Bahstul Masail dan Kearifan Bermadzhab

Fotp Ilustrasi

Fotp Ilustrasi

 

Baru-baru ini PCINU Maroko berhasil menyelenggarakan Bahtsul Masail (BM) yang keempat. (6/2) 2017. Soal yang diangkat tentang hukum mengucapkan selamat kepada hari raya non muslim. Adapun hasilnya menyatakan bahwa boleh mengucapkannya dengan batas sekadar bertoleransi beragama dan tidak ada unsur-unsur ridha akan kekafiran mereka, niat untuk membesar-besarkan agama mereka, dan ikut dalam peribadaham mereka. 

Yang menarik diulas di sini adalah proses kreatif para musyawirin dan musyawirat. Diantaranya proses penggalian hukum BM yang masih melestarikan budaya klasik, yaitu merujuk kepada berbagai ibarat para ulama dalam kitab-kitabnya. Lebih spesifik lagi dengan mengkhususkan ulama Sayafi’iyah mutaqaddimin. Musyawirin seolah-olah tidak leluasa melirik ke madzhab lain dan menengok ke pendapat ulama-ulama kontemporer sebelum yang tersebut barusan.

Sejatinya ulasan yang penulis ketengahkan ini juga masalah klasik yang sudah terfikirkan oleh para pendahulu di kalangan aktifis muda LBM NU (Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama). Mereka menilai kemajuan zaman dan tantangannya yang semakin canggih seperti zaman medsos dan internet tidak cukup dicarikan solusi hukumnya dari hukum-hukum klasik. Keputusan fikih mestinya mulai beranjak dari istinbat qauli menuju istinbat manhaji. Nah, manisnya istinbat manhaji ini tidak akan dapat direguk oleh seseorang kecuali ia sudah menyelami samudera ûshul fiqh, kaidah fiqh, ta’lil al-ahkam, dan maqhasid-nya.

Lebih gamblang lagi dalam kasus pengucapan selamat Natal misalnya. Andaikan kita dapat mendalami permasalahannya dan menemukan ta’lil ahkam-nya, boleh jadi kita bisa menggalinya dengan perangkat al-ûlum al-insaniyah (ilmu-ilmu humaniora).  

Karena adalah manusia yang hidup dilingkupi agama, sosial dan budaya, mestinya seseorang dapat memilih dan memilah antara interaksi agama, sosial dan budaya, agar nantinya tidak terjadi tumpang-tindih antar norma-norma tersebut. Dengan mendasarkan ucapan Selamat Natal misalnya kepada kawan kita yang Kristiani atas norma interaksi sosial tentulah hal ini sungguh dianjurkan oleh agama. Karena agama mana pun menganjurkan terjalinnya kehidupan sosial yang toleran, harmonis dan saling sapa. Dengan ucapan itu rumah sosial dan kebangsaan kita dapat terbangun dengan kokoh nun indah.

Sayangnya ucapan semacam itu oleh sebagaian kalangan dianggap sebagai interaksi agama. Akhirnya perbedaan pun tidak dapat terelakkan. Dan justifikasi berkata bahwa mengucapkan Natal sama dengan mengakui kekafiran mereka, meridhai agamanya dan mengagungkannya dan mensyiarkannya.

***

Tadi ba’da shalat ashar berjamaah di masjid istri saya ditegur orang di sampingnya, katanya cara sujudnya salah, yang benar -kedua tangan dibuka lebar dan punggung dipanjangkan ke depan-, Hmm..  istri saya mengadu. Lalu kutanya, apa responmu, ya.. saya jawab na’am na’am saja. “Bagus” ujarku.

Tak lama waktu berselang ketika saya hendak shalat maghrib di masjid, saya ditegur oleh seseorang “Saudaraku kalau membasuh kepala bukan sekedar depannya saja, tapi kayak gini (sambil menjalankan kedua tangannya dari depan ke belakang kepalanya)”. Saya jawab dengan na’am na’am sembari menyungging senyuman.

Bukan ini saja yang pertama kali penulis alami—ditegur atau dikoreksi—oleh orang-orang Maroko bermadzhab Maliki. Boleh jadi orang-orang Indonesia di sini juga pernah mengalaminya. Hampir dipastikan. Sengaja penulis tidak membantah atau mendebat. Karena sudah punya pengalaman sebelumnya. Memang ada gunanya tapi setelah dipikir-pikir (sesuai pengalaman) lebih afdhal mengiyakan saja. Itu karena beberapa hal: Pertama, yang mengingatkan hanya mengetahui bahwa yang benar itu pendapat dia yang didapatkan dari gurunya yang bermadzhab Maliki. Kedua, ketidak-sempatannya mengarungi samudera wacana pendapat lintas madzhab fikih, yang dia sempat hanya belajar madzhab tertentu (Maliki misalnya). Ketiga, dia menyadari bahwa kebenaran bukan hanya miliknya dan dia juga berkesempatan menelaah wacana fikih lintas madzhbab namun niatnya hanya ingin menasehati demi kesempurnaan.

Sebagai contoh poin yang ketiga, ketika kita membasuh kepala, rata-rata orang Indonesia membasuhnya sebagiannya saja. Sedangkan menurut Maliki wajib membasuh semua rambut kepalanya. Meskipun Madzhab Syafii menganjurkan mengusap seluruhnya, sebab itu afdhal.

Oleh karena itu penulis menyarankan kepada saudara-saudara setanah air dan semadzhab syafii yang tinggal di Maroko agar menjaga eksistensi ke-Syafiyahannya dan menghormati ke-Malikiyahan orang-orang Maroko. Pindah pun menurut saya sah-sah saja asal sudah mempelajarinya. Namun eksistensi yang dijaga itu jangan sampai menimbulkan fitnah di kalangan awam malikiyah. Mereka tidak perlu didebat dengan dolal-dalil tapi cukup dengan kata na’am dan syukron lalu wassalam. Itu jauh lebih arif ketimbang kita keluarkan seribu jurus fikih syafi’i kita.

Konkritnya, penulis menganjurkan selama di Maroko agar berwudhu ala orang-orang Maroko, disamping praktis dan hemat air. Kecuali jika berwudhu di dalam kamar mandi pribadi. Karena itu tidak akan menimbulkan fitnah.

Kedua, ketika sujud dahulukan tangan dulu jangan dengkul dulu, karena jika tidak ini bisa menimbulkan fitnah. Kecuali di dalam kamar.

Ketiga, ketika sujud tahiyyãt akhir, duduklah laiknya duduk pada tahiyyãt awal. Demi menghindari fitnah dan agar duduk kita nyaman seirama dengan samping kanan-kiri kita. Kecuali shalat bersama orang-orang Indonesia di Maroko.

***

Mengapa saya kemukakan demikian? Sebab, sejarah pertentangan lintas madzhab begitu kelam. Terlepas itu ditunggahi oleh kepintangan politik dan kepentingan pribadi. Namun yang jelas jangan sampai fitnah-fitnah kecil dapat memantik api peperangan dan dendam berdarah.

Bukankah kita masih ingat pada tahun 393 H. terjadi fitnah antara Syafiiyyah dan Hanafiyyah di Baghdad. Penyebabnya Syaikh Abu Hamid Al-Isfarayini As-Syafii (w. 406 H) dapat menyakinkan Khalifah Abbasiyah Al-Qadir Billah untuk mengalihkan hukum peradilan dari menganut madzhab Hanafi ke madzhab Syafii.

Fitnah kedua terjadi di kota Merv (kota tua di Khurasan/Turkmenistan sekarang) ketika Syekh Manshur bin Muhammad As-Sam’ani Al-Marwazi (w. 498 H) berpindah madzhab setelah 30 tahun dari memeluk Hanafi ke madzhab Syafii. Dan kepindahannya ia deklarasikan di muka umum, yang menyebabkan kota Merv gempar dan terjadi saling bunuh antar pengikut kedua madzhab, yang memaksanya keluar dari kota tersebut.

Fitnah ketiga, terjadi antara Hanabilah dan Syafiiyyah di Baghdad tahun 573 H. ketika sang khotib jumat masjid Jami’ Al-Manshur (Muhammad bin Abdillah Asy-Syafii) wafat dan akan dikuburkan di taman makan Ahmad bin Hambal para pengikutnya (Hanabilah) melarangnya karena Muhammad bin Abdillah bermadzhab Syafi’i bukan Hanbali. Tapi usaha Hanabilah tersebut gagal setelah Khalifah Abbasiyah Al-Muqtafa turun tangan.

Fitnah keempat, fitnah besar terjadi tahun 560 H. perang antar lintas madzhab selama 8 hari, banyak yang mati dan rumah yang hancur dan terbakar di Isfahan.

Fitnah kelima, terjadi juga di Isfahan tahun 582 H. perang dan kekacauan antara Syafiiyyah dan Hanafiyyah.

Yang keenam terjadi di Merv tahun 596 H. di zaman menteri Al-Khawarizmi yang ta’ashub dengan syafi’i. Ia membangun masjid yang lebih megah di samping masjid hanafiyyah. Mereka marah dan membakar masjid baru itu. Sejurus kemudian meletuslah peperangan antar kedua madzhab di atas. 

Demikian juga terjadi kekacauan nasional di kora Rayy (Kota Imam Fakhruddin Ar-Razi) disebabkan fanatik madzhab, peperangan antara Madzhab Syafii dan Hanafi yang dimenangkan Madzhab Syafii.

Tidak hanya madzhab fikih yang menimbulkan kekisruhan namun juga madzhab teologi, seperti terekam dalam sejarah, ketika Ibnu Al-Qusyairi (w. 514) di Bagdad pada tahun 469 H. ia tinggal di Universitas An-Nidzmiyah lalu mengajarkan madzhab Al-Asy’ari dan memuji-mujinya, sedangkan dalam waktu yang sama beliau mengingatkan akan bahaya Hanabilah dan menisbatkannya kepada Mujassimah. Maka ketika Guru Besar Hanabilah, Abu Ja’far mendengarnya ia membantahnya yang berujung peperangan sengit hingga terbunuh dari kedua belah pihak 20 orang, yang yang lain terluka.

Pada tahun yang sama di Baghdad, juga terjadi fitnah ketika ulama Asyari mengkafirkan Hanabilah (yang Mujassimah), mereka menyerbunya dengan lemparan batu. Seketika ia lari menyelamatkan diri di pasar Baghdad sembari memohon suaka, orang-orang di pasar menolongnya, bentrokkan pun meletus dan menewaskan 20 orang. Baru mereda bentrokan di sini ketika tentara turun tangan.

Masih di Baghdad pada tahun 476 H. bentrokan lagi-lagi terjadi ketika Abu Bakar Al-Maghribi Al-Asyari mencela dan merendahkan Hanabilah (Mujassimah). Maka mereka dari kalangan Hanabilah Keluarga Al-Fara’ menyerbunya dengan sengit.

Fitnah keempat di Baghdad pada tahun 495 H. ketika Al-Ghaznawi mengumumkan kepindahannya dari madzhab Hanbali ke madzhab Al-Asyari di masjid jami’ Al-Manshur. Seketika itu pun terjadilah percek-cokan di dalam masjid dan berujung pelemparan batu dari pihak Hanabilah.                 

Adapun sejarah as-Siro’ al-Madzhabi ini di bumi Maroko terekam di antaranya ketika konon ketika Ibnu Tumart (w. 524 H) mengkafirkan Dinasti Al-Murabithin dan membangun madzhab Asy’ari. Ia menuduh Al-Murabithin sebagai musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan mujassimah (yang menjisimkan Allah), menghalalkan darah dan hartanya hingga meletuslah pertempuran dahsyat di Maroko, yang dimenangkan oleh Ibnu Tumart. Kemudian ia mewajibkan madzhab Asy’ari dipeluk oleh rakyat. Ketika ia wafat murid-muridnya melanjutkan dakwah Sang Guru. Konon pengikutnya membantai 70.000 orang dari Al-Murabithin ketika mereka memasuki kota Marrakech tahun 541 H.

Terakhir sebagai penutup (sebenarnya masih banyak lagi) sejarah kelam fitnah lintas madzhab terjadi di Mesir ketika Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (w. 589 H) membuka Mesir tahun 567 H. Syekh Najmuddin Al-Khubusyani (w. 587 H/1191 M)—sebagai Dewan Ulama Pertimbangan Sultan—ingin menggali kuburan Syekh Abi Abdillah bin Al-Kizani Asy-syafii (w. 562 H) yang terletak di sebelah makam Imam Syafii. Al-Khubusyani berkata tentang Al-Kizani “Orang ini Hasyawi (Mujassimah) tidak layak di sebelah Imam Syafii”. Riwayat lain mengatakan “La yakunu zindiq bi janibi shadiq”. Lalu kuburannya dibongkar dan tanah dan remukan tulang belulangnya dipindah di kuburan lain.

Mendengar hal itu Hanabilah dan Ahli Hadis tidak terima, lalu terjadilah bentrokan yang pada akhirnya dimenangkan oleh pihak Syekh Al-Khubusyani yang tentu disokong oleh Sultan.

Sekarang kita bisa menjumpai makam Syekh Al-Khubusyani terletak di bawah kedua kaki makam Imam Syafii di Mesir sebagaimana dijelaskan oleh As-Shafadi dalam Al-Wafi bil Wafayat (5/68).

Sejatinya orang yang merenungi sejarah panjang fitnah lintas madzahib fiqhiyah aqadiyah akan menemukan bahwa itu semua tidak banyak berubah dengan kondisi sekarang, seperti dikatakan sosiolog muslim Ibnu Khaldun “Seolah-olah zaman mengulang dirinya” tapi dengan nama dan pola yang berbeda. Penyesatan, pengkafiran, perang, percekcokan, penghalalan darah dan harta benda masih eksis di mata kita. Dan sejarah mengajarkan kita bahwa perselisihan antara madzhab dan golongan bukanlah perselisihan yang dianjurkan agama, sejatinya perselisihan itu didasari politik, cinta kekuasaan dan pengaruh, hegemoni atas pihak lain, fanatik buta terhadap madzhab atau pemikiran tertentu sebagai status pribadi dan sosial.

Di akhir tulisan ini izinkan penulis menukil nasehat Ibnu Asakir ketika gurunya, Abul Futuh Al-Isfariyi—yang dikatakan As-Shafadi sebagai orang yang sangat fanatik—wafat: “Seyogyanya seorang muslim berlindung dari fitnah-fitnah, jangan menyulutnya dengan menyebarkan pendapat-pendapat lintas madzhab yang aneh-aneh baik dari segi ushul maupun furu’, saya menilai menyebarkannya tidak membawa kebaikan, sebaliknya menimbulkan keburukan, permusuhan, percekcokan di antara orang-orang baik di kalangan kedua belah pihak, maka berpegangteguhlah dengan as-Sunnah, dan senantiasa diam, jangan tenggelam dalam hal yang tidak memberi manfaat kepadamu, adapun sesuatu yang engkau musykilkan maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, titik, dan katakan: Allah wa Rasuluhu a’lam”. 

***

Ust. ALvian Iqbal Zahasfan, S.Si., MA.
Mahasiswa Doktoral di L’Institut Dar El Hadith El Hassania, Rabat
Mustasyar PCINU Maroko


Referensi:

Google

http://elbadil.com
http://library.islamweb.net

https://ar.wikipedia.org

Siyar A’lam An-Nubala’

Al-Wafi bil Wafayat

http://www.almaany.com  

  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *