Antologi NU: Sejarah, istilah, amaliah, uswah (Cet. 1). Khalista : Lajnah Taʼlif Wan Nasyr Jawa Timur.
Fadhli, M. R., & Hidayat, B. (2018). KH. HASYIM ASY’ARI DAN RESOLUSI JIHAD DALAM USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1945. 2, 13.
Fadli, M. R., & Sudrajat, A. (2020). KEISLAMAN DAN KEBANGSAAN: TELAAH PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI. Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 18(1), 109. https://doi.org/10.18592/khazanah.v18i1.3433
Hadziq, M. I. (Ed.). (2013). Irsyad as-Sari: Kumpulan Kitab Karya Hadlratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Pustaka Warisan Islam.
Hanafi, H. (2003). Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama. Paramadina.
Hasan, M. (2022). Al-Wasaţiyah al-Intiqâiyah al-Taqlîdiyah: Dirâsat Haula Harakâti wa Afkâri Kiâi Hâjî Hâsyim Asy’arî fî Fiqh al-Siyâsah al-Ijtimâ’iyah bi Indûnîsiâ. AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 16(2), 595–623. https://doi.org/10.19105/allhkam.v16i2.5309
Iqbal, I. (2015). Logika Keilmuan Kalam: Tinjauan Filsafat Ilmu. ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 16(2), 187. https://doi.org/10.14421/esensia.v16i2.997
Muhaemin. (2013). Teologi Aswaja Nahdhatul Ulama di Era Modern: Studi atas Pemikiran Kyai Hasyim Asy’ari. Jurnal Diskursus Islam, 01(02).
Muhibin Zuhri, A., & Eka Wahyudi, W. (2022). Artikulasi Teologi Sunni di Indonesia: Sejarah, Ekspresi dan Gerakannya. Journal of Islamic Civilization, 3(2), 122–134. https://doi.org/10.33086/jic.v3i2.2593
Muzammil, S. (2008). Al-Kutub Al-Mu’tabarah: Kajian atas Sumber Rujukan dalam Beristinbat Menurut NU, Muhammadiyah, dan Persis. Jurnal Asy-Syir’ah, 42(01).
Nizar, M. C. (2017). Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Persatuan. Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 1(1), 63. https://doi.org/10.14710/endogami.1.1.63-74
Qa’im, S. (2014). Genealogi Teologi Nahdlatul Ulama. ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, 6(2), 361. https://doi.org/10.15642/islamica.2012.6.2.361-374
Rifai, M. (2009). K.H. Hasyim Asy’ari: Biografi singkat, 1871-1947 (Cet. 1). Garasi : Didistribusikan oleh ar-Ruzz Media.
Rofiq, A. C. (2017). ARGUMENTASI HASYIM ASY’ARI DALAM PENETAPAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH SEBAGAI TEOLOGI NAHDLATUL ULAMA. Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 5(1), 21–48. https://doi.org/10.21274/kontem.2017.5.1.21-48
Rosyidin, M. A. (2021). NILAI-NILAI KEASWAJAAN DALAM KRITIK KH. M. HASYIM ASY’ARI TERHADAP PEMIKIRAN WAHABI. Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, 7(2), 206–225. https://doi.org/10.31943/jurnal_risalah.v7i2.185
Saputra, I. (2019). RESOLUSI JIHAD: NASIONALISME KAUM SANTRI MENUJU INDONESIA MERDEKA. JURNAL ISLAM NUSANTARA, 3(1), 205. https://doi.org/10.33852/jurnalin.v3i1.128
Sholihuddin, Muh., & Jazil, S. (2021). Kontruksi Fikih Kebangsaan Nahdlatul Ulama (Kajian terhadap Peran NU Perspektif Fiqh Siyasah). Al-Qanun : Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, 24(01).
Sholikah, S., & Mumtahanah, N. (2021). KONSTRIBUSI KEBANGSAAN KIAI HASYIM ASY’ARI: Membangun Relasi Harmonis Islam dan Indonesia. Akademika, 15(1). https://doi.org/10.30736/adk.v15i1.515
Sukadri, H. (1985). Kiai Haji Hasyim Asy’ari Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yusrianto. (2014). Pemikiran Politik dan Perjuangan KH. M. Hasyim Asya’ari Melawan Kolonialisme. IN RIGHT : Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, 03(02).
.
*Penulis adalah Juara 1 lomba Sayembara Menulis: Menduniakan NU dan Pemikiran Ahlus Sunnah wal Jamaah an-Nahdliyyah dalam rangka Satu Abad NU yang diadakan oleh PCINU MAROKO.
.
Editor: Wafal Hana