Apakah Orang yang Beribadah Lebih Baik daripada Orang yang Bekerja?

Waludin merasa bimbang setelah mendengar khotbah Jumat tentang keutamaan ibadah, karena selama ini waktunya banyak dihabiskan untuk bekerja daripada beribadah. Waludin tampak murung ketika menyusun buah catur di kediaman Gus Sholah, melihat ekspresi wajahnya, Gus Sholah langsung nyeletuk seakan tahu bahwa Waludin sedang punya masalah.

“He, Wal. Gak biasanya wajahmu kayak gini.” Kata Gus Sholah.

Mendengar hal itu, Waludin malah ingin bertanya balik.

“Lah, emangnya saya habis oplas? Ya wajah saya tetap begini-begini aja, Gus,” ungkap Waludin.

“Bukan itu, maksudku, wajahmu kok kelihatan gelisah banget, ada apa tho?” tanya Gus Sholah. Dari garis wajah Waludin saja sudah terlihat bahwa dia sedang punya masalah.

“Itu loh, Gus. Sampean denger khotbahnya Kaji Salim tadi, kan? Lah, saya itu kan dari pagi sampe sore di sawah terus, Gus, ngibadah itu cuma kewajiban doang, itu pun juga sering telat. Jadinya, saya ngerasa orang yang punya waktu untuk zikir wiridan itu lebih baik dari saya.” Kata Waludin lantas menghela nafas, ada rasa bersalah di dadanya.

Gus Sholah tersenyum mendengar ungkapan itu.

“Terus, kamu bimbang sama pekerjaan kamu sekarang?” Tanya Gus Sholah, sambil memajukan kudanya di langkah pertama.

“Ya, mau gimana, Gus. Kayaknya saya mau nyari kerjaan lain, biar waktu beribadahnya banyak, Gus,” jawab Waludin.

Gus Sholah hanya terkekeh mendengar keputusan Waludin.

“Loh, kok malah ketawa sih, Gus. Orang ingin mencari tambahan pundi-pundi pahala, malah diremehkan,” ketus Waludin.

“Gini, Wal. Pada umumnya orang itu punya jalannya masing-masing untuk menyembah kepada Allah”. ungkap Gus Sholah.

“Ma, maksudnya, Gus? Tanya Waludin.

“Ya, jalan untuk menyembah kepada Allah itu ada banyak, nggak cuma zikir wiridan doang”. Jelas Gus Sholah.

“Bukannya menyembah itu harus kegiatan yang berbentuk ritual ya, Gus? Saya kerja di sawah ya nggak bisa disambi menyembah dong.” Tanya Waludin sambil mencoba menyangkal Gus Sholah.

“Lho, lho, lho. kata siapa harus berbentuk ritual? Memang bener, kita ini diciptakan untuk beribadah dan menyembah kepada Allah, tapi setiap orang diberi jalan masing-masing dalam menyembah, Wal”. [1]

Waludin hanya manggut-manggut, pandangannya meminta penjelasan lebih lanjut.

“Saya malah teringat kisah Nabi Muhammad ketika sedang duduk mengaji bersama para sahabat di pagi hari, ada seorang pemuda yang masih sehat bugar dan bergegas untuk berkerja, melihat hal itu, Sahabat berkata: Sungguh kasihan, di usianya yang masih muda digunakan untuk bekerja dan bukan beribadah.” [2]

“Tuh kan, para sahabat aja sependapat dengan saya”. Cerocos Waludin.

“Tunggu dulu, Wal. Nabi menjawab kebalikannya. Bahwa sebenarnya pemuda itu sedang berada di jalan Allah, karena dia bekerja untuk mendapatkan uang, dan uang itu digunakan untuk menafkahi dirinya dan keluarganya, sehingga secara tidak langsung pemuda itu sedang beribadah dan menyembah kepada Allah,” jelas Gus Sholah.

“Berarti pemuda itu memilih jalan menyembah dengan bekerja ya, Gus? Tanya Waludin.

“Iya, Wal. Makanya saya bilang setiap orang punya jalannya untuk beribadah, termasuk bekerja di sawah yang kamu pilih sebagai jalan.” Tambah Gus Sholah.

Seorang santri ndalem Gus Sholah kebetulan sedang menyapu bagian dalam rumah, Gus Sholah lalu memanggilnya.

“Mas, sini sebentar, Mas.”

“Njih, ada apa Gus?” Jawab mas santri.

“Coba lanjutkan nadhoman atqiya ini ya, Wa likulli wahidihim Thariqun min thuruq.”Kata Gus Sholah, sambil mengetes hapalan sang santri.

Wa likulli wahidihim thariqun min thuruq, yakhtaruhu min dza washila, kajulusihi baina al-anami murottiba, wa kakatsrotil aurodi ka as-houmi as-shola,wa kakhidmatin linnas wa hamli al-hatob litashodduqin bimuwasholin mutamawwala,” jawab santri itu lugas dan cepat.

“Coba jelaskan singkat saja, Mas.”Pintah Gus Sholah lagi.

“Setiap orang mempunyai jalan untuk wushul kepada Allah dengan jalan yang mereka pilih, diantaranya mengajar, banyak membaca dzikir dan wirid, berkhidmah kepada ulama, dan bekerja membawa kayu, kemudian menjualnya, dan hasilnya sebagai sedekah

“Owalaaah, ada banyak ternyata ya, Gus,” kata Waludin seakan merasa lega sambil merebahkan dirinya ke punggungan kursi, dan menatap ke punggung santri yang perlahan menjauh.

“jadi gimana, Wal? Masih mau pindah kerjaan? Tanya Gus Sholah sambil mengakhiri permainan caturnya, karena tahu Waludin tidak bisa fokus sejak tadi.

Waludin hanya menggeleng pelan, dan tersenyum sambil mengembalikan buah catur ke papannya.

“Yaudah, kalo gitu hukumannya traktir kopi di kedai Cak Husen ntar malem ya,” Gus Sholah tertawa terpingkal-pingkal.

  1. Dinukil dari kitab Kifayah al-Atqiya
  2. Disaripati dari hadis riwayat Tabrani

Kontributor: Hanif Hidayatullah

Editor: Irma M. Jannah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *