Do’a Santri Sialan

“Do’a adalah senjata paling ampuh bagi kaum muslim” kata Ustaz Syarif dalam kultumnya, setelah salat dzuhur. Kultum ini biasa diadakan oleh pengurus OSIS untuk melatih mental dan bakat-bakat para santri dalam meyampaikan dakwah Islamiah ketika tamat dari pesantren. Meskipun demikian, tidak sedikit santri yang bandelnya bukan main, ketika namanya terpampang di mading ma’had untuk menyampaikan kultum, dia juga punya seribu jurus untuk melarikan diri, atau paling tidak pura-pura telat ke masjid dengan alasan yang sedikit masuk akal. Namanya juga santri, tidak afdlol kalau tidak pernah melakukan hal demikian.

“Jadi perbanyaklah berdo’a, karena Allah Swt pasti menerima do’a seorang hamba” Lanjut ceramah Ustaz Syarif sambil matanya melotot ke depan pintu masjid yang di sana berdiri tiga ayam jantan kampus yang telat salat dzuhur berjamaah. Kemudian ustaz mengakhiri pidatonya dengan muka sangarnya, menyimpan dendam kepada tiga santri tersebut.

Ustadz syarif juga terkenal dengan julukan “macan kampus”. Walau demikian,tiga ayam jantan dari timur ini lebih licik. Dimana ada celah, mereka akan menembusnya.

Bulla, Itho dan Alan, mereka adalah santri-santri yang sudah terkenal di semua tingakatan. Satu pesantren mengenalnya. Seolah-olah tidak sah gelar seorang santri yang tidak mengenal mereka bertiga. Bahkan setiap diadakan rapat guru dan pengurus pesantren, nama mereka tidak pernah alpa untuk diperbincangkan, sehangat kopi susu yang disuguhkan dalam rapat.

Seluruh guru kapok melihat tingkah mereka bertiga. Para guru dilema untuk mengeluarkan ketiga santri tersebut dengan segudang prestasi yang mereka miliki. Jika Ustaz Syarif mengumumkan santri-santri berprestasi di setiap momen kenaikan kelas, nama mereka tidak luput dari prestasi. Namun jika diumumkan nama-nama para santri yang melanggar, mereka juga selalu mendapat peringkat teratas mengisi kursi pertama hingga ketiga.

Tiga ayam jantan ini juga santri kesayangan gurutta (sebutan untuk kiai di Sulawesi). Gurutta sangat menyayangi mereka karena kecerdasan mereka dalam melahap kitab-kitab klasik utamanya dalam masalah Nahwu dan Sharaf. Tapi gurutta juga tahu kenakalan mereka yang membuat para pembina pesantren geleng-geleng kepala sampai bosan menghukum mereka.

Gurutta merasa heran, selama seperempat abad pesantren ini berdiri, baru kali ini ada santri yang kenakalan dan kecerdasannya sama rata. Ketika diadakan rapat dewan pengurus pondok, gurutta juga adalah orang pertama yang akan menolak jika ketiga santri ini dikeluarkan dari pesantren. Mungkin saja seorang kiai punya insting dan karomah; dalam melihat masa depan dari ketiga santri yang dijuluki ayam jantan dari timur ini.

Herannya, bagaimana mungkin mereka bisa sepintar itu sementara dalam lingkungan pesantren mereka sering bolos, terlambat, manjat pagar. Dan yang lebih parah lagi, mereka adalah pemain game playstation akut stadium akhir, padahal permainan ini notabenya haram versi pesantren.

Selain itu mereka bertiga pencetus “casing HP” ala pesantren. Yang pada akhirnya ditangkap oleh Ustaz Syarif. Seringkali mereka mengajarkan kepada santri lain membuat casing HP dengan melubang pertengahan kitab; Riadlussholihin atau Tanwirul Qulub atau Kamus Bahasa Arab atau buku-buku lain yang memiliki diameter tebal dan bisa dijadikan tempat menyembunyikan HP. Tentunya ide mereka akan membuat para ustaz melihat mereka seperti santri yang alim, kemana-mana bawah buku.

Tidak berhenti dikenalan-kenakalan tadi, mereka berani membawa majalah dewasa ke lingkungan pesantren yang membuat para santri lain tertular kenakalan mereka. Biasanya mereka akan memajang majalah dewasa itu tembok-tembok kamar atau di balik pintu lemari kayu masing-masing. Walaupun beberapa kali ada yang memergoki dan melaporkan kelakuan mereka ke Ustaz Syarif, tetap saja mereka memampang muka tak berdosa dan tetap mengulangi perbuatannya.

Setelah ada kejadian-kejadian yang tidak bisa ditolerir lagi, akhirnya para guru sepakat memanggil para orang tua mereka untuk memberitahukan sebegitu parahnya kenakalan anak-anak mereka. Tapi yang terjadi malah para ustadz yang belajar tentang bagaimana mendidik anak.

“Pak, sebenarnya do’a apa yang bapak baca ketika anak-anak ini dikandung oleh ibu mereka? Kenapa mereka hobinya bolos tapi rankingnya juga lolos” Tanya gurutta kepada para orang tua yang didampingi oleh para pengajar lainnya.

“Sebenarnya saya tidak pandai berdoa, saya ini hanya pedagang di pasar. Hanya saja kalau ada ulama yang berkunjung ke desa, saya sering minta air barokah untuk diminum anak saya. Berkat doa dan barokah itulah yang kira-kira membuat si Alan itu mudah menangkap pelajaran” Jawab Ayah Alan, yang ternyata ayah Bulla dan Itho juga melakukan hal demikian. “Oooooh……” Sahut para ustaz yang hadir dengan serentak keheranan.

Akhirnya tak ada laporan kenakalan kepada para orang tiga ayam jantan ini, karena suasana rapat berubah menjadi suasana kelas, belajar mengajar.

***

Selain menguasai kitab-kitab klasik, mereka juga sering membaca kitab-kitab putih. Waktu itu pesantren masih mengharamkan membacanya, mungkin juga sampai saat ini. Mereka disuguhi bacaan tentang Karl max, Michel Faucoult, Nietszche dan kawan-kawannya tentang pemikiran barat yang berbanding terbalik dengan dunia pesantren yang mereka jalani. Seringkali mereka mengganti sampul kitab putih dengan sampul kitab kuning agar tidak ketahuan ustaz.

Akbar, salah satu alumni pesantren yang kini menjadi aktivis kampus dengan penampilan jauh berbeda dengan semasa ia belajar di pesantren. Akbar inilah yang memperkenalkan tiga ayam jantan pada kitab-kitab putih. Pertemuan mereka diawali ketika bolos pelajaran bahasa inggris yang membosankan. Mereka lebih memilih nongkrong di warung kopi daripada harus mempelajari bahasa asing yang sangat aneh bagi mereka karena tulisan dan cara melafalkannya jauh berbeda. Seperti “orang munafik” katanya, lain di lidah lain di hati.

Saat itu Akbar mendapati mereka yang sedang bolos kelas. Ia bisa mengetahui mereka adalah anak pesantren yang sedang kabur dengan logo pesantren yang melekat di seragam dan kopiah khas ala santri yang mereka kenakan. Disinilah awal pertemuan mereka dengan Akbar.

“Woi! Kalian ini masih ingusan, sudah pandai bolos!” Kata Akbar memasang muka sangar dengan rambut gondrong sampai bahu khas aktivis mahasiswa. “Saya dulu waktu mondok di pesantren tidak pernah bolos kelas seperti kalian. Kare kalau bolos, bagaimana mau dapat barokah dari gurutta?” Lanjut akbar dengan nada yang lebih tinggi.

“Maaf bang” Jawab mereka dengan kompak sambil menundukkan kepala karena ketakutan dan merasa bersalah. Kemudian mereka menjelaskan alasan kenapa bisa sampai bolos kelas, jenuh belajar “bahasa munafik”.

“Hahaha… kalau begitu kita barter, saya tutup mulut tentang kaburnya kalian ke warkop, tapi kalian harus membaca dalam seminggu, buku keren ini “Sejarah Seksualitas” oleh Michel Faucoult atau kalian ikut saya ke asrama?” kata Akbar sambil menunjukkan buku yang bersampul warna biru langit.

“Hah?! Seminggu??” Ketiganya sontak terkaget. Dan akhirnya menerima tawaran tersebut dari pada harus pulang dengan hukuman yang mereka sudah tahu; membersihkan kamar mandi pondok.

Tiga ayam jantan memang anak-anak cerdas, dalam tiga hari mereka melahap habis buku tersebut dan membuat resensi buku itu. Bahkan mereka merasa bahwa inilah kajian yang mereka cari-cari. Mereka jenuh dengan kitab-kitab klasik yang menurut mereka telah mengutuk mereka dalam lingkaran pesantren yang kolot dan terkungkung akan tradisi.

Begitulah awal perkenalannya dengan kitab-kitab putih yang pada akhirnya menjadi bacaan favorit ketiganya. Sesekali, mereka melakukan diskusi bersama Akbar di warkop tentang isi kitab-kitab putih yang telah mereka baca.

***

“Kalian bertiga terlambat lagi! Cepat salat dan langsung datang ke ruanganku!” Bentak Ustaz Syarif dengan mata memerah penuh emosi. “I.. i.. iya taz” Jawab mereka sambil terbata-bata ketakutan melihat mata merah dan rotan di tangan Ustaz Syarif yang sudah melayang di udara siap mendarat di punggung kurus ketiganya.

Mereka segera salat, salat seperti waliyullah dengan gerakan lambat dan sangat khusyu’. Entahlah apa yang mereka rencanakan ketika menghadap Ustaz Syarif nanti.

Lima belas menit kemudian, mereka pergi ke ruangan Ustaz Syarif; yang kata para santri adalah neraka dunia. Dengan berjalan sambil dorong-dorongan karena ketakutan menghadap ustaz duluan, baju koko putih sudah basah dengan keringat yang terus mengucur dari tubuh mereka yang tidak berhenti gemetaran. Saat sudah sampai di ambang pintu, “Cepat kalian masuk!” Ustaz Syarif lansung memanggil dengan. Mereka terkaget dan segera masuk ke neraka dunia itu.

Ketiganya dihukum berdiri di hadapan ustaz dengan mengangkat satu kaki dan memegang telinga kanan dengan tangan kiri, tangan kiri memegang telinga kanan.

“Itho, coba ulang apa yang ustadz sampaikan pada kultum di masjid beberapa hari lalu”Seru ustaz dengan nada yang mulai terdengar tenang.

Itho mengulangi setiap ucapan Ustaz Syarif dengan nada dan cara bicara yang sama persis seperti saat beliau menuturkannya di masjid. Bahkan titik komanya pun tidak ketinggalan. Ini salah satu kelebihan Itho mampu meniru gaya orang lain. Ustaz Syarif seketika melongo melihat kehebatan Itho, beliau hanya terbahak-bahak menyaksikannya sampai meminta Itho mengulanginya tiga kali.

“Kamu Alan, apa permintaan kamu dalam do’a yang biasa kamu panjatkan setiap hari?” Tanya beliau yang bicanya masih diselipi sisa tawa karena kelakuan Itho.

“Sebenarnya saya mau jujur ustaz. Do’a ini saya baca hampir setiap saat, mengalahkan do’a saya untuk orang tua, taz. Saya mencintai seorang wanita, namanya Tri Lestari dipanggil Tri, santriwati yang pintar dan cantik itu, taz. Tiap saya memikirkannya pasti saya berdo’a semoga dia adalah jodoh saya. Tapi setelah setahun saya mengejarnya ternyata dia pacaran dengan ketua OSIS” Jawab Alan dengan wajah kisut.

“Dulu saya pernah menulis kaligrafi, saya menuliskan namanya berdampingan dengan nama saya, lalu di bagian bawah saya tulis “TriAlan” dengan tanda love samar-samar setelahnya. Tapi ketika saya tahu dia pacaran dengan ketua OSIS, saya ganti tulisan TriAlan menjadi SanTri siAlan sebelum harus menanggung malu nantinya” Lanjut Alan menjelaskan. Sementara Ustaz Syarif, Itho dan Bulla tertawa terbahak-bahak sambil mengangguk-anggukkan kepala tanda memahami maksud tulisan misterius yang selama ini mereka belum ketahui maknanya.

“Hei, jangan tertawa!” Bentak ustaz, “Kau Bulla, apa doa yang kamu baca setiap hari?” Tanya ustaz dengan meneteskan air mata karena telalu banyak tertawa setelah mendengar kisah Si Alan; Ketua Geng mereka.

“Ada doa satu do’a yang menurut saya penting untuk saya baca setiap saat ustaz, ini menyangkut hobi saya dalam sepak bola. Setelah salat, saya selalu berdoa agar semua malam-malam di pesantren berubah menjadi malam Jum’at. Supaya saya bisa menonton siaran lansung pertandingan PSM (Persatuan Sepak Bola Makassar) di Stadion Mattoanging, Makassar. Tidak perlu lagi bolos manjat pagar bersama mereka.”

“Oh… Ternyata kalian yang selalu lompat pagar dan ikut konvoi di jalan” Jawab Ustaz Syarif memotong pembicaraan Bulla. Ustaz yang tadinya kasihan dengan mereka, akhirnya marah mendengar pelanggaran baru yang selama ini tidak diketahui pelakunya.

“Telat ke masjid, lompat pagar dan ikut konvoi ugal-ugalan di jalan. Tiga kali lipat pelanggaran yang kalian lakukan. Sekarang bersihkan satu pesantren sampai tiga hari ke depan!”

“Ii… yyy..iiya ustaz” Jawab ketiganya sambil mengangkat sarung selutut untuk bersiap kabur.

LTNU Maroko 20-22

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *