Dosa untuk Desa Cahaya

Beberapa hari lagi lebaran dan Anwar ingin berbuat dosa. Pikiran seperti itulah yang membeban di benak Anwar. Tiap beberapa waktu keinginan itu mengutuk kepolosan dirinya.

Semua berawal dari dongeng Abah Fuad, penjual nasi kebuli samping pondok.Ia bercerita tentang Desa Cahaya; sebuah desa yang hanya ada saat bulan puasa, tersembunyi di balik bukit, butuh melintasi danau berbungkus kabut berjarak beberapa kilometer dari pondokan untuk menuju ke sana. Di dalam desa itu surga nikmat dunia nan durjana dapat diresap.

Bahlul,Tidak semua enak-enak terkunci selama ramadan,

bisik Abah Fuad seperti membalikkan apa yang diperolehnya di kelas. Dia memang gemar memanggil “bahlul” atau “majnun” para santri.

Tapi untuk menembus kabut di bukit itu, orang yang hendak memasukinya harus berpikir penuh dosa, bahkan melupakan segala hal baik dalam benaknya. Awalnya Anwar menganggapnya bualan. Bukan rahasia lagi saat bulan puasa Tuhan mengunci hal-hal itu, apalagi selalu ada laskar yang tak segan-segan membubarkan dan menggasak seluruh tempat pelanggar syairat yang buka di bulan ini.

Namun perihal omong kosong tapi berulang kali diulang tanpa disadari jadinya terasa benar adanya

Setiap waktu istirahat atau sebelum tarawih, Anwar mendengar bualan Abah Fuad. Cerita-cerita itu menjadi kebutuhan Anwar. Cerita itulah juga yang mengakbrabkan mereka. Setiap sebelum atau sesudah salat tarawih, Anwar yang haus dongeng  pasti meminta segelas kisah untuk ditegukkan melengkapi kenikmatan sepiring nasi kebuli dan segelas es teh manis.  Kisah menikmati judi, perempuan, atau arak menjadi oase bagi bocah yang menapaki kedewasaan. Anwar jadi penasaran dan khususnya ingin mencoba-coba barang sekali atau dua kali.

Kemarau itu mencapai puncaknya saat libur lebaran semakin dekat. Apalagi ritus yang banyak selama bulan puasa memuakkan Anwar. Ia menyatakan keinginannya menyambangi Desa Cahaya. Abah Fuad kemudian mengeluarkan sebuah uang koin perak berkarat dan antik.

“Di puncak bukit itu ada dermaga di tepi danau. Ketika pikiran ente sudah dipenuhi dosa, perahu Charon akan menjemput. Berikan ini dan dia akan membawa ente ke Desa Cahaya.”

“Di sana gratis kan Abah?” balas Anwar.

“Selama ente bisa terus berdosa. Eh, Majnun, ini rahasia kita berdua ya.”

Kalimat itulah yang mengendalikan keberaniannya untuk pertama kali bolos tarawih dan tadarusan, takzir akan kedua hal itu lebih mengerikan dari hantu apapun. Terbayang ketenangan Kiai Jakfar dengan hukuman membersihkan kamar mandi super busuk atau menyalin surah-surah berpuluh kali. Lebih baik berteman dengan setan daripada dengan Kiai kalau begitu, pikirnya. Dengan sepeda dan cahaya senter, Anwar melewati beberapa liukan jalan gelap dengan cemara dan pinus menjulang di kesemua sisinya. Ia masuk ke dalam gelap pepohonan tak beraspal, menelankan diri ke gugus cemara dan pinus.

Di ujung jalan dia menemukan sebuah dermaga. Danau terlelap tanpa riakan. Hanya kabut tebal menutup pandangan ke arah danau. Hawa dingin menambah kesan misterius danau ini. Kiai sering menakut-nakuti, tempat ini penghubung dunia entah berantah, tempat semua hal gaib tinggal. Tapi terkadang memang keberanian lahir di saat kebutuhan utama mendesak.

Ia memikirkan berbagai macam maksiat

menegak tuak, mencuri uang orang tuanya, bolos pelajaran, dan pelbagai hal lainnya. Namun perahu itu tidak muncul juga. Merasa tidak berhasil, Anwar kemudian memkirkan dosa yang paling ingin dipintanya pada Tuhan: menghajar Kiai Jakfar. Anwar memejamkan mata, muncul bayangan orang yang selalu memarahi dan menghukumnya. Dia kemudian mengepalkan kuat tangannya, di imajinasinya genggaman itu berlabuh di perut, pipi, dan wajah. Hingga Kiai Jakfar tersungkur.

Terdengar air beriak samar dan perlahan suara itu semakin jelas seperti dayung yang mengibas air. Anwar membuka mata, nampak bayangan menembus kabut dengan pelan. Seberkas pendar menerangi sesosok dengan jubah bertudung, mendayung perahu bertiang lentera ke dermaga. Ia merapatkan perahunya ke dermaga.

 “Bapak Charon, ya?”

Pedayung itu mengangguk lalu menengadahkan tangan. Anwar memberikan uang koin pemberian Abah Fuad. Ternyata ia memang Charon itu.

“Tidak boleh ada itu selama perjalanan.” Pedayung mengeluarkan suara desis berserak sembari menunjuk senter di tangan Anwar.

Anwar melempar senternya jauh

Perahu mulai bergerak memenuhi panggilan kabut tebal. Sebenarnya  ada ketakutan yang terbesit. Hanya sosok pedayung itu yang terlihat, sisanya hanya kepulan kabut menutupi jarak pandang. Lentera itu hanya memperlihatkan samar punggung berbungkus jubah . Tubuh yang mengayun dayung dengan sabar dan pelan. Dia penasaran dengan orang di balik jubah itu. Tapi dia berusaha tidak mau ambil pusing, selama tujuannya sampai.

Dia mengikuti kata Abah Fuad, semua dosa yang kelak dilakukannya dipenuhi di dalam pikirannya, hingga rasa ketakutannya tertutup akan itu. Hanya sosok pedayung itu yang terlihat, sisanya hanya kepulan kabut. Lentera menampilkan samar punggung berbungkus jubah. Tubuhnya terlihat ringkih, mengayun dayung pelan.

Waktu berlalu namun kabut menolak disibak. Ada rasa tak sabar yang membuncah.

“Masih lama ya?”

“Sebentar lagi.”

“Desa Cahaya kan?”

“Sebentar lagi.”

Tidak ada pilihan lain selain duduk dan bersabar

Tiba-tiba perahu bergoyang, seakan terkena ombak. Kemudian terdengar suara mengetuk-ngetuk perahu dari dalam air. Ketukan itu semakin banyak di beberapa sisi lantai perahu. Pelan namun cukup mengganggu Anwar

 “Apa ini, Pak?!” Anwar kaget.

“Sebentar lagi.”

Sepertinya Anwar tidak puas dengan jawaban “sebentar lagi”. Penasaran dengan bunyi yang berulang itu, Anwar kemudian melihat ke dalam air. Samar terlihat dan semakin lama semakin jelas sesuatu.

“Astagfirullah! Anwar terkejut. Dilihatnya lebih lanjut ratusan, mungkin juga ribuan tangan. Tangan yang terpenjara di dalam air. Berkerumun di sekitar perahu seperti menanti korban. Beberapa memukul-mukul perahu, beberapa lainnya berusaha menyambut Anwar tercemplung. Ia ketakutan dan terjatuh. Spontan mulutnya merapal doa dan ayat

Charon menghentikan kibasannya. Ia berbalik ke arah Anwar. Dia menunjuk Anwar. 

“Kau tidak pantas ke sana!” teriak Charon. Teriakan itu memekikkan telinga. Anwar menutup telinga.

Pukulan ke lantai perahu semakin keras dan banyak

Angin kencang menerjang, kapal mulai bergoyang terhempas gelombang, semakin lama semakin keras. Anwar sangat ketakutan dan memegang erat tiang berlentera. Ia melihat Charon berdiri kukuh. Kabut mulai menyibak. Bukan desa atau cahaya menanti di balik kabut, tapi ombak besar setinggi menara mesjid, menuju ke arah perahu, semakin tinggi dan besar. Ombak itu ingin memangsa para pelanggar aturan main. Anwar terbelalak dan ketakutan. Ia semakin deras melantunkan lafaz-lafaz. Nyaris tanpa harapan Anwar kemudian menutup mata.

Ombak keras menghantam. Pegangannya tak mampu menahan. Lepas. Tubuhnya terhempas. Ia bergerak tak tentu arah di dalam air yang meliar. Anwar melihat bayangan perahu dari seberkas cahaya, ia berusaha menggapai permukaan air. Untuk bernafas, untuk pulang. Namun tangan itu tak mengizinkannya.

Seluruh tubuh dan persendiannya dikuasai tangan-tangan yang mencengkram

Anwar berusaha berenang, tapi tangan itu semakin banyak mendekap. Tangan itu menariknya ke dasar danau. Dengan mata yang tak terhalang, ia melihat seberkas cahaya yang semakin samar. Gelap. 

Matanya terbuka. Ia merasakan tubuhnya lemas. Ini Desa Cahaya? tanya Anwar dalam hati. Tak ada jawaban. Tubuhnya terbaring di dipan.

“Kamu tidak mau lebaran, ya?” Suara itu berasal dari sampingnya.

Kiai Jakfar rupanya. Dan tempat itu adalah klinik pesantren, tempat dia dan kawan-kawannya biasa beralasan sakit bila ingin membolos.  

Ketakutan muncul dalam diri Anwar, apalagi tadi malam ia keluar dari pesantren sembunyi-sembunyi. Dirinya penuh penyesalan.

“Bikin apa kamu malam-malam di danau bukit sebelah?”

“Maaf Kiai” ucapnya tulus. Ia berharap kalimat itu menghentikan seluruh ancaman takzir dan rentetan pertanyaan padanya.

“Jangan memaksa menjadi batil kalau tidak sanggup. Kamu tahu manusia fitrahnya senantiasa baik, bukan? Saya juga gagal di situ.” Anwar menunduk malu seakan mengerti petuah Kiai Jakfar. Bibir Anwar terkunci. Berharap Kiai berwelas asih. “Jadi,” lanjut Kiai sembari tersenyum,”kamu berhasil ke Desa Cahaya?” Anwar terkejut.  ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *