Isra’ Mi’raj dan Sidratul Muntaha (Sareng-Sareng Sinau Tasawuf/ Sufi)

Dalam persoalan Isra’ Mi’raj, ada dua hal yang terkait satu sama lain; yakni yang memperjalankan (Tuhan) yang diperjalankan (Rasulullah saw.)

Nabi Muhammad saw. diperjalankan dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa, dinaikan dari Masjid al-Aqsa ke Sidratul Muntaha, turun dari Sidratul Muntaha ke Masjid al-Aqsha dan kembali lagi ke Masjid al-Haram.

Maulana Jalaluddin Rumi pernah mengatakan ‘’Jika dirimu ingin sampai ke langit tidak usah menggunakan tangga, tidak usah memakai apollo, cukup dengan kepala, tundukan kepala, letakan kepala di bawah kaki nanti akan bisa naik ke langit”.

Letakan kepala kita di bawah kaki kita [jangan adigung/jangan takabur], sebagaimana dikatakan oleh para Masyaikh Sufi, seperti Imam al-Ghazali, Imam al-Qusyairi, Imam ibn Atha illah “Kalau kepala kita sudah di diletakan di bawah kaki berarti kita sudah merasa rendah”, cirinya kita mau sujud, tapi sujudnya asli merendahkan diri kepada Allah Swt.”

Oleh-oleh Isra’ Mi’raj adalah sujud kepada Allah, untuk naik kepada Allah adalah salat, salatnya dan sujudnya yang betul, sujud dengan penuh kerendahan hati, hilangkan penyakit-penyakit batin di dalam hati, baca Minhaj al-Abidin (Pedoman Dasar bagi para-Ahli Ibadah) dan Ihya Ulumuddin.

Ketika kepala diletakan di bawah kaki, rasakan diri kita dan tanah itu sama, seolah-olah masuk ke dalam kuburan, nanti kita bisa terbang, kalau Syekh Mansuruddin terbang dari Makkah ke Banten dan Syekh Khalil Bangkalan dari Makkah ke Madura.

Inti dari Isra’ Mi’raj adalah menaikkan (meningkatkan) keimanan dan ketakwaan diri kita agar semakin dekat kepada Allah Swt., kalau Kanjeng Nabi Muhammad saw. langsung naik menghadap kepada Allah Swt., sedangkan kita bisa naik/meningkat derajatnya.

Misal kita bodoh wudhu, bodoh salat, mi’rajkan [naikkan] dengan mengaji, orang yang sedang ngaji berarti sedang mi’raj [menaikkan derajat], yang awalnya tidak terlalu bisa mambaca kitab, mi’rajkan [naikkan] dengan datang ke pondok pesantren, ngaji nahwu, balaghah dan lain sebagainya, mi’raj kita seperti itu, jika hal ini kita lakukan maka derajat kita semakin hari akan semakin naik. Amanatnya sedikit, mi’rajkan diri kita, kita ubah dari bodoh menjadi pintar, dari tidak tahu menjadi tahu, karena menurut Maulana Jalaluddin Rumi bahwa Isra’ adalah berkelana (perjalanan, penjelajahan) dan Mi’raj adalah merubah diri.

Puncak perjalanan atau Isr’a Mi’raj Kanjeng Nabi Muhammad saw. berada di Sidratul Muntaha. Pada hakikatnya tempat ini sebagai lambang kebijaksanaan tertinggi dan terakhir yang dapat dicapai seorang manusia pilihan, yang tidak teratasi lagi, karena tidak ada kebijaksanaan yang lebih tinggi dari itu. Di sini sebagai tempat persinggahan manusia yang hatinya lembut dan suci, tenang dan tawadhu’ sehingga bertemu dan bersatu dengan Sang Khaliq.

Nabi Muhammad saw. bersabda: “Jangan kamu lebih-lebihkan aku dengan Yunus bin Matta, karena mi’rajnya adalah ikan paus, sementara mi’rajku adalah naik ke langit dan menuju arasy.” Maksud Kanjeng Nabi saw. adalah kalau kamu menganggapku lebih utama dari Yunus, jangan mendasarkannya (membandingkan) karena ia berada di dalam perut ikan paus dan aku berada di atas langit. Allah tidak berada di atas maupun di bawah, di hadapan-Nya semuanya adalah satu. Berada di dalam perut ikan paus maupun berada di atas langit adalah sama bagi-Nya. Kemuliaan bagi mereka (para Nabi, Wali atau Sufi) tidak lain adalah ketika hati mereka bersama Allah, dan Allah tidak butuh berada di atas atau di bawah. Atas dan bawah adalah milik kita yang memiliki kepala dan kaki.

Bayazid Bistami: Aku merasa sudah sampai di Singgasana Allah (‘Arasy), aku berkata padanya: “Wahai Singgasana, kata orang, Allah bersemayam di atasmu.” Jawab Singgasana :”Wahai Bayazid, yang ku dengar Ia tinggal di dalam hati yang tawadhu’.”

Kata Ibnu Sina: “Singgasana Ilahi, tinggi dan tak bertepi sehingga tak dapat diraih oleh para pencari dan tak dapat dipahami sesuatu darinya, kecuali sebagian kecil saja dari manusia”. Tak ada seorang pun yang mampu sampai ke hakikat Dzat-Nya, tapi tak perlu putus asa, karena setiap orang sampai pada derajatnya sendiri.

Tulisan diambil dari Buku Fihi Ma Fihi dan berbagai macam sumber.

Kontributor: Bpk. Prabowo Wiratmoko Jati (Mustasyar PCINU Maroko)

Editor: Irma Jannah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *