4 November & Ketidak-Tahuan Yang Menguntungkan

 

PCINU Maroko, Dalam sebuah ceramahnya, Gus Mus, pernah berujar kalau dirinya akhir-akhir ini gusar ketika membaca al-qur’an. Pasalnya ketika membaca al-qur’an beliau menemukan banyak ayat yang seakan-akan menyindirnya habis-habisan. Gus Mus lalu melanjutkan dengan sedikit bercanda: “sampean-sampean sih enak karena gak pernah tahu makna al-qur’an, atau bahkan tak membaca al-qur’an. Jadi tak merasa tersindir”, begitu katanya.

Bagaimanapun, tentu saja itu bahasa guyonane Gus Mus, jugu sedikit otokritik darinya. Tetapi memang adakalanya kita patut bersyukur atas “ketidak-tahuan”. Karena ketidak-tahuan terkadang bisa menyelamatkan. Setidaknya –dari guyonane Gus Mus- dengan tidak tahu kalau al-qur’an tengah menyindir, kita tak merasa gusar. Meskipun ini bisa dikatakan rasa aman yang tak prodiktif.

Pada beberpa kondisi, “Tidak tahu” bahkan dianggap setengah ilmu. Syahdan, datang hari di mana Imam Malik disodori 48 pertanyaan. Dari sekian banyak pertanyaan itu, 32 di antaranya dijawab dengan kalimat “la adri” saya tidak tahu, katanya. Bagaimana bisa seorang Imam Malik yang keluasan ilmunya diakui ummat tidak tahu sebagian besar jawaban dari pertanyaan yang diajukan padanya? Tentu dia tahu. Tetapi ketidak-tahuan memang terkadang bisa menyelamatkan. Karena itu sang imam lalu melanjutkan “junnatul alim qauluhu la adri” benteng atau penjaga seorang alim adalah perkataannya “saya tidak tahu”. Barangkali ketidak-tahuan pada saat-saat tertentu  lebih menyelamatkan dari obral pengetahuan, apalagi “sok tahu”.

Sekarang kita bersama 4 november. Saat orang-orang memadati Jakarta dengan tujuan yang mungkin sama, tetapi mungkin juga berbeda. Kita semua tahu aksi berjalan damai. Setidaknya sampai menjelang Isya. Setelah isya, suasana menjadi sedikit kacau. Tetapi menurut saya ini masih dalam koridor aman. Karena dengan skala massa yang sebanyak itu, tentu kerusuhan seperti semalam masih bisa kita katakan aman, meski ada isu yang beredar akan ada pelengseran Jokowi di sana.

Saya tidak tertarik dengan analisa 4 november. Itu sudah banyak disajikan para pengamat. Saya juga tidak suka membahas hal-hal yang katanya menakjubkan seputar 4 november; seperti makna dari 411 lah, atau ada awan yang membentuk lafadz Allah lah, atau apapun itu. Itu bumbu yang seharusnya tak lebih banyak dari makanan pokoknya. Saya lebih suka melihat 4 november dari sisi lain: perbandingan dengan Mesir salah-satunya.

Mari kita bandingkan dengan Demo penggulingan Hosni Mubarak di Mesir yang berjalan sukses lagi menimbulkan kekacauan setelahnya. Tentu ada banyak alasan mengapa demo 4 november kemarin berjalan damai, tak seperti demo di mesir kala itu. Salah satu alasannya adalah seorang “Gene Sharp”.

Gene Sharp adalah seorang pengagum Gandhi yang juga pendiri Albert Einstein Instution. Dia memiliki beberpa buku yang cukup berpengaruh. salah satu bukunya yang berjudul From Dictatorship To Democracy telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa. Dalam terjemahan bahasa arabnya (min al-diktaturiyyah ila al-dimukratiyyah) buku ini hanya setebal 70 halaman. Menurut The New York Times buku inilah yang telah menginspirasi gerakan prodemokrasi di beberapa Negara seperti; Bosnia, Burma, Estonia, dan akhirnya Mesir juga Tunisia. Dan lalu Mubarak tumbang. Oleh siapa? Tentu masyarakat Mesir. Tapi peran dari sebuah ide dalam buku Gene Sharp tak bisa dikesampingkan.

Pada akhirnya kita tahu bahwa sebuah ide bisa menembus batas yang tak dibayangkan. Gene Sharp adalah seorang yang gaptek. Sampai-sampai dia memerlukan bantuan temannya untuk hanya sekedar mengirim email. Tetapi ide yang dimilikinya bisa menyebrangi lautan. Pemikirannya bisa menumbangkan suatu pemerintahan.

Apa yang kemudian patut disyukuri adalah, karena kita tak mengenal buku ini. Atau tak banyak yang kenal. Ketidak-tahuan sekali lagi bisa menyelamatkan. Karena boleh jadi jika para pendemo kemarin akrab dengan buku ini, nasib Hosni Mubarok bisa menular ke Jokowi. tentu anda bisa menyanggah dengan mengatakan ada qiyas ma’a wujudil fariq dalam analogi di atas. Tetapi fakta bahwa kita tak mengenal ide Gene Sahrp dalam buku-bukanya memang patut disyukuri. Setidaknya untuk 4 november yang damai itu.
Dan sekali lagi, ketidak-tahuan terkadang bisa menyelamatkan.

Penulis: Abdullah Aniq Nawawi, Lc. Ketua Tanfidziyyah PCINU Maroko.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *