DISKUSI HARI SANTRI 2020: SANTRI DAN KITAB KUNING KUNCI MAJUNYA PERADABAN DAN SOLUSI PROBLEMATIKA ZAMAN

Pada tanggal 21 Oktober 2020, NU Maroko mengadakan Diskusi Hari Santri dengan tema utama “Santri dan Kitab Kuning : Kunci Majunya Peradaban dan Solusi Problematika Zaman”. Acara bertempat di sekretariat PPI Maroko yang terletak di ibu kota Maroko, Rabat. Dengan dihadiri puluhan santri perwakilan dari berbagai kota di Maroko dan beberapa tamu khusus; Mustasyar PCINU Maroko, Bpk. Prabowo Wiratmoko Jati dan juga manager P.T. Indomie cabang Maroko, Bpk. Siswoto.

Diskusi kali ini dipimpin langsung oleh Sdr. Sibli Nasrulloh, Lc. yang merupakan wakil katib syuriah PCINU Maroko dan dimoderatori oleh Sdr. Ahmad Ihabul Fathi. Acara dimulai pada pukul 19.00 waktu setempat dengan rangkaian acara; pembacaan shalawat dziba’iyah, shalawat nariyah bersama-sama kemudian dilanjutkan sesi diskusi sebagai rangkai acara utama.

Dokumentasi acara diskusi di sekretariat PPI Maroko, Rabat, Maroko.

HSN yang diperingati pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya itu telah terlaksana lima kali terhitung setelah ditetapkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2014. Peringatan ini sangat erat kaitannya dengan Resolusi Jihad yang digencarkan oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari  beserta para ulama dan para santri 75 tahun silam untuk ikut andil dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Momen tersebut merupakan satu dari sekian banyak bukti sejarah yang tak bisa terbantahkan bahwa ulama dan santri memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah Indonesia.

Menelisik lebih dalam tentang tema diskusi yang diusung kali ini adalah “Santri dan Kitab Kuning”. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang selalu berkaitan. Satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain (inheren). Kitab kuning adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kitab-kitab  turats karya ulama salaf yang dijadikan bahan dan media pembelajaran memahami ilmu agama di pondok-pondok pesantren melalui bimbingan para kiai yang memiliki sanad keilmuan yang jelas sehingga dapat mengantarkan santri memperoleh pemahaman yang tepat.

HSN merupakan hari besar kita sebagai santri untuk mengenang Resolusi Jihad tersebut. Meneladani perjuangan, meniru semangat serta mencontoh keikhlasan para ulama dalam membela dan turut memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara.

Pada kesempatan itu, pemateri mengawali diskusi dengan surat Ali Imron ayat 164:

لَقَدۡ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ اِذۡ بَعَثَ فِيۡهِمۡ رَسُوۡلًا مِّنۡ اَنۡفُسِهِمۡ يَتۡلُوۡا عَلَيۡهِمۡ اٰيٰتِهِ وَيُزَكِّيۡهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ الۡكِتٰبَ وَالۡحِكۡمَةَ  ۚ وَاِنۡ كَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ لَفِىۡ ضَلٰلٍ مُّبِيۡنٍ‏  ﴿3:164﴾

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”  Ali Imran :164

Pemateri ingin menyampaikan bahwa ada 3 ciri penting santri yang terkandung dalam ayat tersebut.T

  • Tilawah. Tak bisa dipungkiri bahwa di zaman sekarang banyak santri yang merasa terlalu disibukkan dengan urusan-urusannya sehingga jarang membaca Al-Qur’an atau bahkan lupa dan merasa tidak memiliki waktu untuk bertilawah. Tentu ini menjadi masalah. Karena salah satu ciri utama santri adalah mencintai Al-Qur’an dan senantiasa menjadikannya sebagai kawan. Maka sudah selayaknya momen ini menjadi refleksi bagi kita semuanya, seberapa dekatkah kita dengan Al-Qur’an.
  • Tazkiyah. Seorang santri tentu faham bahwa adab lebih utama daripada ilmu. Kita sebagai santri tidak hanya belajar ilmu agama namun juga harus memperhatikan akhlak yang menjadi kunci masuknya ilmu, senantiasa membersihkan dan menyucikan diri, berhati-hati dari melakukan dosa-dosa yang dapat mengotori hati. Karena ilmu merupakan cahaya Allah dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada mereka yang gemar bermaksiat.
  • Memahami Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kalam Allah sebagai petunjuk bagi manusia. Seorang santri sebagai penuntut ilmu syar’i sudah selayaknya berusaha memahami kalam ilahi, menggali ilmu-ilmu agama sebagai bekal kehidupan, berusaha mengamalkannya dan mengajarkannya kepada sesama.

Sebagai santri di luar negeri yang jauh dari keluarga tentu kita sangat butuh akan nasehat sebagai pengingat tujuan utama kita. “Untuk apa kita ke sini?” “Apa yang akan kita bawa kembali ke negeri tercinta nanti?” “Kontribusi apa yang akan dapat kita beri?”

“الناس ناموا عندما ماتوا انتبهوا” Jangan sampai kita disini terlena, terbawa arus dan menggoyahkan niat utama kita, menyia-nyiakan waktu terlewat begitu saja tanpa mengisinya dengan hal-hal yang bermakna hingga penyesalan datang pada akhirnya. Begitu kiranya pengantar yang disampaikan oleh pemateri.

Dewan Mustasyar PCINU Maroko yang turut hadir; Bpk. Prabowo juga menyampaikan bahwa menurut salah satu riwayat yang beliau baca, kata “Santri” berasal dari bahasa Sansekerta “Satri” yang berarti melek huruf, senang membaca, haus akan ilmu pengetahuan, sebagaimana wahyu pertama yang turun adalah “Iqra”. Bukan hanya membaca buku namun juga membaca diri sendiri dan juga lingkungan sekitar. Pak Siswoto juga turut menambahkan bahwa seorang pelajar dan juga santri harus memiliki target belajar. Kompetisi di luar sana semakin banyak. Untuk menjadi seorang helper saja harus lulusan D3. Intinya fokus, niat yang lurus dan istiqomah.

Seiring waktu, kata santri mengalami perluasan makna. Tidak hanya penisbatan bagi mereka yang belajar kitab kuning atau yang mengenyam pendidikan di pondok-pondok pesantren salaf saja, namun juga bagi mereka yang memiliki niat dan semangat dalam bertholabul ilmi dan senantiasa menghiasi dirinya dengan akhlak terpuji. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Mus, “santri adalah siapa saja yang memiliki akhlak mulia.”

Dari ucapan Gus Mus tersebut dapat kita simpulkan betapa pentingnya nilai-nilai adab yang harus diemban oleh seorang santri. Walaupun keilmuannya luar biasa, pengetahuannya seluas samudera, tanpa akhlak semuanya tak berarti apa-apa karena adab lebih utama daripada ilmu.

Semakin larut, para peserta semakin terbakar dengan berbagai opini yang diajukan silih berganti. Salah satu peserta mengemukakan pendapatnya, “Santri tidak hanya mereka yang mondok di pesantren-pesantren salaf namun mereka yang menimba ilmu di pesantren-pesantren modern juga disebut santri walaupun mungkin pengajaran kitab-kitab turats tak semendalam pengajaran yang ada di pesantren-pesantren salaf. Walaupun begitu baik lulusan pondok salaf maupun modern memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.”

Moderator menyulut opini peserta dengan pertanyaan “Lalu, bagaimana peranan santri dalam memberikan solusi bagi problematika keumatan? Apa kontribusi mereka di zaman sekarang yang seringkali bersandingan dengan problematika seputar permasalahan fiqhiyyah?”

Peserta lain menimpali, “Tentu santri dituntut untuk mampu memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh umat di zaman modern seperti saat ini. Banyak sekali permasalahan-permasalahan baru yang mungkin belum pernah terjadi di zaman dahulu sehingga diperlukan kemampuan menganalisis permasalahan kemudian menganalisis akibat. Bagaimana santri mampu meninjau latar belakang suatu permasalahan dan melihat bagaimana dampak negatif dan positifnya ke depan. Dengan mendalami kitab-kitab ulama salaf dan berusaha memahaminya dengan wasilah guru yang tepat, peran santri dalam hal ini sangat dinanti oleh umat.”

Estafet diskusi dilanjutkan peserta lain “Mbah Maimun Zubair pernah ngendikan bahwa para pembaharu di zaman sekarang kebanyakan berasal dari kalangan akademisi dengan gelar doktor dan profesornya, karena memang sudah zamannya menuntut demikian. Namun ada juga yang seperti saya (Mbah Maimun). Maka, ketika seseorang telah memilih untuk terjun ke dalam dunia akademisi harus sampai selesai, dan jika lebih memilih ke pendidikan salaf, mondok, ngaji kitab maka harus sampai ta’ammuq (mendalam) dan benar-benar matang keilmuannya.”

Ketua PPI Maroko, Sdr. Asyraf menuturkan bahwa santri tidak hanya fokus belajar mendalami kitab-kitab salaf namun juga harus mengimbanginya dengan kemampuan menjalin relasi, mereka juga membutuhkan sosialisasi dan berorganisasi agar melatih mereka dalam membangun critical thinking dan problem solving yang sangat diperlukan di zaman sekarang.

Menurutnya banyak sekali mujaddidul fikr yang menganggap bahwa kitab-kitab salaf tak lagi relevan dengan perkembangan zaman sehingga harus digantikan dengan kitab-kitab kontemporer karena dengan hanya mengacu pada kitab-kitab salaf akan menjadikan seseorang berfikir jumud dan konservatif.

Pendapat ini segera disangkal dan disempurnakan oleh peserta lain, bahwasannya hal itu bisa terjadi sebab cara mereka memahami nash kitab yang kurang tepat. Sehingga berdampak pada implementasi yang kurang tepat pula bahkan tidak sesuai dengan problematika yang sedang dihadapi. Memang benar bahwa jumud dalam memahami nash juga tidak baik, namun bukan berarti mempelajari kitab-kitab salaf menutup kemungkinan kita untuk berfikir kritis dalam menganalis sebuah masalah.

Maka dari itu, tradisi pondok pesantren yang masih melestarikan budaya sanad ilmu sangat penting untuk menjaga keotentikan suatu ilmu. “فانظروا عمن تأخذون دينكم .” NU sendiri tidak akan pernah terlepas dari kitab kuning karena kitab kuning ini mutawarits, terus melekat dan bersifat turun temurun.

“Keterkaitan antara santri dan kitab kuning sudah sangat jelas dan tidak perlu ditanyakan lagi. Nilai-nilai keislaman yang ditulis oleh para ulama pada zaman dahulu dalam kitab-kitab turats merupakan intisari dari nash-nash syar’iyyah yang masih relevan dan akan tetap relevan sepanjang masa, hanya bagaimana cara kita mengemas dan menyajikannya saja sesuai dengan tuntutan zaman agar bisa menebar manfaat yang lebih luas bagi umat”. Tambah salah seorang peserta.

Setelah dirasa diskusi sudah mencapai hasil dan kesimpulan yang cukup. Ketua tanfidziyah PCINU Maroko; Sdr. Mokhammad Ali Ridlo menutup acara dengan menyampaikan apresiasinya terhadap antusiasme para peserta diskusi. Kritisnya teman-teman pada malam hari ini merupakan salah satu bukti bahwa mereka pernah membaca kitab kuning.

Diharapkan acara diskusi kali ini bisa menjadi bahan refleksi bagi para santri di Maroko agar tetap istiqomah dan fokus terhadap tujuan utama di sini. PPI Maroko maupun PCINU Maroko juga diharapkan agar kedepannya lebih giat lagi dalam mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah yang dapat mendukung proses belajar dan meningkatkan kualitas pelajar di Maroko.

Kontributor: Lakpesdam NU Maroko 20-22

Editor: Irma M. Jannah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *